Program Kartu Prakerja Dinilai Hanya Untungkan Aplikator
Senin, 20 April 2020 - 11:56 WIB
Terkait materi pelatihan itu, pengamat pendidikan Doni Koesoema menilai pelaksanaan program Kartu Prakerja memang sudah menyimpang dari gagasan awal. Menurut dia, seharusnya pendaftar Kartu Prakerja berlatih di lembaga-lembaga yang relevan, bukan pelatihan daring yang tidak relevan dengan kebutuhan pendaftar.
"Program ini menyimpang dari awal dan tidak relevan. Pelatihan tidak semua bisa dilayani secara online," kata Doni dihubungi SINDOnews, Senin (20/4/2020).
Ia meyakini program tersebut tidak tepat sebagai solusi bagi mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat terdampak Covid-19. Ketimbang 'bakar uang' untuk mitra pelatihan kerja, dana tersebut lebih bermanfaat diberikan sebagai bantuan langsung tunai (BLT).
"Lebih efektif untuk kebutuhan rakyat dan perputaran ekonomi di masyarakat bawah. Lebih baik begitu daripada memberi uang pada pemilik aplikasi yang tidak relevan dengan kebutuhan mereka yang pantas memperoleh Kartu Prakerja," singgung dosen Universitas Multimedia Nusantara tersebut.
Belum lagi, lanjut Doni, anggota Kartu Prakerja tidak ada jaminan akan langsung diterima perusahaan atau berwirausaha setelah mengikuti pelatihan dan mendapat sertifikat. Hal itu menurutnya akan menjadi masalah baru di kemudian hari. ( ).
Lantaran itu, Doni berharap pemerintah segera mengevaluasi lembaga mitra tempat pelatihan prakerja diadakan. Apalagi dana pelatihan daring sebesar Rp5,6 triliun tersebut menggunakan dana negara dan seolah hanya membagi-bagi 'kue' dengan pihak aplikator.
"Bisa jadi seperti itu, karena untuk pekerja kok malah Ruangguru atau Sekolah.mu. Ada konflik kepentingan, karena dua platform ini bisa terkait satu sama lain," ujarnya.
Terlebih lagi, salah satu pemilik dan bos mitra pelatihan kerja itu memiliki jabatan sebagai staf khusus (stafsus) Presiden Joko Widodo. Sosok yang dimaksud adalah Adamas Belva Syah Devara, CEO Ruangguru, perusahaan rintisan yang menyediakan SkillAcademy. "Secara moral tidak dapat dibenarkan karena akan ada konflik kepentingan. Ini dari sisi moralitas etis sebagai pejabat negara. Bisa kena pasal tindak korupsi." (
).
"Program ini menyimpang dari awal dan tidak relevan. Pelatihan tidak semua bisa dilayani secara online," kata Doni dihubungi SINDOnews, Senin (20/4/2020).
Ia meyakini program tersebut tidak tepat sebagai solusi bagi mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat terdampak Covid-19. Ketimbang 'bakar uang' untuk mitra pelatihan kerja, dana tersebut lebih bermanfaat diberikan sebagai bantuan langsung tunai (BLT).
"Lebih efektif untuk kebutuhan rakyat dan perputaran ekonomi di masyarakat bawah. Lebih baik begitu daripada memberi uang pada pemilik aplikasi yang tidak relevan dengan kebutuhan mereka yang pantas memperoleh Kartu Prakerja," singgung dosen Universitas Multimedia Nusantara tersebut.
Belum lagi, lanjut Doni, anggota Kartu Prakerja tidak ada jaminan akan langsung diterima perusahaan atau berwirausaha setelah mengikuti pelatihan dan mendapat sertifikat. Hal itu menurutnya akan menjadi masalah baru di kemudian hari. ( ).
Lantaran itu, Doni berharap pemerintah segera mengevaluasi lembaga mitra tempat pelatihan prakerja diadakan. Apalagi dana pelatihan daring sebesar Rp5,6 triliun tersebut menggunakan dana negara dan seolah hanya membagi-bagi 'kue' dengan pihak aplikator.
"Bisa jadi seperti itu, karena untuk pekerja kok malah Ruangguru atau Sekolah.mu. Ada konflik kepentingan, karena dua platform ini bisa terkait satu sama lain," ujarnya.
Terlebih lagi, salah satu pemilik dan bos mitra pelatihan kerja itu memiliki jabatan sebagai staf khusus (stafsus) Presiden Joko Widodo. Sosok yang dimaksud adalah Adamas Belva Syah Devara, CEO Ruangguru, perusahaan rintisan yang menyediakan SkillAcademy. "Secara moral tidak dapat dibenarkan karena akan ada konflik kepentingan. Ini dari sisi moralitas etis sebagai pejabat negara. Bisa kena pasal tindak korupsi." (
Baca Juga
(zik)
Lihat Juga :
tulis komentar anda