Aliansi Kebangsaan Ingatkan Lemah Tata Kelola Bisa Memicu Negara Gagal
Rabu, 11 Agustus 2021 - 20:17 WIB
Baca juga: Aliansi Kebangsaan Gelar Webinar Bedah Buku Karya Yudi Latif
Menurutnya, desain besar ketatanegaraan tentu harus berpijak pada ideologi dan dasar-dasar filosofis tujuan bernegara yaitu Pancasila yang secara yuridis-konstitusional sudah diterima dan ditetapkan pada 18 Agustus 1945 dalam Pembukaan UUD 1945. Karenanya, Pancasila haruslah menjadi paradigma dalam merancang tata kelola negara atau sistem ketatanegaraan Indonesia.
Berdasarkan paradigma Pancasila, pengembangan ranah tata kelola negara diarahkan untuk memungkinkan perwujudan bangsa yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Bahwa tatanan sosial-politik hendak dibangun melalui mekanisme demokrasi yang bercita kerakyatan, cita permusyawaratan dan cita hikmat kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi-institusi kenegaraan yang dapat memperkuat persatuan (negara persatuan) dan keadilan sosial (negara kesejahteraan).
Untuk merealisasikan hal itu, Pontjo menilai model dan sistem kelembagaan tata kelola Negara tentu tidak bisa dipungut sembarangan dari pengalaman negara-negara lain, melainkan harus disuling dari pengalaman kesejarahan dan budaya bangsa sendiri. Hal ini diperkuat pendapat Clayton M Christenson (2019) yang dikutip oleh Yudi Latif dalam bukunya "Wawasan Pancasila (2020)" bahwa institusi sosial itu merefleksikan nilai masyarakat yang bersangkutan.
"Kalau kita ikuti rekam jejak para pendiri bangsa ketika merancang sistem ketata-negaraan kita, sesungguhnya telah mempertimbangkan hal ini. Sekali pun pada saat itu sudah ada model sistem pemerintahan negara yang berlaku secara universal, yaitu sistem presidensial dan sistem parlementer, namun mereka tidak serta merta memilih salah satu di antaranya, melainkan lebih memilih suatu sistem yang khas Indonesia yang disebutnya sebagai "sistem sendiri" dalam bangunan Negara Pancasila," kata Pontjo.
Walaupun para bapak bangsa telah berusaha membangun sistem ketatanegaraan yang diharapkan kompatibel bagi ke-Indonesiaan kita, diakui Pontjo, sampai saat ini masih menjadi perdebatan bahkan seringkali mengalami kebuntuan politik dalam mencari format sistem yang tepat yang sesuai dengan kondisi objektif bangsa yang heterogen (secara sosial-ekonomi, geografis) dan multikultural (secara ras, etnik, agama, budaya).
Merumuskan pilihan sistem ketatanegaraan yang sesuai bagi bangsa Indonesia yang heterogen dan multikultur dalam rangka memperkuat peran Negara (state-building) tentu sangat penting, agar Indonesia tidak salah urus dan menjadi negara gagal sebagaimana diperingatkan oleh para pemikir seperti saya sampaikan tadi. Namun membangun kebangsaan (nation-building) juga sama pentingnya karena bangsa Indonesia justru ada sebelum Indonesia lahir sebagai nation-state.
"Hal ini perlu saya ingatkan, karena hari ini, kita seperti menemukan fenomena Hal ini perlu saya ingatkan, karena hari ini, kita seperti menemukan fenomena tidak padunya antara kebutuhan untuk mengukuhkan kebangsaan melalui nation-building, dengan kebutuhan akan penguatan negara melalui state-building," kata Pontjo.
Sementara itu, Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) yang juga Rektor UGM Prof Panut Mulyono mengatakan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keragaman suku, bangsa, budaya, agama secara geopolitik dapat menimbulkan banyak masalah dan tantangan. Terlebih di era reformasi dimana muncul intoleransi, korupsi, kasus narkoba dan kekerasan yang masih terus saja terjadi.
Menurutnya, desain besar ketatanegaraan tentu harus berpijak pada ideologi dan dasar-dasar filosofis tujuan bernegara yaitu Pancasila yang secara yuridis-konstitusional sudah diterima dan ditetapkan pada 18 Agustus 1945 dalam Pembukaan UUD 1945. Karenanya, Pancasila haruslah menjadi paradigma dalam merancang tata kelola negara atau sistem ketatanegaraan Indonesia.
Berdasarkan paradigma Pancasila, pengembangan ranah tata kelola negara diarahkan untuk memungkinkan perwujudan bangsa yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Bahwa tatanan sosial-politik hendak dibangun melalui mekanisme demokrasi yang bercita kerakyatan, cita permusyawaratan dan cita hikmat kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi-institusi kenegaraan yang dapat memperkuat persatuan (negara persatuan) dan keadilan sosial (negara kesejahteraan).
Untuk merealisasikan hal itu, Pontjo menilai model dan sistem kelembagaan tata kelola Negara tentu tidak bisa dipungut sembarangan dari pengalaman negara-negara lain, melainkan harus disuling dari pengalaman kesejarahan dan budaya bangsa sendiri. Hal ini diperkuat pendapat Clayton M Christenson (2019) yang dikutip oleh Yudi Latif dalam bukunya "Wawasan Pancasila (2020)" bahwa institusi sosial itu merefleksikan nilai masyarakat yang bersangkutan.
"Kalau kita ikuti rekam jejak para pendiri bangsa ketika merancang sistem ketata-negaraan kita, sesungguhnya telah mempertimbangkan hal ini. Sekali pun pada saat itu sudah ada model sistem pemerintahan negara yang berlaku secara universal, yaitu sistem presidensial dan sistem parlementer, namun mereka tidak serta merta memilih salah satu di antaranya, melainkan lebih memilih suatu sistem yang khas Indonesia yang disebutnya sebagai "sistem sendiri" dalam bangunan Negara Pancasila," kata Pontjo.
Walaupun para bapak bangsa telah berusaha membangun sistem ketatanegaraan yang diharapkan kompatibel bagi ke-Indonesiaan kita, diakui Pontjo, sampai saat ini masih menjadi perdebatan bahkan seringkali mengalami kebuntuan politik dalam mencari format sistem yang tepat yang sesuai dengan kondisi objektif bangsa yang heterogen (secara sosial-ekonomi, geografis) dan multikultural (secara ras, etnik, agama, budaya).
Merumuskan pilihan sistem ketatanegaraan yang sesuai bagi bangsa Indonesia yang heterogen dan multikultur dalam rangka memperkuat peran Negara (state-building) tentu sangat penting, agar Indonesia tidak salah urus dan menjadi negara gagal sebagaimana diperingatkan oleh para pemikir seperti saya sampaikan tadi. Namun membangun kebangsaan (nation-building) juga sama pentingnya karena bangsa Indonesia justru ada sebelum Indonesia lahir sebagai nation-state.
"Hal ini perlu saya ingatkan, karena hari ini, kita seperti menemukan fenomena Hal ini perlu saya ingatkan, karena hari ini, kita seperti menemukan fenomena tidak padunya antara kebutuhan untuk mengukuhkan kebangsaan melalui nation-building, dengan kebutuhan akan penguatan negara melalui state-building," kata Pontjo.
Sementara itu, Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) yang juga Rektor UGM Prof Panut Mulyono mengatakan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keragaman suku, bangsa, budaya, agama secara geopolitik dapat menimbulkan banyak masalah dan tantangan. Terlebih di era reformasi dimana muncul intoleransi, korupsi, kasus narkoba dan kekerasan yang masih terus saja terjadi.
tulis komentar anda