Pascapelepasan 30.000 Narapidana, Residivisme: Antara Fakta dan Narasi
Senin, 20 April 2020 - 08:01 WIB
Proporsi residivisme untuk mereka yang kembali ke alamat sebelumnya lebih besar dibandingkan dengan mereka yang pindah, yaitu 76,1% (dari 247 narapidana yang tidak pindah yang diteliti) dibanding 59,8% (dari 204 narapidana yang pindah yang diteliti). Hal yang juga menarik dari penelitian ini, ditemukan bahwa salah faktor yang berkontribusi pada proporsi residivisme pada mereka yang tidak pindah tersebut adalah rendahnya stabilitas keluarga, yaitu sebesar 81,6%.
Data Bureau of Justice Statistics(BJS), Department of Justice Amerika Serikat pada April 2014 (analisis terhadap pola tahun 2005–2010) mencatat, dari 404.638 narapidana yang bebas dari penjara di 30 negara bagian pada 2005, 67,8% ditangkap kembali dalam rentang waktu tiga tahun setelah bebas. Angka ini meningkat menjadi 76,6% ketika rentang waktu dihitung sampai lima tahun setelah bebas. Dari narapidana yang bebas dalam rentang lima tahun ini, 36,8% ditangkap dalam waktu enam bulan setelah bebas dan 56,7% ditangkap pada akhir tahun pertama setelah bebas. Data BJS ini juga mencatat, dalam rentang lima tahun setelah bebas, ada empat bentuk kejahatan dengan proporsi residivisme tertinggi, yaitu kejahatan terkait properti (pencurian) 82,1%, kejahatan narkotika 76,9%, pelanggaran ketertiban sosial 73,6%, dan kejahatan kekerasan 71,3%.
Yukhnenko et al (2019) melalui review sistematis terhadap angka residivisme global menemukan bahwa di 50 negara dengan total jumlah narapidana terbesar, rentang waktu terbanyak untuk residivisme adalah dua tahun setelah bebas. Dalam rentang dua tahun ini, narapidana yang ditangkap kembali sebesar 26–60%, sementara yang kembali diputus pidana penjara sebesar 14–45%. Khusus angka residivisme penyalah guna narkotika, Pemerintah Malaysia berupaya menjaga agar rasio residivisme tidak melebihi 10%, di mana angka ini sekaligus dijadikan indikator keberhasilan program rehabilitasi. Tren residivisme di Malaysia untuk bentuk pelanggaran ini mengalami peningkatan dari 7,97% pada 2011 menjadi 9,03% pada 2017 (Wahab, 2018). Pertanyaannya kemudian, bagaimana data di Indonesia?
Salah satu kelemahan data residivisme adalah reliabilitas instrumen pencatatan. Dasar pencatatan yang paling baik tentu dilakukan secara objektif dengan menggunakan ciri tertentu yang tidak berubah dari seseorang, seperti sidik jari atau retina mata. Namun, banyak pencatatan terhadap residivisme dilakukan berdasarkan pengakuan pada saat pemeriksaan sebagaimana yang dilakukan di Indonesia. Sumber data seperti ini rentan untuk underreported, karena bila diketahui sebagai penjahat kambuhan, akan menjadi pertimbangan tersendiri untuk memperberat hukuman.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, per Februari 2020 dari total 268.001 tahanan dan narapidana, 18,12% adalah residivis. Khusus narapidana, dari 204.185, sebanyak 20,01% adalah residivis. Bila dilihat proporsi total, residivisme di Indonesia memang berada di kisaran residivisme global, yaitu antara 14–45%, tetapi masih dapat dikatakan rendah. Untuk kejahatan narkotika, angka residivisme tercatat 13,15%, di mana 4,87% di antaranya narapidana yang masuk kategori penyalahgunaan dengan hukuman di bawah lima tahun. Sedangkan untuk kejahatan terkait properti, seperti pencurian dan perampokan, angka residivisme sebesar 21,62%. Khusus pencurian, tercatat residivis sebanyak 7,23%.
Narasi Kecemasan
Sebagaimana diurai pada awal tulisan ini, residivisme sangat berkaitan dengan kemampuan program pembinaan di penjara dan sejauh mana dukungan masyarakat terhadap narapidana setelah bebas. Hingga saat ini penelitian yang restruktur longitudinal dengan indikator pengukuran yang kompleks tentang sejauh mana efektivitas pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan dalam mencegah residivisme memang belum dilakukan. Demikian pula halnya pengukuran tentang sejauh mana keinginan dan kemampuan masyarakat dalam pencegahan residivisme. Diperkirakan, hal inilah yang membuat opini publik cenderung ragu dan curiga terhadap mantan narapidana.
Ini pula yang memunculkan berbagai reaksi negatif terhadap pelepasan narapidana melalui asimilasi dan pembebasan bersyarat sesuai Keputusan Menteri Hukum dan HAM pada 30 Maret lalu, ditambah adanya sejumlah berita tentang narapidana yang dilepaskan tersebut kembali melakukan pelanggaran. Narasi kecemasan juga bermunculan melalui “pesan” di berbagai media sosial mengenai potensi gangguan keamanan akibat pelepasan narapidana. Apakah kita perlu benar-benar khawatir dengan residivisme?
Narasi kecemasan semestinya dihadapkan dengan data. Bila melihat kecenderungan global, angka residivisme di Indonesia dapat dikatakan “normal” karena masih dalam rentang rasio global. Karena itu, relatif tidak beralasan untuk mengatakan bahwa keluarnya secara serentak narapidana sebagai bagian pencegahan penyebaran Covid-19 pada April ini adalah ancaman besar bagi keamanan masyarakat.
Bila kewaspadaan perlu dibangun, tentu tidak salah. Keraguan terhadap efektivitas pembinaan juga menjadi isu global, termasuk sejauh mana masyarakat menerima dan memberi dukungan terhadap mantan narapidana. Khusus Indonesia, perbaikan dalam pola pembinaan narapidana dengan ukuran keberhasilan yang lebih jelas makin diperlukan.
Data Bureau of Justice Statistics(BJS), Department of Justice Amerika Serikat pada April 2014 (analisis terhadap pola tahun 2005–2010) mencatat, dari 404.638 narapidana yang bebas dari penjara di 30 negara bagian pada 2005, 67,8% ditangkap kembali dalam rentang waktu tiga tahun setelah bebas. Angka ini meningkat menjadi 76,6% ketika rentang waktu dihitung sampai lima tahun setelah bebas. Dari narapidana yang bebas dalam rentang lima tahun ini, 36,8% ditangkap dalam waktu enam bulan setelah bebas dan 56,7% ditangkap pada akhir tahun pertama setelah bebas. Data BJS ini juga mencatat, dalam rentang lima tahun setelah bebas, ada empat bentuk kejahatan dengan proporsi residivisme tertinggi, yaitu kejahatan terkait properti (pencurian) 82,1%, kejahatan narkotika 76,9%, pelanggaran ketertiban sosial 73,6%, dan kejahatan kekerasan 71,3%.
Yukhnenko et al (2019) melalui review sistematis terhadap angka residivisme global menemukan bahwa di 50 negara dengan total jumlah narapidana terbesar, rentang waktu terbanyak untuk residivisme adalah dua tahun setelah bebas. Dalam rentang dua tahun ini, narapidana yang ditangkap kembali sebesar 26–60%, sementara yang kembali diputus pidana penjara sebesar 14–45%. Khusus angka residivisme penyalah guna narkotika, Pemerintah Malaysia berupaya menjaga agar rasio residivisme tidak melebihi 10%, di mana angka ini sekaligus dijadikan indikator keberhasilan program rehabilitasi. Tren residivisme di Malaysia untuk bentuk pelanggaran ini mengalami peningkatan dari 7,97% pada 2011 menjadi 9,03% pada 2017 (Wahab, 2018). Pertanyaannya kemudian, bagaimana data di Indonesia?
Salah satu kelemahan data residivisme adalah reliabilitas instrumen pencatatan. Dasar pencatatan yang paling baik tentu dilakukan secara objektif dengan menggunakan ciri tertentu yang tidak berubah dari seseorang, seperti sidik jari atau retina mata. Namun, banyak pencatatan terhadap residivisme dilakukan berdasarkan pengakuan pada saat pemeriksaan sebagaimana yang dilakukan di Indonesia. Sumber data seperti ini rentan untuk underreported, karena bila diketahui sebagai penjahat kambuhan, akan menjadi pertimbangan tersendiri untuk memperberat hukuman.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, per Februari 2020 dari total 268.001 tahanan dan narapidana, 18,12% adalah residivis. Khusus narapidana, dari 204.185, sebanyak 20,01% adalah residivis. Bila dilihat proporsi total, residivisme di Indonesia memang berada di kisaran residivisme global, yaitu antara 14–45%, tetapi masih dapat dikatakan rendah. Untuk kejahatan narkotika, angka residivisme tercatat 13,15%, di mana 4,87% di antaranya narapidana yang masuk kategori penyalahgunaan dengan hukuman di bawah lima tahun. Sedangkan untuk kejahatan terkait properti, seperti pencurian dan perampokan, angka residivisme sebesar 21,62%. Khusus pencurian, tercatat residivis sebanyak 7,23%.
Narasi Kecemasan
Sebagaimana diurai pada awal tulisan ini, residivisme sangat berkaitan dengan kemampuan program pembinaan di penjara dan sejauh mana dukungan masyarakat terhadap narapidana setelah bebas. Hingga saat ini penelitian yang restruktur longitudinal dengan indikator pengukuran yang kompleks tentang sejauh mana efektivitas pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan dalam mencegah residivisme memang belum dilakukan. Demikian pula halnya pengukuran tentang sejauh mana keinginan dan kemampuan masyarakat dalam pencegahan residivisme. Diperkirakan, hal inilah yang membuat opini publik cenderung ragu dan curiga terhadap mantan narapidana.
Ini pula yang memunculkan berbagai reaksi negatif terhadap pelepasan narapidana melalui asimilasi dan pembebasan bersyarat sesuai Keputusan Menteri Hukum dan HAM pada 30 Maret lalu, ditambah adanya sejumlah berita tentang narapidana yang dilepaskan tersebut kembali melakukan pelanggaran. Narasi kecemasan juga bermunculan melalui “pesan” di berbagai media sosial mengenai potensi gangguan keamanan akibat pelepasan narapidana. Apakah kita perlu benar-benar khawatir dengan residivisme?
Narasi kecemasan semestinya dihadapkan dengan data. Bila melihat kecenderungan global, angka residivisme di Indonesia dapat dikatakan “normal” karena masih dalam rentang rasio global. Karena itu, relatif tidak beralasan untuk mengatakan bahwa keluarnya secara serentak narapidana sebagai bagian pencegahan penyebaran Covid-19 pada April ini adalah ancaman besar bagi keamanan masyarakat.
Bila kewaspadaan perlu dibangun, tentu tidak salah. Keraguan terhadap efektivitas pembinaan juga menjadi isu global, termasuk sejauh mana masyarakat menerima dan memberi dukungan terhadap mantan narapidana. Khusus Indonesia, perbaikan dalam pola pembinaan narapidana dengan ukuran keberhasilan yang lebih jelas makin diperlukan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda