Paradoks Pengembalian Kerugian Negara karena Korupsi
Sabtu, 22 Mei 2021 - 17:34 WIB
Prof Romli Atmasasmita, Pakar Hukum Pidana
PENELITIAN Lembaga Pengkajian Independen Publik (LPIKP) 2016 tentang pengembalian kerugian negara dari perkara korupsi sejak 2004 sampai dengan 2019 telah menunjukkan keadaan besar pasak dari tiang. Ini disebabkan pengembalian kerugian negara oleh kejaksaan, kepolisian hanya mencapai kurang lebih Rp8 triliun, KPK hanya berhasil mengembalikan Rp728 miliar.
Jauh lebih rendah dibandingkan kejaksaan, Rp6 triliun dan kepolisian Rp2 triliun. Data tersebut menunjukkan bahwa pemenuhan unsur kerugian negara dalam Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor tahun 1999/ 2001 tidak berbanding lurus dengan fakta pengembalian/ pemasukannya ke negara.
Sampai saat ini belum ada solusi yang tepat bahkan baru- baru ini Kejaksaan Agung direpotkan dengan barang hasil sitaan dalam perkara Asabri hanya disebabkan tidak adanya dana APBN khusus untuk biaya pemeliharaannya. Keadaan dilematis karena di lelang barang sitaan belum ada putusan inkracht kecuali untuk barang sitaan yang lekas rusak seperti bahan-bahan sembako. Keadaan ini terjadi pada masalah dana pemeliharaan yang signifikan tetapi belum tentu teratasi oleh hasil lelang barang sitaan pascaputusan inkracht.
Berkaca dari fakta tersebut diperlukan perubahan mindset aparatur hukum tentang fungsi hukum pidana in casu penerapan UU Tipikor ke depan yaitu mengutamakan prinsip restorative justice atau semacam pola penyelesaian perkara korupsi oleh korporasi di AS, Inggris dan Perancis dikenal dengan Non Prosecution Agrerment (NPA) dan Deferred Prosecution Agreement (DPA). Jika perubahan tersebut merupakan politik hukum dalam pemberantasan korupsi maka peranan sentral berada pada Jamdatun daripada Jampidsus atau kerjasama keduanya selama proses ajudikasi.
Bukan saatnya dan tidak relevan lagi pola pengkotak-kotakan tugas, fungsi dan wewenang masing-masing kedeputian khusus di kejaksaan karena justru disitulah bottle neck efisiensi dan efektivitas proses pengembalian secara optimal kerugian negara.
PENELITIAN Lembaga Pengkajian Independen Publik (LPIKP) 2016 tentang pengembalian kerugian negara dari perkara korupsi sejak 2004 sampai dengan 2019 telah menunjukkan keadaan besar pasak dari tiang. Ini disebabkan pengembalian kerugian negara oleh kejaksaan, kepolisian hanya mencapai kurang lebih Rp8 triliun, KPK hanya berhasil mengembalikan Rp728 miliar.
Jauh lebih rendah dibandingkan kejaksaan, Rp6 triliun dan kepolisian Rp2 triliun. Data tersebut menunjukkan bahwa pemenuhan unsur kerugian negara dalam Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor tahun 1999/ 2001 tidak berbanding lurus dengan fakta pengembalian/ pemasukannya ke negara.
Sampai saat ini belum ada solusi yang tepat bahkan baru- baru ini Kejaksaan Agung direpotkan dengan barang hasil sitaan dalam perkara Asabri hanya disebabkan tidak adanya dana APBN khusus untuk biaya pemeliharaannya. Keadaan dilematis karena di lelang barang sitaan belum ada putusan inkracht kecuali untuk barang sitaan yang lekas rusak seperti bahan-bahan sembako. Keadaan ini terjadi pada masalah dana pemeliharaan yang signifikan tetapi belum tentu teratasi oleh hasil lelang barang sitaan pascaputusan inkracht.
Berkaca dari fakta tersebut diperlukan perubahan mindset aparatur hukum tentang fungsi hukum pidana in casu penerapan UU Tipikor ke depan yaitu mengutamakan prinsip restorative justice atau semacam pola penyelesaian perkara korupsi oleh korporasi di AS, Inggris dan Perancis dikenal dengan Non Prosecution Agrerment (NPA) dan Deferred Prosecution Agreement (DPA). Jika perubahan tersebut merupakan politik hukum dalam pemberantasan korupsi maka peranan sentral berada pada Jamdatun daripada Jampidsus atau kerjasama keduanya selama proses ajudikasi.
Bukan saatnya dan tidak relevan lagi pola pengkotak-kotakan tugas, fungsi dan wewenang masing-masing kedeputian khusus di kejaksaan karena justru disitulah bottle neck efisiensi dan efektivitas proses pengembalian secara optimal kerugian negara.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda