Masalah Penanganan COVID-19, Drajad Wibowo: Tidak Berdasarkan Sains
Jum'at, 22 Mei 2020 - 13:44 WIB
JAKARTA - Pemerintah dianggap salah langkah sejak awal dalam menangani pandemi COVID-19. Perlu belajar dari negara-negara yang sudah berhasil meredam COVID-19 yakni dengan mengedepankan sains.
Ekonom Senior Dradjad Wibowo mengkhawatirkan Indonesia akan mengalami dua kegagalan, yakni mengatasi pandemi COVID-19 dan resesi ekonomi. Dia menuturkan harusnya Indonesia melihat cara Taiwan, Hong Kong, Jerman, dan Australia yang mengambil segala kebijakan berdasarkan sains dan data. (Baca juga: Data Pemilih Pemilu Dibobol Hacker, KPU Langsung Cek Server Data )
“Kalau Anda lihat Perdana Menteri Australia Scott Morrison, itu dulu namanya ancur banget karena kebakaran hutan. Sekarang approval rating-nya tinggi karena dalam menghadapi pandemi sangat memegang sains,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk Makna Reformasi 21 Mei 98-20 di tengah COVID-19: Bersiap Menghadapi New Normal, Kamis (21/5/2020) malam.
Artinya, pemimpin politik mengambil kebijakan pandemi COVID-19 berdasarkan ilmu kesehatan. Tidak ada politik. Kalau dicampuradukan itu bisa berantakan. “Kita mengambil langkah-langkah yang tidak berdasarkan sains,” ucap pria kelahiran Surabaya itu.
Dia mengkritik wacana pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Padahal, kurva kasus positifnya masih menanjak ke atas. Contohnya, DKI Jakarta sebagai episentrum penyebaran virus Sars Cov-II itu melandai tapi belum bisa dikatakan stabil. Berdasarkan data itu, tidak mendukung untuk pelonggaran PSBB.
“Kalau ini terus, akan banyak kasus positif dan sektor kesehatan tidak akan sanggup. Tolong jangan mengabaikan protokol kesehatan. Ketika kita sakit yang merawat itu dokter dan perawat. Mereka sudah 24 jam tidak tidur. Ketika tumbang, siapa yang merawat rakyat?” tuturnya.
Drajad mewanti-wanti jangan sampai sektor kesehatan jebol karena itu akan dianggap sebagai kegagalan menghadapi pandemi. Imbasnya akan merembet kemana-mana, salah satunya, anjloknya kepercayaan ekonomi.
“Pebisnis itu tidak risk taking untuk keselamatan diri. Tapu untuk bisnisnya, berani ambil risiko. Ketika kasus (covid-19) gede, tidak berani berbisnis di Jakarta. Balas akan dibawa lari. Krisis juga,” terang Politikus Senior PAN ini.
Drajad menilai penanganan masalah ekonomi di tengah pandemi ini juga kedodoran. Pendapatan pajak anjlok dan surat utang negara (SUN) tidak kondusif. Bahkan di saat bersamaan Filipina mengeluarkan surat utang yang lebih murah dari Indonesia. (Baca juga: Gugus Tugas Apresiasi Langkah BPOM Siapkan Laboratorium untuk Uji COVID-19)
Dengan segala indikatornya yang ada, menurutnya, Indonesia belum siap menghadapi new normal. Negara-negara lain sudah merancang ke arah sana, seperti di Amsterdam itu restoran menggunakan kerangkeng sehingga pelanggannya merasa aman. “Indonesia masih ketinggalan jauh, tapi sudah mau menormalkan. Itu berisiko,” pungkasnya.
Ekonom Senior Dradjad Wibowo mengkhawatirkan Indonesia akan mengalami dua kegagalan, yakni mengatasi pandemi COVID-19 dan resesi ekonomi. Dia menuturkan harusnya Indonesia melihat cara Taiwan, Hong Kong, Jerman, dan Australia yang mengambil segala kebijakan berdasarkan sains dan data. (Baca juga: Data Pemilih Pemilu Dibobol Hacker, KPU Langsung Cek Server Data )
“Kalau Anda lihat Perdana Menteri Australia Scott Morrison, itu dulu namanya ancur banget karena kebakaran hutan. Sekarang approval rating-nya tinggi karena dalam menghadapi pandemi sangat memegang sains,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk Makna Reformasi 21 Mei 98-20 di tengah COVID-19: Bersiap Menghadapi New Normal, Kamis (21/5/2020) malam.
Artinya, pemimpin politik mengambil kebijakan pandemi COVID-19 berdasarkan ilmu kesehatan. Tidak ada politik. Kalau dicampuradukan itu bisa berantakan. “Kita mengambil langkah-langkah yang tidak berdasarkan sains,” ucap pria kelahiran Surabaya itu.
Dia mengkritik wacana pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Padahal, kurva kasus positifnya masih menanjak ke atas. Contohnya, DKI Jakarta sebagai episentrum penyebaran virus Sars Cov-II itu melandai tapi belum bisa dikatakan stabil. Berdasarkan data itu, tidak mendukung untuk pelonggaran PSBB.
“Kalau ini terus, akan banyak kasus positif dan sektor kesehatan tidak akan sanggup. Tolong jangan mengabaikan protokol kesehatan. Ketika kita sakit yang merawat itu dokter dan perawat. Mereka sudah 24 jam tidak tidur. Ketika tumbang, siapa yang merawat rakyat?” tuturnya.
Drajad mewanti-wanti jangan sampai sektor kesehatan jebol karena itu akan dianggap sebagai kegagalan menghadapi pandemi. Imbasnya akan merembet kemana-mana, salah satunya, anjloknya kepercayaan ekonomi.
“Pebisnis itu tidak risk taking untuk keselamatan diri. Tapu untuk bisnisnya, berani ambil risiko. Ketika kasus (covid-19) gede, tidak berani berbisnis di Jakarta. Balas akan dibawa lari. Krisis juga,” terang Politikus Senior PAN ini.
Drajad menilai penanganan masalah ekonomi di tengah pandemi ini juga kedodoran. Pendapatan pajak anjlok dan surat utang negara (SUN) tidak kondusif. Bahkan di saat bersamaan Filipina mengeluarkan surat utang yang lebih murah dari Indonesia. (Baca juga: Gugus Tugas Apresiasi Langkah BPOM Siapkan Laboratorium untuk Uji COVID-19)
Dengan segala indikatornya yang ada, menurutnya, Indonesia belum siap menghadapi new normal. Negara-negara lain sudah merancang ke arah sana, seperti di Amsterdam itu restoran menggunakan kerangkeng sehingga pelanggannya merasa aman. “Indonesia masih ketinggalan jauh, tapi sudah mau menormalkan. Itu berisiko,” pungkasnya.
(kri)
tulis komentar anda