PDIP Ogah Koalisi dengan Demokrat, Pengamat Duga karena Dendam Politik
Rabu, 02 Juni 2021 - 08:27 WIB
JAKARTA - Pengamat politik A Khoirul Umam menilai langkah PDI Perjuangan (PDIP) melalui Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang memberi sinyal 'menolak' berkoalisi dengan Partai Demokrat dan PKS pada Pilpres 2024 mengindikasikan bahwa model politik PDIP masih dilandaskan pada sentimen emosional.
Menurut Umam, jika PDIP menolak berkoalisi dengan PKS itu masih bisa dipahami karena perbedaan ideologis, yakni PKS bercorak Islam kanan-konservatif. "Tapi sikap antipati PDIP (terhadap Demokrat) yang ditunjukkan Hasto jelas hanya berbasis dendam politik lama karena SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) mengalahkan Megawati di Pilpres 2004 dan 2009," ujarnya, Rabu (2/6/2021).
"Sementara secara cara pandang kebangsaan dan warna politiknya, PDIP sama dengan Partai Demokrat," sambung Direktur Eksekutif Indostrategic ini.
Lebih lanjut Umam menilai, dahulu PDIP mengkritik keras Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menggunakan bansos sebagai strategi pemenangan jelang Pilpres 2009. Faktanya, kata Umam, ekonomi Indonesia saat itu terdampak oleh melambungnya harga minyak dunia yang tembus US$ 145 per barrel dan juga efek krisis keuangan global 2008 yang berdampak pada daya beli masyarakat.
Jadi, lanjut dia, wajar program bansos saat itu digunakan oleh negara untuk menjaga daya beli rakyat, agar konsumsi rumah tangga sebagai komponen pertumbuhan ekonomi negara tidak hancur. Menurut dia, faktanya, sekarang saat ekonomi Indonesia terdampak pandemi, Presiden Jokowi yang juga kader PDIP juga menggunakan pendekatan bansos.
Presiden Jokowi, katanya, menggunakan pendekatan bansos karena untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah pandemi yang telah memunculkan kontraksi ekonomi setahun terakhir, menciptakan gelombang pengangguran, meningkatnya kemiskinan, dan juga hancurnya likuiditas perusahaan dan BUMN, terlebih di sektor infrastruktur akibat investasi yang eksesif di periode pertama pemerintahan Jokowi.
"Jadi, argumen Hasto sebenarnya tidak berdasar. Hasto hanya ingin membangun front politik untuk menghindari koalisi dengan Demokrat karena alasan emosional masa lalu. Kalau ingin berdemokrasi secara matang, sikap-sikap "baper" masa lalu itu sebaiknya dihindari," ungkap dia.
Menurut dia, untuk masa depan demokrasi yang lebih baik, PDIP sebaiknya terbuka berkoalisi dengan partai mana pun, yang punya visi, misi dan cara pandang kebangsaan yang sama. "Termasuk dengan Demokrat," ujarnya.
Di sisi lain, Umam menganggap sentimen-sentimen emosional yang tidak produktif seperti itu perlu dinetralisir oleh partai-partai politik, termasuk PDIP, untuk membangun watak demokrasi yang matang dan terkonsolidasi, agar tercipta tata kelola pemerintahan yang lebih efektif, transparan dan akuntabel.
"Sikap agresif PDIP itu karena PDIP merasa di atas angin, seolah tak ada kekuatan partai mitra dan oposisi yang mampu mengoreksi soliditas dan kekuatan partainya. Perlu diingat, literasi politik masyarakat Indonesia semakin tinggi, berikan teladan yang baik kepada rakyat, kalau memang berkomitmen untuk membangun demokrasi."
Menurut Umam, jika PDIP menolak berkoalisi dengan PKS itu masih bisa dipahami karena perbedaan ideologis, yakni PKS bercorak Islam kanan-konservatif. "Tapi sikap antipati PDIP (terhadap Demokrat) yang ditunjukkan Hasto jelas hanya berbasis dendam politik lama karena SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) mengalahkan Megawati di Pilpres 2004 dan 2009," ujarnya, Rabu (2/6/2021).
"Sementara secara cara pandang kebangsaan dan warna politiknya, PDIP sama dengan Partai Demokrat," sambung Direktur Eksekutif Indostrategic ini.
Lebih lanjut Umam menilai, dahulu PDIP mengkritik keras Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menggunakan bansos sebagai strategi pemenangan jelang Pilpres 2009. Faktanya, kata Umam, ekonomi Indonesia saat itu terdampak oleh melambungnya harga minyak dunia yang tembus US$ 145 per barrel dan juga efek krisis keuangan global 2008 yang berdampak pada daya beli masyarakat.
Jadi, lanjut dia, wajar program bansos saat itu digunakan oleh negara untuk menjaga daya beli rakyat, agar konsumsi rumah tangga sebagai komponen pertumbuhan ekonomi negara tidak hancur. Menurut dia, faktanya, sekarang saat ekonomi Indonesia terdampak pandemi, Presiden Jokowi yang juga kader PDIP juga menggunakan pendekatan bansos.
Presiden Jokowi, katanya, menggunakan pendekatan bansos karena untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah pandemi yang telah memunculkan kontraksi ekonomi setahun terakhir, menciptakan gelombang pengangguran, meningkatnya kemiskinan, dan juga hancurnya likuiditas perusahaan dan BUMN, terlebih di sektor infrastruktur akibat investasi yang eksesif di periode pertama pemerintahan Jokowi.
"Jadi, argumen Hasto sebenarnya tidak berdasar. Hasto hanya ingin membangun front politik untuk menghindari koalisi dengan Demokrat karena alasan emosional masa lalu. Kalau ingin berdemokrasi secara matang, sikap-sikap "baper" masa lalu itu sebaiknya dihindari," ungkap dia.
Menurut dia, untuk masa depan demokrasi yang lebih baik, PDIP sebaiknya terbuka berkoalisi dengan partai mana pun, yang punya visi, misi dan cara pandang kebangsaan yang sama. "Termasuk dengan Demokrat," ujarnya.
Di sisi lain, Umam menganggap sentimen-sentimen emosional yang tidak produktif seperti itu perlu dinetralisir oleh partai-partai politik, termasuk PDIP, untuk membangun watak demokrasi yang matang dan terkonsolidasi, agar tercipta tata kelola pemerintahan yang lebih efektif, transparan dan akuntabel.
"Sikap agresif PDIP itu karena PDIP merasa di atas angin, seolah tak ada kekuatan partai mitra dan oposisi yang mampu mengoreksi soliditas dan kekuatan partainya. Perlu diingat, literasi politik masyarakat Indonesia semakin tinggi, berikan teladan yang baik kepada rakyat, kalau memang berkomitmen untuk membangun demokrasi."
(zik)
tulis komentar anda