Penegakkan Aturan Akan Kontraproduktif dalam Mencegah Mudik Lokal
Sabtu, 23 Mei 2020 - 14:37 WIB
JAKARTA - Lebaran tinggal sehari lagi dan rasanya perayaan akan berbeda, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Kemungkinan tradisi lama, seperti mudik lokal untuk mengunjungi keluarga akan tetap terjadi.
(Baca juga: Ucapkan Selamat Idul Fitri 1441 H, Wapres Imbau Rayakan dari Rumah Saja)
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Pemprov) sebenarnya melarang masyarakat melakukan mudik lokal untuk mencegah penyebaran virus Sars Cov-II atau Corona (Covid-19). Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengatakan, perlarangan itu akan bermasalah pada penegakan aturan di lapangan.
"Siapa yang mengawasi dan melakukan penegakan hukum? Efektivitasnya diragukan. Enggak mungkin efektif. Persoalannya, masyarakat mau silaturahmi, mudik itu tradisi," ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Sabtu (23/5/2020).
Dosen Universitas Trisakti itu menjelaskan, alasan mudik lokal akan sulit dibendung. Pertama, masyarakat sudah cukup lama dikekang untuk diam di rumah. Kedua, ada contoh pembukaan sebuah pusat perbelanjaan di Ciledug yang langsung diserbu pembeli.
"Bukan karena enggak takut Covid-19. Dia tahu dan mengerti Covid-19, tapi itu karena kebutuhan sehari-hari. Ini sama silaturahmi juga kebutuhan," ucapnya.
Dia memprediksi, akan ada peningkatan penumpang commuter line di Jabodetabek. Commuter line dan angkot-angkot sebagai sarana transportasi umum kemungkinan akan penuh. Di jalan raya, kendaraan roda dua akan mendominasi dan kemungkinan terjadi kemacetan.
Maka, perlu penambahan aparat keamanan, satuan polisi pamong praja, dan dinas perhubungan di sejumlah titik yang kemungkinan terjadi kerumunan. Keberadaan mereka untuk mengatur dan mengawasi masyarakat agar menjalankan protokol kesehatan. Selain itu, untuk mengantisipasi aksi kejahatan.
Dalam situasi seperti itu, penegakan aturan pelarangan bisa menjadi kontraproduktif dan memancing keributan. Trubus menyarankan, satu-satunya cara untuk meredam mudi lokal dengan mengedepankan peran serta masyarakat. Pemerintah menggandeng pengurus rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), dan tokoh agama.
"Ini perlu melakukan edukasi kepada masyarakat jadi mereka saling mengawasi. Kalau ada yang silturahmi, dipersilakan dan diingatkan kondisinya sedang pandemi harus mematuhi protokol kesehatan. Itu yang paling rendah risiko konfliknya," pungkasnya.
(Baca juga: Ucapkan Selamat Idul Fitri 1441 H, Wapres Imbau Rayakan dari Rumah Saja)
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Pemprov) sebenarnya melarang masyarakat melakukan mudik lokal untuk mencegah penyebaran virus Sars Cov-II atau Corona (Covid-19). Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengatakan, perlarangan itu akan bermasalah pada penegakan aturan di lapangan.
"Siapa yang mengawasi dan melakukan penegakan hukum? Efektivitasnya diragukan. Enggak mungkin efektif. Persoalannya, masyarakat mau silaturahmi, mudik itu tradisi," ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Sabtu (23/5/2020).
Dosen Universitas Trisakti itu menjelaskan, alasan mudik lokal akan sulit dibendung. Pertama, masyarakat sudah cukup lama dikekang untuk diam di rumah. Kedua, ada contoh pembukaan sebuah pusat perbelanjaan di Ciledug yang langsung diserbu pembeli.
"Bukan karena enggak takut Covid-19. Dia tahu dan mengerti Covid-19, tapi itu karena kebutuhan sehari-hari. Ini sama silaturahmi juga kebutuhan," ucapnya.
Dia memprediksi, akan ada peningkatan penumpang commuter line di Jabodetabek. Commuter line dan angkot-angkot sebagai sarana transportasi umum kemungkinan akan penuh. Di jalan raya, kendaraan roda dua akan mendominasi dan kemungkinan terjadi kemacetan.
Maka, perlu penambahan aparat keamanan, satuan polisi pamong praja, dan dinas perhubungan di sejumlah titik yang kemungkinan terjadi kerumunan. Keberadaan mereka untuk mengatur dan mengawasi masyarakat agar menjalankan protokol kesehatan. Selain itu, untuk mengantisipasi aksi kejahatan.
Dalam situasi seperti itu, penegakan aturan pelarangan bisa menjadi kontraproduktif dan memancing keributan. Trubus menyarankan, satu-satunya cara untuk meredam mudi lokal dengan mengedepankan peran serta masyarakat. Pemerintah menggandeng pengurus rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), dan tokoh agama.
"Ini perlu melakukan edukasi kepada masyarakat jadi mereka saling mengawasi. Kalau ada yang silturahmi, dipersilakan dan diingatkan kondisinya sedang pandemi harus mematuhi protokol kesehatan. Itu yang paling rendah risiko konfliknya," pungkasnya.
(maf)
tulis komentar anda