Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Terorisme Ancam Reformasi
Selasa, 26 Mei 2020 - 21:20 WIB
JAKARTA - Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme ditentang keras sejumlah kalangan karena dinilai mengikis cita-cita Reformasi dan mundurnya kehidupan demokrasi.
Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Syafiq Ramdhani mengatakan, sesuai cita-cita Reformasi yang menjunjung tinggi supremasi sipil dalam negara demokrasi, harus ada pemisahan yang jelas antara civil society dengan militer. (Baca juga: Setara Institute Kritik Rancangan Perpres Tugas TNI dalam Atasi Terorisme)
“Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam mengatasi aksi teorisme tidak berdasar pada ketentuan criminal justice system serta peraturan perundang-undangan di atasnya yang mengatur secara tegas mengenai hakikat secara yuridis tentang tugas, pokok dan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara dan bukan aparat penegakkan hukum,” kata Syafiq Ramdhani dalam keterangan yang diterima SINDOnews, Selasa (26/6/2020). (Baca juga: Komnas HAM: Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Teroris Harus Ditinjau Ulang)
Berdasarkan pertimbangan filosofis teoritis yuridis serta dijustifikasi oleh berbagai prinsip-prinsip fundamental dalam pelaksanaan berbangsa dan bernegara yang dilandasi negara hukum yang demokratis serta menjunjung tinggi prinsipn Hak Asasi Manusia (HAM) dalam civil society. “Maka dari itu legal standing atas rancangan Peraturan Presiden ini tidak berdasar pada peraturan di atasnya serta tidak berdasar pada tuntutan Reformasi,” ucapnya. (Baca juga: Rancangan Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme Dinilai Rancu)
Atas dasar itu, HMI Cabang Malang Komisariat Hukum Brawijaya, kata Syafiq, menolak secara tegas rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme demi keberlangsungan penegakkan dan perkembangan hukum yang demokratis menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. “HMI Cabang Malang Komisariat Hukum Brawijaya menegaskan untuk menegakkan profesionalisme Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan negara sesuai dengan amanat Reformasi demi keberlangsungan demokrasi,” tegas Syafiq.
Dia menjelaskan, motivasi teror tidak selalu didasarkan pada penafsiran orang atau kelompok atas keyakinan agama. Motivasi teror juga dapat bersumber pada alasan-alasan kriminal, etnonasionalisme maupun politik. Tindak kekerasan itu bisa pula dilakukan oleh individu, kelompok maupun negara. Sasaran atau korban, bukan tujuan utama, tetapi hanya salah satu bentuk dari taktik intimidasi atau propaganda untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. “Karakteristik tindakan terorisme terletak pada menggunakan kekerasan secara sistematik untuk menimbulkan ketakutan yang meluas,” urainya.
Syafiq menyebut, pada 4 Mei 2020 pemerintah menyerahkan rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme ke DPR. Hal itu menurutnya tidak dapat diterima karena berbagai persoalan. Salah satunya, dari sektor penegakkan hukum, terorisme merupakan tindak pidana luar biasa (Extraordinary Crime) yang membutuhkan penanganan yang luar biasa (Extraordinary Measure) tetapi harus tunduk pada ketentuan sistem peradilan pidana yang penanganannya masuk ke dalam ruang lingkup kewenangan penegak hukum.
Studi penelitian tentang pola penanganan terorisme di dunia dari 1960 sampai 2008 oleh rand corporation menyebutkan dari banyaknya kasus terorisme di berbagai negara dan motif yang beragam ternyata hanya 10% pola penanganan terorisme yang efektif dan berhasil dilakukan oleh operasi militer. Sementara hampir 70% menyebutkan keberhasilan penanganan terorisme dilakukan dengan penegakkan hukum dan operasi intelijen. Sisanya, menyebutkan pola penanganan terorisme berhasil karena kelompok-kelompok teroris melakukan metode negosiasi dan dialog yang masuk ke ranah politik.
“Mengacu pada data di atas terlihat lebih efektif pola penanganan terorisme dengan penegakkan hukum dan operasi intelijen karena sejatinya terorisme masuk dalam tindak pidana sehingga dibutuhkan pola penanganan scientific investigation yang hanya dimiliki oleh kepolisian,” papar Syafiq.
Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Syafiq Ramdhani mengatakan, sesuai cita-cita Reformasi yang menjunjung tinggi supremasi sipil dalam negara demokrasi, harus ada pemisahan yang jelas antara civil society dengan militer. (Baca juga: Setara Institute Kritik Rancangan Perpres Tugas TNI dalam Atasi Terorisme)
“Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam mengatasi aksi teorisme tidak berdasar pada ketentuan criminal justice system serta peraturan perundang-undangan di atasnya yang mengatur secara tegas mengenai hakikat secara yuridis tentang tugas, pokok dan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara dan bukan aparat penegakkan hukum,” kata Syafiq Ramdhani dalam keterangan yang diterima SINDOnews, Selasa (26/6/2020). (Baca juga: Komnas HAM: Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Teroris Harus Ditinjau Ulang)
Berdasarkan pertimbangan filosofis teoritis yuridis serta dijustifikasi oleh berbagai prinsip-prinsip fundamental dalam pelaksanaan berbangsa dan bernegara yang dilandasi negara hukum yang demokratis serta menjunjung tinggi prinsipn Hak Asasi Manusia (HAM) dalam civil society. “Maka dari itu legal standing atas rancangan Peraturan Presiden ini tidak berdasar pada peraturan di atasnya serta tidak berdasar pada tuntutan Reformasi,” ucapnya. (Baca juga: Rancangan Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme Dinilai Rancu)
Atas dasar itu, HMI Cabang Malang Komisariat Hukum Brawijaya, kata Syafiq, menolak secara tegas rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme demi keberlangsungan penegakkan dan perkembangan hukum yang demokratis menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. “HMI Cabang Malang Komisariat Hukum Brawijaya menegaskan untuk menegakkan profesionalisme Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan negara sesuai dengan amanat Reformasi demi keberlangsungan demokrasi,” tegas Syafiq.
Dia menjelaskan, motivasi teror tidak selalu didasarkan pada penafsiran orang atau kelompok atas keyakinan agama. Motivasi teror juga dapat bersumber pada alasan-alasan kriminal, etnonasionalisme maupun politik. Tindak kekerasan itu bisa pula dilakukan oleh individu, kelompok maupun negara. Sasaran atau korban, bukan tujuan utama, tetapi hanya salah satu bentuk dari taktik intimidasi atau propaganda untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. “Karakteristik tindakan terorisme terletak pada menggunakan kekerasan secara sistematik untuk menimbulkan ketakutan yang meluas,” urainya.
Syafiq menyebut, pada 4 Mei 2020 pemerintah menyerahkan rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme ke DPR. Hal itu menurutnya tidak dapat diterima karena berbagai persoalan. Salah satunya, dari sektor penegakkan hukum, terorisme merupakan tindak pidana luar biasa (Extraordinary Crime) yang membutuhkan penanganan yang luar biasa (Extraordinary Measure) tetapi harus tunduk pada ketentuan sistem peradilan pidana yang penanganannya masuk ke dalam ruang lingkup kewenangan penegak hukum.
Studi penelitian tentang pola penanganan terorisme di dunia dari 1960 sampai 2008 oleh rand corporation menyebutkan dari banyaknya kasus terorisme di berbagai negara dan motif yang beragam ternyata hanya 10% pola penanganan terorisme yang efektif dan berhasil dilakukan oleh operasi militer. Sementara hampir 70% menyebutkan keberhasilan penanganan terorisme dilakukan dengan penegakkan hukum dan operasi intelijen. Sisanya, menyebutkan pola penanganan terorisme berhasil karena kelompok-kelompok teroris melakukan metode negosiasi dan dialog yang masuk ke ranah politik.
“Mengacu pada data di atas terlihat lebih efektif pola penanganan terorisme dengan penegakkan hukum dan operasi intelijen karena sejatinya terorisme masuk dalam tindak pidana sehingga dibutuhkan pola penanganan scientific investigation yang hanya dimiliki oleh kepolisian,” papar Syafiq.
Lihat Juga :
tulis komentar anda