DPR Nilai Vaksin Berbayar Rawan Mafia dan Korupsi
Rabu, 14 Juli 2021 - 19:52 WIB
JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) , Firli Bahuri menyampaikan sejumlah catatan dan masukan terkait rencana vaksinasi COVID-19 berbayar atau Vaksin Gotong Royong Individu yang rencananya akan dilakukan oleh jaringan klinik Kimia Farma. Menurut Firli, KPK tidak mendukung adanya program berbayar ini karena berisiko tinggi memunculkan tindak korupsi.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni sepakat dengan pernyataan KPK. Menurutnya, masukan dari KPK ini sudah tepat dan sesuai mengingat tingginya potensi korupsi dari program vaksin berbayar ini.
“Vaksin ini kan program kemanusiaan, jadi siapapun dan dengan kepentingan apapun harus satu suara untuk mengawal program ini dengan sebaik-baiknya. KPK sudah tegas mengambil posisi ini dan saya apresiasi sekali,” ujar Sahroni kepada wartawan, Rabu (14/7/2021).
Wakil Koordinator Satgas Lawan COVID-19 DPR ini menyebut dalam kondisi pandemi saat ini tak bisa dipungkiri bahwa mafia obat kian bermunculan. Hal ini kemudian menyebabkan kelangkaan obat di masyarakat hingga menciptakan kenaikan harga yang tidak masuk akal. Hal ini perlu dihindari, salah satunya dengan tetap membuat vaksin sebagai komoditas gratis.
“Kalau dibuat berbayar maka dikhawatirkan vaksinasi ini digunakan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk menimbun vaksin, lalu dijual lagi dengan harga mahal. Ini akan sangat melukai nurani kita yang tengah berjuang bersama-sama membendung penyebaran COVID-19,” tandasnya.
Selain itu, politikus Partai Nasdem ini juga menyoroti tentang pendanaan vaksinasi yang berasal dari anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Artinya, dana pengadaan ini diambil dari kas negara, dan bukan dari pendanaan BUMN. Baca juga: Catatan Kemenkes Setelah PPKM Darurat Berjalan Dua Pekan
“Kalau jadi dibuat berbayar, maka DPR juga harus meminta penjelasan terkait pendanaan vaksin mandiri. Karena setahu saya, dana yang digunakan berasal dari anggaran PEN, yang artinya bersumber dari Keuangan Negara. Bukan dari Bank Hinbara milik BUMN. Ini yang harus kita hati-hati karena rawan penyelewengan,” tegas Sahroni.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni sepakat dengan pernyataan KPK. Menurutnya, masukan dari KPK ini sudah tepat dan sesuai mengingat tingginya potensi korupsi dari program vaksin berbayar ini.
“Vaksin ini kan program kemanusiaan, jadi siapapun dan dengan kepentingan apapun harus satu suara untuk mengawal program ini dengan sebaik-baiknya. KPK sudah tegas mengambil posisi ini dan saya apresiasi sekali,” ujar Sahroni kepada wartawan, Rabu (14/7/2021).
Wakil Koordinator Satgas Lawan COVID-19 DPR ini menyebut dalam kondisi pandemi saat ini tak bisa dipungkiri bahwa mafia obat kian bermunculan. Hal ini kemudian menyebabkan kelangkaan obat di masyarakat hingga menciptakan kenaikan harga yang tidak masuk akal. Hal ini perlu dihindari, salah satunya dengan tetap membuat vaksin sebagai komoditas gratis.
“Kalau dibuat berbayar maka dikhawatirkan vaksinasi ini digunakan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk menimbun vaksin, lalu dijual lagi dengan harga mahal. Ini akan sangat melukai nurani kita yang tengah berjuang bersama-sama membendung penyebaran COVID-19,” tandasnya.
Selain itu, politikus Partai Nasdem ini juga menyoroti tentang pendanaan vaksinasi yang berasal dari anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Artinya, dana pengadaan ini diambil dari kas negara, dan bukan dari pendanaan BUMN. Baca juga: Catatan Kemenkes Setelah PPKM Darurat Berjalan Dua Pekan
“Kalau jadi dibuat berbayar, maka DPR juga harus meminta penjelasan terkait pendanaan vaksin mandiri. Karena setahu saya, dana yang digunakan berasal dari anggaran PEN, yang artinya bersumber dari Keuangan Negara. Bukan dari Bank Hinbara milik BUMN. Ini yang harus kita hati-hati karena rawan penyelewengan,” tegas Sahroni.
(kri)
tulis komentar anda