CSIPP: Masyarakat Harus Kritisi Wacana Amendemen Konstitusi dengan Cermat!
Minggu, 22 Agustus 2021 - 09:26 WIB
JAKARTA - Isu amendemen Undang-undang 1945 kembali menjadi perbincangan hangat di publik setelah Ketua MPR Bambang Soesatyo menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Bogor, Jumat, 13 Agustus 2021 lalu. Salah satu yang dikhawatirkan adalah pembahasan soal penambahan masa jabatan Presiden.
Manajer advokasi Centre for Strategic and Indonesian Public Policy (CSIPP), Ikhwan Fahrojih mengajak masyarakat agar mengawal isu amendemen UUD 1945 dengan cermat. Publik harus mewaspadai dengan mengeluarkan kritik, diskusi, antitesis, dan lain-lain agar wacana tersebut dapat dipertimbangkan dengan matang-matang untuk menghindari keuntungan sebelah pihak.
Menurut Ikhwan, amendemen bisa dilakukan dengan dua alternatif. Pertama, amendemen. kedua, dengan melakukan perubahan total, draftnya disiapkan oleh lembaga independen yang terdiri dari ahli, tokoh dan negarawan semacam Komisi Konstitusi. "Bisa dibahas dan disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atau referendum kepada rakyat. Meskipun risiko politiknya tinggi," kata Ikhwan di Jakarta, Minggu (22/08/2021).
Kedua, melanjutkan tahap amendemen V. Jika hal itu dilakukan potensi atau risiko politiknya rendah. Karena hanya menyempurnakan hasil amendemen 4 tahap. Di lain sisi, CSIPP mencatat beberapa hal yang masih perlu disempurnakan dalam Konstitusi kita. Pertama, penguatan fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). "DPD itu setara DPR, namun dalam urusan terbatas, misalnya hanya terkait dengan otonomi daerah," katanya.
Kedua, pembagian kewenangan legislasi antara Presiden dan DPR. Selama ini, kata Ikhwan, kewenangan legislasi belum sepenuhnya menjadi wewenang DPR, namun RUU dibahas bersama dan disetujui bersama antara Presiden dan DPR. Ke depan, menurut Ikhwan, kewenangan legislasi dapat menjadi kewenangan sepenuhnya DPR namun Presiden diberikan hak veto.
"Ketika Presiden menggunakan veto dengan tidak menyetujui RUU yang disahkan DPR, maka DPR dan DPD akan melakukan sidang bersama untuk voting. Bila suara terbanyak setuju, maka RUU sah menjadi UU, bila suara terbanyak tidak setuju maka RUU batal," tegasnya.
Namun, amendemen dalam rangka perpanjangan masa jabatan Presiden, belum menjadi usulan para pemerhati Konstitusi, karena secara konseptual sudah tepat.
Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo mengatakan tak berniat untuk menjadi presiden selama tiga periode. Namun, tak menutup kemungkinan amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 benar-benar terjadi jika rakyat melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menginginkan hal tersebut.
Manajer advokasi Centre for Strategic and Indonesian Public Policy (CSIPP), Ikhwan Fahrojih mengajak masyarakat agar mengawal isu amendemen UUD 1945 dengan cermat. Publik harus mewaspadai dengan mengeluarkan kritik, diskusi, antitesis, dan lain-lain agar wacana tersebut dapat dipertimbangkan dengan matang-matang untuk menghindari keuntungan sebelah pihak.
Menurut Ikhwan, amendemen bisa dilakukan dengan dua alternatif. Pertama, amendemen. kedua, dengan melakukan perubahan total, draftnya disiapkan oleh lembaga independen yang terdiri dari ahli, tokoh dan negarawan semacam Komisi Konstitusi. "Bisa dibahas dan disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atau referendum kepada rakyat. Meskipun risiko politiknya tinggi," kata Ikhwan di Jakarta, Minggu (22/08/2021).
Kedua, melanjutkan tahap amendemen V. Jika hal itu dilakukan potensi atau risiko politiknya rendah. Karena hanya menyempurnakan hasil amendemen 4 tahap. Di lain sisi, CSIPP mencatat beberapa hal yang masih perlu disempurnakan dalam Konstitusi kita. Pertama, penguatan fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). "DPD itu setara DPR, namun dalam urusan terbatas, misalnya hanya terkait dengan otonomi daerah," katanya.
Kedua, pembagian kewenangan legislasi antara Presiden dan DPR. Selama ini, kata Ikhwan, kewenangan legislasi belum sepenuhnya menjadi wewenang DPR, namun RUU dibahas bersama dan disetujui bersama antara Presiden dan DPR. Ke depan, menurut Ikhwan, kewenangan legislasi dapat menjadi kewenangan sepenuhnya DPR namun Presiden diberikan hak veto.
"Ketika Presiden menggunakan veto dengan tidak menyetujui RUU yang disahkan DPR, maka DPR dan DPD akan melakukan sidang bersama untuk voting. Bila suara terbanyak setuju, maka RUU sah menjadi UU, bila suara terbanyak tidak setuju maka RUU batal," tegasnya.
Namun, amendemen dalam rangka perpanjangan masa jabatan Presiden, belum menjadi usulan para pemerhati Konstitusi, karena secara konseptual sudah tepat.
Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo mengatakan tak berniat untuk menjadi presiden selama tiga periode. Namun, tak menutup kemungkinan amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 benar-benar terjadi jika rakyat melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menginginkan hal tersebut.
(cip)
tulis komentar anda