Mitigasi Bencana Dinilai Penting untuk Minimalisir Risiko Kerugian
Kamis, 17 Juni 2021 - 18:06 WIB
"Sektor swasta dengan keahlian yang dapat dimanfaatkan dan lebih efisien. Nah di sini kita mencari keseimbangan mana peran pemerintah yang baik, itu yang dipegang pemerintah, mana peran swasta yang baik itu bisa kontribusi swasta," paparnya.
Deni menjelaskan mengenai model pembiayaan risiko bencana yang dapat dipergunakan seperti non pasar, voluntary, swadaya masyarakat, sumbangan, dan lainnya. Untuk skema yang menggunakan pasar dapat dilakukan dengan asuransi, bon atau dari pemerintah.
"Kita perlu membangun sebuah sistem penanggulangan bencana yang lebih integratif," jelasnya.
Direktur Pengelolaan Risiko Keuangan Negara DJPPR, Kementerian Keuangan, Heri Setiawan mengamini pernyataan Deni. Ia mengatakan, pembiayaan risiko bencana alam tidak bisa hanya dilakukan pemerintah meski pemerintah dalam APBN sudah menyiapkan anggaran seperti untuk mitigasi dan tanggap darurat.
"Tapi memang apabila bencananya besar, anggaran tidak cukup. Untuk tanggap darurat dan Indonesia ini luas. Jenis bencananya banyak sekali dan kalau itu berbarengan dan besar-besar, dana APBN tidak cukup," kata Heri dalam Webinar bertema "Mitigasi Pembiayaan Risiko Bencana Alam", Kamis (17/6/2021).
Heri menambahkan, pemerintah telah melaunching strategi dan kebijakan pembiayaan dan asuransi risiko bencana pada rangkaian acara annual meeting IMF WB pada 2018 di Bali. Strategi itu meliputi implementasi bauran instrumen DRFI, pemerintah menyerap risiko bencana untuk porsi tertentu, eksplorasi kemungkinan pinjaman siaga (conttingent loans), pendirian pooling fund berencana, dan implementasi skema risk transfer asuransi
"Untuk skala kebutuhan yang besar, tidak mungkin pemerintah saja. Ada keterlibatan masyarakat, misal untuk properti dan kesehatan yang harus menyiapkan juga mitigasi," ujarnya.
Sementara itu Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia, Dody Achmad Sudiyar Dalimunthe mengakui hingga saat ini masyarakat Indonesia belum mengapreasi asuransi.
"Masyarakat Indonesia masih belum punya kemampuan untuk beli produk asuransi. Asuransi nomor sekian setelah kebutuhan primer," kata dia.
Deni menjelaskan mengenai model pembiayaan risiko bencana yang dapat dipergunakan seperti non pasar, voluntary, swadaya masyarakat, sumbangan, dan lainnya. Untuk skema yang menggunakan pasar dapat dilakukan dengan asuransi, bon atau dari pemerintah.
"Kita perlu membangun sebuah sistem penanggulangan bencana yang lebih integratif," jelasnya.
Direktur Pengelolaan Risiko Keuangan Negara DJPPR, Kementerian Keuangan, Heri Setiawan mengamini pernyataan Deni. Ia mengatakan, pembiayaan risiko bencana alam tidak bisa hanya dilakukan pemerintah meski pemerintah dalam APBN sudah menyiapkan anggaran seperti untuk mitigasi dan tanggap darurat.
"Tapi memang apabila bencananya besar, anggaran tidak cukup. Untuk tanggap darurat dan Indonesia ini luas. Jenis bencananya banyak sekali dan kalau itu berbarengan dan besar-besar, dana APBN tidak cukup," kata Heri dalam Webinar bertema "Mitigasi Pembiayaan Risiko Bencana Alam", Kamis (17/6/2021).
Heri menambahkan, pemerintah telah melaunching strategi dan kebijakan pembiayaan dan asuransi risiko bencana pada rangkaian acara annual meeting IMF WB pada 2018 di Bali. Strategi itu meliputi implementasi bauran instrumen DRFI, pemerintah menyerap risiko bencana untuk porsi tertentu, eksplorasi kemungkinan pinjaman siaga (conttingent loans), pendirian pooling fund berencana, dan implementasi skema risk transfer asuransi
"Untuk skala kebutuhan yang besar, tidak mungkin pemerintah saja. Ada keterlibatan masyarakat, misal untuk properti dan kesehatan yang harus menyiapkan juga mitigasi," ujarnya.
Sementara itu Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia, Dody Achmad Sudiyar Dalimunthe mengakui hingga saat ini masyarakat Indonesia belum mengapreasi asuransi.
"Masyarakat Indonesia masih belum punya kemampuan untuk beli produk asuransi. Asuransi nomor sekian setelah kebutuhan primer," kata dia.
(maf)
tulis komentar anda