La Nyalla Sebut Presidential Threshold Persulit Munculkan Pemimpin Terbaik
Sabtu, 05 Juni 2021 - 20:05 WIB
Padahal, sambung dia, partai politik seharusnya didirikan untuk mengusung kadernya agar bisa tampil menjadi pemimpin nasional.
“Tetapi dengan aturan ambang batas presiden itu, maka peluang kader partai politik untuk tampil menjadi tertutup. Karena hanya partai politik besar atau gabungan partai politik yang dapat mengusung capres dan cawapres,” sebut mantan Ketua Umum PSSI ini.
Dari sejumlah argumentasi tersebut, La Nyalla menganggap aturan presidential threshold sebenarnya lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Apalagi dalil bahwa presidential threshold disebut untuk memperkuat sistem presidensil agar presiden terpilih memiliki dukungan yang kuat di parlemen, dianggap justru membuat mekanisme check and balances menjadi lemah.
“Karena partai politik besar dan gabungan menjadi pendukung presiden terpilih. Akibatnya yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah. Inilah persoalan yang sebenarnya ada di hulu. Bukan di hilir,” ujar La Nyalla.
Sementara itu terkait presidential Treshold, Rektor UMY, Gunawan Budiyanto mengatakan bahwa hal tersebut tergantung aspek yang dilihat. Jika dilihat dari sisi kekuasaan tentu bermanfaat karena sebagai sarana untuk menguasai kepentingan sebagai penguasa.
"Kalau dari sisi rakyat tentunya ya dilihat sendiri. Banyak mudharatnya. Sebab adanya tirani kekuasaan akan menyebabkan kepentingan rakyat tertinggal," katanya.
Sementara itu pembicara dalam FGD, Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tatanegara UGM mengatakan presidential threshold hanya untuk mengonsentrasikan kekuasaan untuk kepentingan tertentu.
"Ini tidak bisa dilepaskan dari permainan oligarki. Yang kemudian kita takutkan adalah jangan-jangan kita dimainkan oleh sistem yang oligarki yang seakan-akan bagus dan dijamin MK," jelasnya.
Lantas kemudian apakah amandemen bisa menjawab soal presidential threshold? Menurut Zainal sebenarnya tidak perlu dengan amendemen. "Sebenarnya kerja lebih mudah adalah dengan Revisi UU tentang pemilu. Diubah saja di pasal-pasalnya soal ambang batas itu. Jadi tidak perlu dengan amendemen," jelasnya.
Zainal khawatir amrndemen justru merusak sistem presidensil yang diyakini Indonesia sekarang. "Amendemen jangan sampai merusak sistem presidensil. Presidensil itu yang memilih presiden adalah rakyat. Jangan sampai presiden dipilih lagi oleh MPR atau parlemen," katanya
“Tetapi dengan aturan ambang batas presiden itu, maka peluang kader partai politik untuk tampil menjadi tertutup. Karena hanya partai politik besar atau gabungan partai politik yang dapat mengusung capres dan cawapres,” sebut mantan Ketua Umum PSSI ini.
Dari sejumlah argumentasi tersebut, La Nyalla menganggap aturan presidential threshold sebenarnya lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Apalagi dalil bahwa presidential threshold disebut untuk memperkuat sistem presidensil agar presiden terpilih memiliki dukungan yang kuat di parlemen, dianggap justru membuat mekanisme check and balances menjadi lemah.
“Karena partai politik besar dan gabungan menjadi pendukung presiden terpilih. Akibatnya yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah. Inilah persoalan yang sebenarnya ada di hulu. Bukan di hilir,” ujar La Nyalla.
Sementara itu terkait presidential Treshold, Rektor UMY, Gunawan Budiyanto mengatakan bahwa hal tersebut tergantung aspek yang dilihat. Jika dilihat dari sisi kekuasaan tentu bermanfaat karena sebagai sarana untuk menguasai kepentingan sebagai penguasa.
"Kalau dari sisi rakyat tentunya ya dilihat sendiri. Banyak mudharatnya. Sebab adanya tirani kekuasaan akan menyebabkan kepentingan rakyat tertinggal," katanya.
Sementara itu pembicara dalam FGD, Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tatanegara UGM mengatakan presidential threshold hanya untuk mengonsentrasikan kekuasaan untuk kepentingan tertentu.
"Ini tidak bisa dilepaskan dari permainan oligarki. Yang kemudian kita takutkan adalah jangan-jangan kita dimainkan oleh sistem yang oligarki yang seakan-akan bagus dan dijamin MK," jelasnya.
Lantas kemudian apakah amandemen bisa menjawab soal presidential threshold? Menurut Zainal sebenarnya tidak perlu dengan amendemen. "Sebenarnya kerja lebih mudah adalah dengan Revisi UU tentang pemilu. Diubah saja di pasal-pasalnya soal ambang batas itu. Jadi tidak perlu dengan amendemen," jelasnya.
Zainal khawatir amrndemen justru merusak sistem presidensil yang diyakini Indonesia sekarang. "Amendemen jangan sampai merusak sistem presidensil. Presidensil itu yang memilih presiden adalah rakyat. Jangan sampai presiden dipilih lagi oleh MPR atau parlemen," katanya
Lihat Juga :
tulis komentar anda