Pemerintah Didesak Perbaiki Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme

Rabu, 27 Mei 2020 - 16:50 WIB
loading...
Pemerintah Didesak Perbaiki...
Sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat sipil mengeluarkan petisi bersama menolak Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat sipil mengeluarkan petisi bersama menolak Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. (Baca juga: Komnas HAM: Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Teroris Harus Ditinjau Ulang)

“Alasannya, rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme mengganggu criminal justice system, mengancam HAM dan demokrasi,” kata Direktur Imparsial sekaligus Juru Bicara Petisi Al Araf dalam keterangannya yang diterima SINDOnews Rabu (27/5/2020). (Baca juga: Setara Institute Kritik Rancangan Perpres Tugas TNI dalam Atasi Terorisme)

Dia menjelaskan, pada 4 Mei 2020 lalu pemerintah menyerahkan draf perpres tersebut ke DPR. Selanjutnya DPR akan memberikan pertimbangan kepada pemerintah sebagai bentuk bagian dari konsultasi pemerintah kepada DPR sebagaimana di atur dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, sebelum di sahkan atau tidak disahkan oleh Presiden. (Baca juga: Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Terorisme Ancam Reformasi)

“Kami menilai hukum dalam masyarakat demokratik, berfungsi untuk memberi, mendefinisikan dan mengatur pelaksanaan kewenangan-kewenangan negara. Dengan cara menetapkan batasan-batasan yang jelas terhadap kewenangan negara, hukum melindungi hak-hak warga negara dari kemungkinan abuse of power. Dengan berpijak pada hal itu, maka produk kebijakan penanganan teorisme di Indonesia harus dapat menjaga keseimbangan imperatif antara perlindungan terhadap liberty of person dalam suatu titik dengan perlindungan terhadap security of person,” ucapnya.

Atas dasar itu, kata dia, aktivis dan tokoh masyarakat yang menandatangani petisi tersebut menilai pengaturan tentang kewenangan TNI di dalam draf perpres tersebut terlalu berlebihan sehingga akan mengganggu mekanisme criminal justice system, mengancam HAM dan kehidupan demokrasi itu sendiri. “Kewenangan penangkalan dalam rancangan perpres sangat luas, yakni dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan operasi lainnya (Pasal 3 draft Perpres). Sementara itu, perpres ini tidak memberi penjelasan lebih rinci terkait dengan operasi lainnya,” papar Al Araf.

Dengan pasal ini, sambung Al Araf, TNI dapat terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme secara lebih leluasa di dalam negeri sehingga berpotensi membahayakan kehidupan HAM di Indonesia. Al Araf juga mengingatkan, secara konsepsi istilah penangkalan tidak dikenal dalam UU No 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

UU tersebut hanya mengenal istilah pencegahan, yakni sebagai tugas pemerintah yang dikoordinasikan oleh BNPT yang tercantum dalam Pasal 43 UU Nomor 5 tahun 2018 dimana kewewenangannya diberikan kepada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bukan kepada TNI. Berbeda halnya dengan rancangan perpres ini, dimana TNI diberi kewenangan untuk dapat melakukan penangkalan. “Kami menilai bahwa pemberian kewenangan yang luas kepada TNI dalam mengatasi terorisme tanpa dibarengi dengan kejelasan mekanisme akuntabilitas untuk tunduk dalam sistem peradilan umum tentu membahayakan hak-hak warga,” kata dia.

Jika terdapat kesalahan operasi di lapangan yang mengakibatkan hak-hak warga negara terlanggar maka mekanisme pertanggung jawabannya menjadi tidak jelas karena militer masih tunduk dalam yurisdiksi peradilan militer dan belum tunduk dalam yurisdiksi peradilan umum. ”Kami menilai, rancangan perpres tersebut akan mengganggu mekanisme criminal justice system dalam penanganan terorisme di Indonesia,” timpalnya:

Dengan alasan kejahatan terorisme, militer yang bukan merupakan bagian dari aparat penegak hukum dikhawatirkan dapat melakukan fungsi penangkalan dan penindakan secara langsung dan mandiri dalam mengatasi ancaman kejahatan terorisme di dalam negeri. Hal ini tidak sejalan dengan hakikat dibentuknya militer (raison d’etre) sebagai alat pertahanan negara yang dilatih untuk menghadapi perang, bukan untuk penegakkan hukum.

Senada, Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM Najib Azca menilai, pemberian kewenangan penangkalan dan penindakan tindak pidana terorisme di dalam negeri dengan alasan menghadapi ancaman terorisme kepada presiden, objek vital dan lainnya seperti dalam Pasal 9 draf Perppres tersebut akan merusak mekanisme criminal justice system.

Tak hanya itu, adanya tugas penangkalan dan penindakan yang bersifat mandiri bukan perbantuan untuk mengatasi kejahatan tindak pidana terorisme di dalam negeri, dipandang akan menimbulkan tumpang tindih fungsi dan tugas antara militer dengan kelembagaan negara lainnya yakni dengan BNPT, aparat penegak hukum dan lembaga intelijen negara itu sendiri.

“Hal ini justru akan membuat penanganan terorisme menjadi tidak efektif karena terjadi overlapping fungsi dan tugas antar kelembagaan negara. Pola penanganan terorisme dengan memberikan kewenangan yang berlebihan kepada TNI sebagaimana di maksud dalam draf peraturan presiden tersebut akan membuka ruang dan potensi collateral damage yang tinggi, cenderung represif, stereotyping (stigmatisasi) sehingga menjadi ancaman serius bagi hak asasi manusia dan kehidupan demokrasi di Indonesia,” sambungnya.

Untuk itu, dalam petisi itu tersebut para aktivis, akademisi maupun tokoh masyarakat mendesak DPR agar meminta pemerintah untuk memperbaiki draf peraturan presiden itu secara lebih baik dan lebih benar karena secara substansi memiliki banyak permasalahan. “Di sisi lain, Presiden Jokowi perlu hati-hati dalam membuat peraturan presiden tentang pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme karena jika hal itu tidak di buat dengan benar maka peraturan presiden itu justru akan menjadi cek kosong bagi militer dalam mengatasi terorisme di Indonesia dan akan memundurkan jalannya reformasi TNI itu sendiri serta kehidupan demokrasi di Indonesia,” kata Nazib.

Selain Al Araf dan Najib Azca, sejumlah aktivis, tokoh masyarakat dan akademisi yang turut menandatangani petisi itu di antaranya, Guru Besar Fisipol UGM Mochtar Mas'oed, guru besar FH UGM Sigit Riyanto, putri mendiang Gus Dur yakni Alissa Wahid. Dosen FISIP UI Nur Iman Subono, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid, dan dosen Universitas Paramadina Phil Shiskha Prabawaningtyas.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1161 seconds (0.1#10.140)