Ketum Peradi Nilai Tak Ada Urgensi UU Advokat Direvisi
Sabtu, 12 Juni 2021 - 18:26 WIB
JAKARTA - Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Otto Hasibuan menganggap, belum ada hal-hal yang mendesak sebagai alasan untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
"Sebenarnya, enggak ada urgensi sekali buat kita untuk melakukan revisi UU Advokat. Ya karena undang-undangnya tidak bermasalah," kata Otto dalam keterangannya, Sabtu (12/6/2021).
Menurut dia, jangan salahkan undang-undangnya. Tetapi, kata dia, yang bermasalah adalah pejabat-pejabat yang tidak melaksanakan amanat UU Advokat secara baik dan konsisten, yakni soal penerapan wadah tunggal (single bar). "Jadi jangan mencari kambing hitam. Ya kan, undang-undang tidak ada yang salah, kok jadi undang-undangnya yang diubah. Ya, harus ditanya kenapa Mahkamah Agung tidak melaksanakan UU Advokat dengan konsekuen, itu pertanyaannya," ujar dia.
Dalam UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 itu sudah jelas, yakni menganut sistem wadah tunggal. "Kenapa MA menabrak itu sehingga menjadi multibar. Jadi jangan undang-undangnya yang disalahin. Kalau kita mau mengubah multi bar, tetap juga dong laksanakan single bar-nya karena itu hukum positif," tuturnya.
Hal demikian disampaikan Otto menanggapi video yang diterimanya soal pernyataan anggota DPR dan pejabat pemerintah yang menyampaikan mengenai revisi UU Advokat. Namun demikian, Otto mengaku belum mengetahui arah soal revisi UU Advokat ini, termasuk akan masuk proglegnas atau tidak. "Tetapi di dalam rapat DPR kemarin, Arteria Dahlan mengusulkan agar ini diseriuskan," katanya.
Terkait revisi ini, Otto menegaskan, para pejabat dan anggota dewan harus berhati-hati dalam menyikapi keinginan multi bar. Pasalnya, ini akan merugikan rakyat atau para pencari keadilan. Menurut Otto, multibar akan membuka peluang advokat menjadi penjahat. Pasalnya, sistem menjadikan tidak ada satu standardisasi kualitas hingga etik advokat. Dengan demikian, advokat akan sulit dikontrol. "Kalau pejabat memahami makna dan tujuan dibentuknya organisasi advokat yang single bar, pasti mereka tidak akan berjuang untuk multibar," ujarnya.
Karena itu, kata Otto, Peradi meminta pemerintah maupun DPR harus berhati-hati dalam menyikapi soal wadah advokat ini. "Belajarlah dari sejarah, di seluruh dunia hampir menganut single bar dan itu sudah teruji," ucapnya.
Soal sowan kepada Presiden, DPR, atau Kemenkumham, Otto menyampaikan pihaknya akan membahas langkah-langkah yang harus diambil. "Kita di Raker ini berupaya mencari jalan, bagaimana. Kami yakin, mungkin Pak Presiden, Mahkmah Agung, mungkin Menteri Kehakiman, atau mungkin pejabat-pejabat lain belum matching dengan single bar. Jadi tugas kami lah yang harus meyakinkan beliau-beliau itu, jangan pilih multi bar karena itu merugikan pencari keadilan. Pilihlah single bar kalau kita ingin membela wong cilik, rakyat miskin," katanya.
"Sebenarnya, enggak ada urgensi sekali buat kita untuk melakukan revisi UU Advokat. Ya karena undang-undangnya tidak bermasalah," kata Otto dalam keterangannya, Sabtu (12/6/2021).
Menurut dia, jangan salahkan undang-undangnya. Tetapi, kata dia, yang bermasalah adalah pejabat-pejabat yang tidak melaksanakan amanat UU Advokat secara baik dan konsisten, yakni soal penerapan wadah tunggal (single bar). "Jadi jangan mencari kambing hitam. Ya kan, undang-undang tidak ada yang salah, kok jadi undang-undangnya yang diubah. Ya, harus ditanya kenapa Mahkamah Agung tidak melaksanakan UU Advokat dengan konsekuen, itu pertanyaannya," ujar dia.
Dalam UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 itu sudah jelas, yakni menganut sistem wadah tunggal. "Kenapa MA menabrak itu sehingga menjadi multibar. Jadi jangan undang-undangnya yang disalahin. Kalau kita mau mengubah multi bar, tetap juga dong laksanakan single bar-nya karena itu hukum positif," tuturnya.
Baca Juga
Hal demikian disampaikan Otto menanggapi video yang diterimanya soal pernyataan anggota DPR dan pejabat pemerintah yang menyampaikan mengenai revisi UU Advokat. Namun demikian, Otto mengaku belum mengetahui arah soal revisi UU Advokat ini, termasuk akan masuk proglegnas atau tidak. "Tetapi di dalam rapat DPR kemarin, Arteria Dahlan mengusulkan agar ini diseriuskan," katanya.
Terkait revisi ini, Otto menegaskan, para pejabat dan anggota dewan harus berhati-hati dalam menyikapi keinginan multi bar. Pasalnya, ini akan merugikan rakyat atau para pencari keadilan. Menurut Otto, multibar akan membuka peluang advokat menjadi penjahat. Pasalnya, sistem menjadikan tidak ada satu standardisasi kualitas hingga etik advokat. Dengan demikian, advokat akan sulit dikontrol. "Kalau pejabat memahami makna dan tujuan dibentuknya organisasi advokat yang single bar, pasti mereka tidak akan berjuang untuk multibar," ujarnya.
Karena itu, kata Otto, Peradi meminta pemerintah maupun DPR harus berhati-hati dalam menyikapi soal wadah advokat ini. "Belajarlah dari sejarah, di seluruh dunia hampir menganut single bar dan itu sudah teruji," ucapnya.
Soal sowan kepada Presiden, DPR, atau Kemenkumham, Otto menyampaikan pihaknya akan membahas langkah-langkah yang harus diambil. "Kita di Raker ini berupaya mencari jalan, bagaimana. Kami yakin, mungkin Pak Presiden, Mahkmah Agung, mungkin Menteri Kehakiman, atau mungkin pejabat-pejabat lain belum matching dengan single bar. Jadi tugas kami lah yang harus meyakinkan beliau-beliau itu, jangan pilih multi bar karena itu merugikan pencari keadilan. Pilihlah single bar kalau kita ingin membela wong cilik, rakyat miskin," katanya.
(cip)
tulis komentar anda