Ubah Citra Positif, Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Harus Dicabut
Kamis, 28 Mei 2020 - 17:07 WIB
JAKARTA - Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme memicu polemik di masyarakat. Selain dipandang tak memiliki urgensi di tengah pandemi Covid 19, perpres tersebut rentan menjadikan TNI sebagai aktor pelanggar HAM. (Baca juga: Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Terorisme Ancam Reformasi)
Pernyataan tersebut dikemukakan dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Otto Nur Abdullah menyikapi penyerahan perpres tersebut ke DPR awal Mei 2020 lalu. Otto menilai, saat ini isu terorisme sedang menurun terlebih pascawabah virus Covid-19. Baginya tidak signifikan lagi untuk diperebutkan antar aparat bersenjata kewenangan dalam penanganan teroris tersebut. (Baca juga: Pemerintah Didesak Perbaiki Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme)
“Ya, jelas menjadi nggak penting lagi. Bahkan justru berbahaya karena bisa digunakan untuk menghadapi kebangkitan politik identitas. Berbahaya dalam artian bisa menempatkan kembali TNI sebagai aktor potensial melanggar HAM seperti dalam periode politik rezim otoritarian," katanya, Kamis (28/5/2020). (Baca juga: Rancangan Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme Dinilai Rancu)
Padahal pascareformasi, kata Otto, berdasarkan data pengaduan yang dirilis Komnas HAM, posisi aktor potensial itu sudah beralih ke Polri. "Perhatikan saja saat Pilpres 2019. Praktis TNI tidak dijadikan aktor potensial, melainkan hanya Polri. Baik presiden maupun DPR pantas dicurigai. Ada skenario politik apa ke depan sehingga ingin meletakkan TNI di posisi aktor potensial pelanggar HAM kembali? Apa ingin merubah republik ini dari rezim demokrasi ke rezim otoritarian kembali?," tanya Otto.
Di dunia manapun, sambung Otto, isu terorisme kian menghilang tinggal di Indonesia aja. ”Cabut aja karena membuat citra TNI yang sudah semakin positif akan kembali terpuruk. Lebih baik konsentrasi bagaimana menghadapi perang dalam masa Covid dan post Covid,” kata Otto.
Sebelumnya, sejumlah aktivis, akademisi dan tokoh masyarakat menandatangani petisi terhadap Perpres yang memberikan kewenangan TNI dalam menangani terorisme. Di antaranya, Guru Besar Fisipol UGM Mochtar Mas'oed, guru besar FH UGM Sigit Riyanto, Alissa Wahid, putri mendiang Gus Dur, dosen FISIP UI Nur Iman Subono, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid, dan dosen Universitas Paramadina Shiskha Prabawaningtyas.
Pernyataan tersebut dikemukakan dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Otto Nur Abdullah menyikapi penyerahan perpres tersebut ke DPR awal Mei 2020 lalu. Otto menilai, saat ini isu terorisme sedang menurun terlebih pascawabah virus Covid-19. Baginya tidak signifikan lagi untuk diperebutkan antar aparat bersenjata kewenangan dalam penanganan teroris tersebut. (Baca juga: Pemerintah Didesak Perbaiki Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme)
“Ya, jelas menjadi nggak penting lagi. Bahkan justru berbahaya karena bisa digunakan untuk menghadapi kebangkitan politik identitas. Berbahaya dalam artian bisa menempatkan kembali TNI sebagai aktor potensial melanggar HAM seperti dalam periode politik rezim otoritarian," katanya, Kamis (28/5/2020). (Baca juga: Rancangan Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme Dinilai Rancu)
Padahal pascareformasi, kata Otto, berdasarkan data pengaduan yang dirilis Komnas HAM, posisi aktor potensial itu sudah beralih ke Polri. "Perhatikan saja saat Pilpres 2019. Praktis TNI tidak dijadikan aktor potensial, melainkan hanya Polri. Baik presiden maupun DPR pantas dicurigai. Ada skenario politik apa ke depan sehingga ingin meletakkan TNI di posisi aktor potensial pelanggar HAM kembali? Apa ingin merubah republik ini dari rezim demokrasi ke rezim otoritarian kembali?," tanya Otto.
Di dunia manapun, sambung Otto, isu terorisme kian menghilang tinggal di Indonesia aja. ”Cabut aja karena membuat citra TNI yang sudah semakin positif akan kembali terpuruk. Lebih baik konsentrasi bagaimana menghadapi perang dalam masa Covid dan post Covid,” kata Otto.
Sebelumnya, sejumlah aktivis, akademisi dan tokoh masyarakat menandatangani petisi terhadap Perpres yang memberikan kewenangan TNI dalam menangani terorisme. Di antaranya, Guru Besar Fisipol UGM Mochtar Mas'oed, guru besar FH UGM Sigit Riyanto, Alissa Wahid, putri mendiang Gus Dur, dosen FISIP UI Nur Iman Subono, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid, dan dosen Universitas Paramadina Shiskha Prabawaningtyas.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda