Kekhawatiran itu!
Kamis, 01 Juli 2021 - 06:40 WIB
Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation
DARI sekian banyak kekhawatiran-kekhawatiran Komunitas Muslim di Amerika, krisis generasi menjadi kekhawatiran terbesar. Generasi terancam kehilangan jati diri. Salah satunya hilangnya identitas “budaya asal” yang positif seperti sopan santun, hormat orang tua, gotong royong dan kebersamaan, dan lain-lain.
Tapi yang terpenting dari semua itu adalah hilangnya jati diri yang paling mendasar sebagai manusia. Yaitu iman dan Islam yang menjadi modal atau fondasi kehidupannya. Saya tidak lagi mengulangi ragam contoh dalam Masyarakat tentang anak-anak yang telah jauh, bahkan meninggalkan keyakinannya sebagai orang-orang Muslim.
Inilah yang menjadi alasan penting untuk menghadirkan wahana atau fasilitas bagi generasi sebagai jalan “survival” (keselamatan) mereka dalam iman. Masjid-masjid, Islamic Center, sekolah-sekolah Islam, dan lain-lain harusnya memang memainkan peranan itu. Sayangnya kerap kali masjid-masjid atau institusi-insitusi keagamaan itu memerankan irama yang sama. Irama lama. Menjadi tempat-tempat kegiatan ritual, dzikir-dzikir kering yang tidak memiliki dampak sosial dalam hidup.
Apalagi seringkali institusi-institusi itu dengan irama lama juga berwawasan lama (tua). Orientasi kegiatan/aktifitasnya berkisar pada irama lama itu. Akibatnya generasi muda khususnya yang lahir dan besar di Amrika merasa terabaikan. Imam/guru yang dihadirkan juga tidak memiliki kapasitas yang cukup. Baik pada kapasitas wawasan baru itu, apalagi kemampuan komunikasi dan bahasa yang dipahami generasi muda.
Walhasil pada tingkat kesadaran beragama terjadi jurang yang menganga antara generasi “ortu” (orang tua) dan generasi “millennial” (pemuda/remaja). Krisis relasi orang tua dan anak juga semakin kompleks. Orang tua ingin dihormati di satu sisi. Anak-anak merasa punya independensi yang mutlak di sisi lain. Realita ini berakibat kepada krisis sosial lainnya. Relasi antar kekuarga (silaturrahim) semakin menipis.
Bahkan pada tataran selanjutnya dan pada konteks yang lebih luas generasi muda Muslim memasuki kehidupan publik tanpa ada kesadaran tanggung jawab (religious responsibility) keislaman itu. Sehingga generasi berhasil pada dunianya tapi menjadi generasi yang tidak peduli (don’t care) dengan akhiratnya.
Situasi itu sesungguhnya menjadi karakter utama dunia kapitalisme. Bahwa hidup ini segalanya adalah fisikal atau material. Pandangan atau wawasan hidup yang demikian dikenal sebagai paham “materialisme”. Paham ini sejujurnya telah diadopsi tanda disadari sebagai agama bagi dunia Barat saat ini.
Presiden Nusantara Foundation
DARI sekian banyak kekhawatiran-kekhawatiran Komunitas Muslim di Amerika, krisis generasi menjadi kekhawatiran terbesar. Generasi terancam kehilangan jati diri. Salah satunya hilangnya identitas “budaya asal” yang positif seperti sopan santun, hormat orang tua, gotong royong dan kebersamaan, dan lain-lain.
Tapi yang terpenting dari semua itu adalah hilangnya jati diri yang paling mendasar sebagai manusia. Yaitu iman dan Islam yang menjadi modal atau fondasi kehidupannya. Saya tidak lagi mengulangi ragam contoh dalam Masyarakat tentang anak-anak yang telah jauh, bahkan meninggalkan keyakinannya sebagai orang-orang Muslim.
Inilah yang menjadi alasan penting untuk menghadirkan wahana atau fasilitas bagi generasi sebagai jalan “survival” (keselamatan) mereka dalam iman. Masjid-masjid, Islamic Center, sekolah-sekolah Islam, dan lain-lain harusnya memang memainkan peranan itu. Sayangnya kerap kali masjid-masjid atau institusi-insitusi keagamaan itu memerankan irama yang sama. Irama lama. Menjadi tempat-tempat kegiatan ritual, dzikir-dzikir kering yang tidak memiliki dampak sosial dalam hidup.
Apalagi seringkali institusi-institusi itu dengan irama lama juga berwawasan lama (tua). Orientasi kegiatan/aktifitasnya berkisar pada irama lama itu. Akibatnya generasi muda khususnya yang lahir dan besar di Amrika merasa terabaikan. Imam/guru yang dihadirkan juga tidak memiliki kapasitas yang cukup. Baik pada kapasitas wawasan baru itu, apalagi kemampuan komunikasi dan bahasa yang dipahami generasi muda.
Walhasil pada tingkat kesadaran beragama terjadi jurang yang menganga antara generasi “ortu” (orang tua) dan generasi “millennial” (pemuda/remaja). Krisis relasi orang tua dan anak juga semakin kompleks. Orang tua ingin dihormati di satu sisi. Anak-anak merasa punya independensi yang mutlak di sisi lain. Realita ini berakibat kepada krisis sosial lainnya. Relasi antar kekuarga (silaturrahim) semakin menipis.
Bahkan pada tataran selanjutnya dan pada konteks yang lebih luas generasi muda Muslim memasuki kehidupan publik tanpa ada kesadaran tanggung jawab (religious responsibility) keislaman itu. Sehingga generasi berhasil pada dunianya tapi menjadi generasi yang tidak peduli (don’t care) dengan akhiratnya.
Situasi itu sesungguhnya menjadi karakter utama dunia kapitalisme. Bahwa hidup ini segalanya adalah fisikal atau material. Pandangan atau wawasan hidup yang demikian dikenal sebagai paham “materialisme”. Paham ini sejujurnya telah diadopsi tanda disadari sebagai agama bagi dunia Barat saat ini.
Lihat Juga :
tulis komentar anda