Pemerintah Didesak Perbaiki Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme
Rabu, 27 Mei 2020 - 16:50 WIB
Senada, Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM Najib Azca menilai, pemberian kewenangan penangkalan dan penindakan tindak pidana terorisme di dalam negeri dengan alasan menghadapi ancaman terorisme kepada presiden, objek vital dan lainnya seperti dalam Pasal 9 draf Perppres tersebut akan merusak mekanisme criminal justice system.
Tak hanya itu, adanya tugas penangkalan dan penindakan yang bersifat mandiri bukan perbantuan untuk mengatasi kejahatan tindak pidana terorisme di dalam negeri, dipandang akan menimbulkan tumpang tindih fungsi dan tugas antara militer dengan kelembagaan negara lainnya yakni dengan BNPT, aparat penegak hukum dan lembaga intelijen negara itu sendiri.
“Hal ini justru akan membuat penanganan terorisme menjadi tidak efektif karena terjadi overlapping fungsi dan tugas antar kelembagaan negara. Pola penanganan terorisme dengan memberikan kewenangan yang berlebihan kepada TNI sebagaimana di maksud dalam draf peraturan presiden tersebut akan membuka ruang dan potensi collateral damage yang tinggi, cenderung represif, stereotyping (stigmatisasi) sehingga menjadi ancaman serius bagi hak asasi manusia dan kehidupan demokrasi di Indonesia,” sambungnya.
Untuk itu, dalam petisi itu tersebut para aktivis, akademisi maupun tokoh masyarakat mendesak DPR agar meminta pemerintah untuk memperbaiki draf peraturan presiden itu secara lebih baik dan lebih benar karena secara substansi memiliki banyak permasalahan. “Di sisi lain, Presiden Jokowi perlu hati-hati dalam membuat peraturan presiden tentang pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme karena jika hal itu tidak di buat dengan benar maka peraturan presiden itu justru akan menjadi cek kosong bagi militer dalam mengatasi terorisme di Indonesia dan akan memundurkan jalannya reformasi TNI itu sendiri serta kehidupan demokrasi di Indonesia,” kata Nazib.
Selain Al Araf dan Najib Azca, sejumlah aktivis, tokoh masyarakat dan akademisi yang turut menandatangani petisi itu di antaranya, Guru Besar Fisipol UGM Mochtar Mas'oed, guru besar FH UGM Sigit Riyanto, putri mendiang Gus Dur yakni Alissa Wahid. Dosen FISIP UI Nur Iman Subono, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid, dan dosen Universitas Paramadina Phil Shiskha Prabawaningtyas.
Tak hanya itu, adanya tugas penangkalan dan penindakan yang bersifat mandiri bukan perbantuan untuk mengatasi kejahatan tindak pidana terorisme di dalam negeri, dipandang akan menimbulkan tumpang tindih fungsi dan tugas antara militer dengan kelembagaan negara lainnya yakni dengan BNPT, aparat penegak hukum dan lembaga intelijen negara itu sendiri.
“Hal ini justru akan membuat penanganan terorisme menjadi tidak efektif karena terjadi overlapping fungsi dan tugas antar kelembagaan negara. Pola penanganan terorisme dengan memberikan kewenangan yang berlebihan kepada TNI sebagaimana di maksud dalam draf peraturan presiden tersebut akan membuka ruang dan potensi collateral damage yang tinggi, cenderung represif, stereotyping (stigmatisasi) sehingga menjadi ancaman serius bagi hak asasi manusia dan kehidupan demokrasi di Indonesia,” sambungnya.
Untuk itu, dalam petisi itu tersebut para aktivis, akademisi maupun tokoh masyarakat mendesak DPR agar meminta pemerintah untuk memperbaiki draf peraturan presiden itu secara lebih baik dan lebih benar karena secara substansi memiliki banyak permasalahan. “Di sisi lain, Presiden Jokowi perlu hati-hati dalam membuat peraturan presiden tentang pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme karena jika hal itu tidak di buat dengan benar maka peraturan presiden itu justru akan menjadi cek kosong bagi militer dalam mengatasi terorisme di Indonesia dan akan memundurkan jalannya reformasi TNI itu sendiri serta kehidupan demokrasi di Indonesia,” kata Nazib.
Selain Al Araf dan Najib Azca, sejumlah aktivis, tokoh masyarakat dan akademisi yang turut menandatangani petisi itu di antaranya, Guru Besar Fisipol UGM Mochtar Mas'oed, guru besar FH UGM Sigit Riyanto, putri mendiang Gus Dur yakni Alissa Wahid. Dosen FISIP UI Nur Iman Subono, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid, dan dosen Universitas Paramadina Phil Shiskha Prabawaningtyas.
(cip)
tulis komentar anda