Insiden Nanggala 402 Harus Diungkap Terbuka
Selasa, 27 April 2021 - 06:00 WIB
DUKA sangat mendalam masih dirasakan bangsa Indonesia atas tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala 402 di perairan Bali. Di dalam kapal andalan penjaga laut Indonesia tersebut terdapat 53 prajurit TNI AL gugur. Tak hanya bagi keluarga korban yang tentunya sangat sedih, musibah ini juga menjadi pelajaran penting bagi TNI karena jelas ini sebuah kehilangan besar atas prajurit terlatihnya.
Proses evakuasi hingga kemarin masih berjalan. Evakuasi tidak mudah karena badan KRI Nanggala yang terbelah setidaknya menjadi tiga bagian berada di dasar laut yang cukup dalam, yakni mencapai 850 meter. Di tengah upaya bersama Indonesia dan negara-negara sahabat dalam proses evakuasi ini, kita patut berdoa agar semuanya bisa berjalan sesuai dengan rencana.
Musibah hilangnya KRI Nanggala pada Rabu (21/4) pekan lalu itu menyentak kita semua. Sebab insiden kapal selam tenggelam tergolong langka. Selain memang Indonesia belum banyak memiliki armada kapal selam, alutsista jenis ini dilengkapi teknologi yang canggih. KRI Nanggala 402 adalah jenis kapal serang bermotor diesel-listrik tipe U-209 buatan Jerman yang terkenal disegani akan kemampuannya. Tepat pada 1981, kapal ini resmi milik Indonesia.
Pun dengan prajurit yang menjadi pengendali dan awaknya, mereka telah lama dididik, dilatih seterampil mungkin. Termasuk secara berkala melakukan pelatihan perang sebagaimana yang terjadi pada musibah Rabu subuh di perairan Bali itu.
Atas insiden ini, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono sudah lebih awal menyatakan bahwa penyebabnya bukan kesalahan manusia (human error). Pernyataan KSAL ini sah-sah saja. Apalagi dalihnya berbasis keterangan berbagai pihak yang dinilai berkompeten. Namun memberi kepastian penyebab insiden di saat proses investigasi belum berjalan ini sejatinya kurang tepat dan elok.
Jika bukan lantaran human error, tentu ada faktor luar yang menjadi pemicunya. Bisa karena faktor alam, teknis, gangguan atau serangan pihak tertentu dan sebagainya. Semua peluang penyebab itu serbamungkin. Apalagi jika dilihat dari umurnya, KRI Nanggala ini sudah mencapai 40 tahun lebih. Lazimnya usia kapal selam untuk bisa dioperasikan adalah berkisar 30–35 tahun. Namun karena dihadapkan pada berbagai keterbatasan, pilihan memensiunkan KRI Nanggala 402 akhirnya ditiadakan.
Soal usia kapal ini pun belum harga mati. Sangat mungkin jika perawatan dan pemakaian selama ini terjaga baik, batasan usia kapal masih bisa diperdebatkan. Apalagi, dilihat dari sejarahnya, kapal ini pernah menjalani perawatan plus update teknologi di Jerman pada 1989 dan di Korea Selatan pada 2012. Di Korea, perombakan tergolong total seperti di struktur bagian atas, persenjataan, sonar, radar hingga sistem kendali.
Dengan didukung teknologi canggih dan biaya yang pasti tak sedikit, wajar jika terjadinya insiden ini masih menimbulkan tanda tanya besar. Sedemikian rawankah teknologi di KRI Nanggala? Apakah juga faktor kelalaian (human error) menjadi pemicunya karena jumlah awak mencapai 53 orang dari standarnya maksimal 40 orang? Atau mungkin insiden ini akibat sesuatu yang di luar kendali manusia (force majeure) yang membuat awak tak bisa memiliki pilihan banyak untuk menghindari musibah? Benarkah KRI Nanggala patuh beroperasi di kedalaman maksimal 230 meter?
Beberapa asumsi dan pertanyaan ini menjadi tantangan besar bagi tim investigasi dan TNI untuk menjawabnya. Hasil investigasi ini justru diharapkan menjadi pelajaran berharga bagi pengelolaan kapal selam yang dimiliki Indonesia saat ini. Di sisi lain insiden ini juga bisa menjadi sarana membuka kesadaran baru bagi pihak terkait untuk makin memperkuat alutsista Indonesia. Termasuk menyiapkan dukungan anggaran yang lebih memadai.
Beberapa pihak termasuk DPR telah makin lantang meminta pemerintah agar menolak alutsista hibah dari negara lain. Tak hanya itu, Indonesia juga saatnya membeli alutsista yang baru, bukanya bekas pakai yang rawan mogok di tengah jalan.
Di sisi lain keterbukaan yang dijunjung dalam penyelidikan ini juga membuat keluarga prajurit yang menjadi korban ini mendapatkan informasi yang akurat dan komprehensif. Dengan demikian publik pun menaruh kepercayaan yang makin tinggi, khususnya terhadap institusi TNI.
Proses evakuasi hingga kemarin masih berjalan. Evakuasi tidak mudah karena badan KRI Nanggala yang terbelah setidaknya menjadi tiga bagian berada di dasar laut yang cukup dalam, yakni mencapai 850 meter. Di tengah upaya bersama Indonesia dan negara-negara sahabat dalam proses evakuasi ini, kita patut berdoa agar semuanya bisa berjalan sesuai dengan rencana.
Musibah hilangnya KRI Nanggala pada Rabu (21/4) pekan lalu itu menyentak kita semua. Sebab insiden kapal selam tenggelam tergolong langka. Selain memang Indonesia belum banyak memiliki armada kapal selam, alutsista jenis ini dilengkapi teknologi yang canggih. KRI Nanggala 402 adalah jenis kapal serang bermotor diesel-listrik tipe U-209 buatan Jerman yang terkenal disegani akan kemampuannya. Tepat pada 1981, kapal ini resmi milik Indonesia.
Pun dengan prajurit yang menjadi pengendali dan awaknya, mereka telah lama dididik, dilatih seterampil mungkin. Termasuk secara berkala melakukan pelatihan perang sebagaimana yang terjadi pada musibah Rabu subuh di perairan Bali itu.
Atas insiden ini, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono sudah lebih awal menyatakan bahwa penyebabnya bukan kesalahan manusia (human error). Pernyataan KSAL ini sah-sah saja. Apalagi dalihnya berbasis keterangan berbagai pihak yang dinilai berkompeten. Namun memberi kepastian penyebab insiden di saat proses investigasi belum berjalan ini sejatinya kurang tepat dan elok.
Jika bukan lantaran human error, tentu ada faktor luar yang menjadi pemicunya. Bisa karena faktor alam, teknis, gangguan atau serangan pihak tertentu dan sebagainya. Semua peluang penyebab itu serbamungkin. Apalagi jika dilihat dari umurnya, KRI Nanggala ini sudah mencapai 40 tahun lebih. Lazimnya usia kapal selam untuk bisa dioperasikan adalah berkisar 30–35 tahun. Namun karena dihadapkan pada berbagai keterbatasan, pilihan memensiunkan KRI Nanggala 402 akhirnya ditiadakan.
Soal usia kapal ini pun belum harga mati. Sangat mungkin jika perawatan dan pemakaian selama ini terjaga baik, batasan usia kapal masih bisa diperdebatkan. Apalagi, dilihat dari sejarahnya, kapal ini pernah menjalani perawatan plus update teknologi di Jerman pada 1989 dan di Korea Selatan pada 2012. Di Korea, perombakan tergolong total seperti di struktur bagian atas, persenjataan, sonar, radar hingga sistem kendali.
Dengan didukung teknologi canggih dan biaya yang pasti tak sedikit, wajar jika terjadinya insiden ini masih menimbulkan tanda tanya besar. Sedemikian rawankah teknologi di KRI Nanggala? Apakah juga faktor kelalaian (human error) menjadi pemicunya karena jumlah awak mencapai 53 orang dari standarnya maksimal 40 orang? Atau mungkin insiden ini akibat sesuatu yang di luar kendali manusia (force majeure) yang membuat awak tak bisa memiliki pilihan banyak untuk menghindari musibah? Benarkah KRI Nanggala patuh beroperasi di kedalaman maksimal 230 meter?
Beberapa asumsi dan pertanyaan ini menjadi tantangan besar bagi tim investigasi dan TNI untuk menjawabnya. Hasil investigasi ini justru diharapkan menjadi pelajaran berharga bagi pengelolaan kapal selam yang dimiliki Indonesia saat ini. Di sisi lain insiden ini juga bisa menjadi sarana membuka kesadaran baru bagi pihak terkait untuk makin memperkuat alutsista Indonesia. Termasuk menyiapkan dukungan anggaran yang lebih memadai.
Beberapa pihak termasuk DPR telah makin lantang meminta pemerintah agar menolak alutsista hibah dari negara lain. Tak hanya itu, Indonesia juga saatnya membeli alutsista yang baru, bukanya bekas pakai yang rawan mogok di tengah jalan.
Di sisi lain keterbukaan yang dijunjung dalam penyelidikan ini juga membuat keluarga prajurit yang menjadi korban ini mendapatkan informasi yang akurat dan komprehensif. Dengan demikian publik pun menaruh kepercayaan yang makin tinggi, khususnya terhadap institusi TNI.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda