Megawati Ajak Semua Anak Bangsa Gotong Royong Hadapi Bencana
Sabtu, 24 April 2021 - 15:36 WIB
"Maka masyarakat perlu mengenali risiko bencana, menyiapkan kebutuhan minimal antisipasi bencana seperti Tas Siaga BENCANA serta berlatih secara rutin agar mudah diarahkan saat bencana terjadi," tuturnya.
Sementara itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam laporannya mengatakan, sebagai dampak dari Perubahan Iklim Global dan kerusakan lingkungan, kejadian cuaca dan iklim ekstrem yang memicu bencana hidrometeorologi berupa banjir, banjir bandang, longsor, angin kencang, puting beliung, gelombang tinggi, dan siklon tropis meningkat tajam dalam periode 5 tahun terakhir.
Dwikorita menerangkan, periode ulang anomali iklim global La Nina dan El Nino sebelum tahun 1980 adalah 5-7 tahun sekali. Namun dalam 40 tahun terakhir menjadi 2-3 tahun sekali. Begitu pula kejadian siklon tropis yang dimonitor BMKG sejak 2008, sebelumnya terjadi dengan periode ulang 2-4 tahun sekali, namun sejak 2017 terjadi setiap tahun dan bahkan dalam 1 bulan dapat terjadi beberapa kali.
Peningkatan juga terjadi pada kejadian gempabumi, data BMKG mencatat sejak 2008 hingga 2016 rata-rata sebanyak 5.000-6.000 kali dengan berbagai kekuatan dalam setahun. Namun pada 2017 kejadian gempabumi meningkat menjadi 7.169 kali, bahkan pada 2018 dan 2019 menjadi lebih dari 11.400 kali.
BMKG lanjut Dwikorita, mencatat pada 2020 kejadian gempabumi masih di atas rata-rata tahunan yaitu 8.258 kali. Awal 2021 tercatat selama Januari telah terjadi 662 kali, melampaui kejadian gempabumi rata-rata bulanan yang berkisar antara 300 sampai 400 kali kejadian.
"Fakta situasi ini menjadi alarm bagi kita semua untuk segera melakukan Peningkatan Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana di daerah dan di masyarakat, agar Zero Victims dapat benar-benar terwujud," kata Dwikorita.
Terkait kendala yang dihadapi BMKG, Dwikorita mengatakan hal yang paling krusial adalah terbatasnya jumlah peralatan monitoring gempabumi nontektonik (karena erupsi gunung api, longsor laut, dsb), mengingat banyaknya gunung api dan potensi longsor di laut Indonesia yang dapat menimbulkan tsunami, seperti Tsunami Selat Sunda dan Palu 2018.
Kendala lainnya, yaitu data monitoring gunung api laut/pada pulau kecil yang belum terintegrasi secara optimal ke dalam Sistem Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami di BMKG. Pemantauan data tersebut dilakukan oleh lembaga yang terpisah, yaitu oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) yang berada di bawah Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Terpisahnya lembaga ini, menurut Dwikorita berdampak fatal saat kejadian Tsunami Non Tektonik di Selat Sunda yang diakibatkan oleh erupsi gunung api yg memicu lingsor laut, yang tidak dapat terpantau oleh BMKG. Sebagai lembaga penyedia peringatan dini, BMKG dapat merujuk pada contoh baik dari Japan Meteorological Agency (JMA) yang melakukan monitoring gempabumi, gunung api, dan cuaca di dalam satu lembaga.
"Kekhawatiran kami, tsunami akibat erupsi gunung api, sedangkan sistem peringatan dini tidak ada link dengan gunung api karena berada di bawah ESDM. Jadi kami tidak punya data sama sekali. Kurang lebih masih ada delapan gunung api yang berpotensi tsunami yang datanya sama sekali tidak dimiliki BMKG,ā€¯terangnya.
Sementara itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam laporannya mengatakan, sebagai dampak dari Perubahan Iklim Global dan kerusakan lingkungan, kejadian cuaca dan iklim ekstrem yang memicu bencana hidrometeorologi berupa banjir, banjir bandang, longsor, angin kencang, puting beliung, gelombang tinggi, dan siklon tropis meningkat tajam dalam periode 5 tahun terakhir.
Dwikorita menerangkan, periode ulang anomali iklim global La Nina dan El Nino sebelum tahun 1980 adalah 5-7 tahun sekali. Namun dalam 40 tahun terakhir menjadi 2-3 tahun sekali. Begitu pula kejadian siklon tropis yang dimonitor BMKG sejak 2008, sebelumnya terjadi dengan periode ulang 2-4 tahun sekali, namun sejak 2017 terjadi setiap tahun dan bahkan dalam 1 bulan dapat terjadi beberapa kali.
Peningkatan juga terjadi pada kejadian gempabumi, data BMKG mencatat sejak 2008 hingga 2016 rata-rata sebanyak 5.000-6.000 kali dengan berbagai kekuatan dalam setahun. Namun pada 2017 kejadian gempabumi meningkat menjadi 7.169 kali, bahkan pada 2018 dan 2019 menjadi lebih dari 11.400 kali.
BMKG lanjut Dwikorita, mencatat pada 2020 kejadian gempabumi masih di atas rata-rata tahunan yaitu 8.258 kali. Awal 2021 tercatat selama Januari telah terjadi 662 kali, melampaui kejadian gempabumi rata-rata bulanan yang berkisar antara 300 sampai 400 kali kejadian.
"Fakta situasi ini menjadi alarm bagi kita semua untuk segera melakukan Peningkatan Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana di daerah dan di masyarakat, agar Zero Victims dapat benar-benar terwujud," kata Dwikorita.
Terkait kendala yang dihadapi BMKG, Dwikorita mengatakan hal yang paling krusial adalah terbatasnya jumlah peralatan monitoring gempabumi nontektonik (karena erupsi gunung api, longsor laut, dsb), mengingat banyaknya gunung api dan potensi longsor di laut Indonesia yang dapat menimbulkan tsunami, seperti Tsunami Selat Sunda dan Palu 2018.
Kendala lainnya, yaitu data monitoring gunung api laut/pada pulau kecil yang belum terintegrasi secara optimal ke dalam Sistem Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami di BMKG. Pemantauan data tersebut dilakukan oleh lembaga yang terpisah, yaitu oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) yang berada di bawah Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Terpisahnya lembaga ini, menurut Dwikorita berdampak fatal saat kejadian Tsunami Non Tektonik di Selat Sunda yang diakibatkan oleh erupsi gunung api yg memicu lingsor laut, yang tidak dapat terpantau oleh BMKG. Sebagai lembaga penyedia peringatan dini, BMKG dapat merujuk pada contoh baik dari Japan Meteorological Agency (JMA) yang melakukan monitoring gempabumi, gunung api, dan cuaca di dalam satu lembaga.
"Kekhawatiran kami, tsunami akibat erupsi gunung api, sedangkan sistem peringatan dini tidak ada link dengan gunung api karena berada di bawah ESDM. Jadi kami tidak punya data sama sekali. Kurang lebih masih ada delapan gunung api yang berpotensi tsunami yang datanya sama sekali tidak dimiliki BMKG,ā€¯terangnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda