Menggenjot UMKM Tembus Pasar Global
Rabu, 21 April 2021 - 05:00 WIB
SULIT dimungkiri bahwa usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) adalah tulang punggung perekonomian nasional. Sayangnya, UMKM yang jumlahnya puluhan juta belum bisa berbicara banyak dalam urusan pasar internasional. Indikasinya terlihat dari rendahnya kontribusi UMKM dalam bidang ekspor. Padahal, sumbangan UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 60% dan mampu menyerap tenaga kerja 97% dari angkatan kerja yang ada. Data lain menunjukkan ekspor UMKM masih rendah dibandingkan sejumlah negara yang tergabung dalam Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) yang hanya tercatat sekitar 14,37%. Saat ini, eksportir Indonesia didominasi pelaku usaha skala besar, 86%.
Kendala UMKM yang sulit menaklukkan pasar ekspor sebenarnya sudah terdeteksi dengan jelas dan rinci oleh pemerintah. Setidaknya, sebagaimana dipaparkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam sebuah konferensi 500K eksportir baru yang bertajuk “Memacu Ekspor UKM, awal pekan ini, terdapat lima penyebab UMKM belum maksimal dalam menggarap pasar ekspor. Pertama, menyangkut soal legalitas. Tidak sedikit pelaku UMKM belum paham seluk beluk legalitas terkait bidang usaha. Di antaranya kepemilikan nomor pokok wajib pajak (NPWP) hingga pengurusan sertifikat produk. Mantan petinggi Bank Dunia itu menyebut urusan legalitas harus disederhanakan sehingga pelaku UMKM bisa memenuhi syarat legal dalam berusaha.
Kedua, terkait akses pembiayaan. Fakta lapangan membuktikan banyak UMKM yang masih sulit mengakses pembiayaan dari lembaga keuangan atau perbankan. Karena modal yang rendah lalu diikuti tingginya suku bunga menjadi penyebab UMKM masih lari di tempat alias tidak berkembang. Ketiga, masalah pendampingan. Sri Mulyani menilai pendampingan UMKM sangat penting terkait tata kelola perusahaan dan peningkatan daya saing produk.
Keempat, masalah produksi. Minimnya standardisasi produk menjadi penghalang UMKM dalam menembus pasar internasional. Kelima, terkait masalah pemasaran, misalnya informasi yang terbatas terhadap peluang pasar, minimnya infrastruktur logistik sehingga daya saing rendah.
Terlepas dari lima kelemahan UMKM dalam menembus pasar ekspor versi Menteri Keuangan, saat ini kondisi UMKM sangat memprihatinkan setelah setahun lebih dihajar pandemi Covid-19. Celakanya, musibah datang bertumpuk selain karena dampak virus korona yang melemahkan daya beli masyarakat, UMKM juga diterpa biaya pengiriman barang (logistik) yang melambung.
Kenaikan biaya logistik, seperti dibeberkan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, melonjak sekitar 30% sampai 40%. Sistem logistik baik di dalam maupun di luar negeri semuanya mengalami gangguan. Penyedia jasa logistik banyak yang memangkas jumlah armadanya.
Lalu, benarkah pelaku UMKM berkurang karena terdampak pandemi Covid-19? Pemerintah tidak menampik kabar berkurangnya pelaku UMKM dalam setahun terakhir ini. Pemerintah mengakui, sebagaimana disampaikan Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM, Arif Rahman Hakim, jumlah pelaku UMKM berkurang namun tidak sampai sebanyak 30 juta pelaku usaha. Hal itu berdasarkan data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Hasil survei Sakernas 2019 – 2020 menunjukkan, pelaku usaha mikro informal tercatat 46,25 juta pada 2020 meningkat 1,18 juta orang atau 2,62% dibandingkan periode 2019 yang tercatat 45,07 juta orang. Peningkatan itu dipicu berkurangnya kesempatan kerja pada sektor formal. Adapun jumlah pelaku usaha mikro dan kecil formal berkurang dari 4,46 juta pada 2019 menjadi hanya sebesar 4,05 juta orang pada 2020.
Meski masih terlilit sejumlah persoalan internal, pelaku UMKM memiliki cukup banyak pintu menuju pasar ekspor. Pintu itu tak lain adalah perjanjian dagang baik bilateral maupun multilateral yang jumlahnya cukup banyak. Saat ini 23 perjanjian dagang sudah masuk dalam tahap ratifikasi, sudah disetujui, dan telah diimplementasikan.
Sejumlah pintu ekspor sudah terbuka, seperti Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) yang memungkinkan pelaku UMKM mengekspor 7.000 produk ke Negeri Kanguru tanpa dikenai tarif bea masuk. Selain itu, ada ASEAN-Hong Kong Free Trade Agreement (AHKFTA) di mana pelaku UMKM bisa mengekspor 4.900 produk ke Hong Kong tanpa bea masuk.
Pintu ekspor yang bernama perjanjian perdagangan di satu sisi sangat menarik bila pelaku UMKM dapat memanfaatkan secara maksimal. Sebaliknya, pasar Indonesia juga harus siap dibanjiri oleh produk negara mitra dagang. Artinya, pelaku UMKM harus siap di segala lini.
Kendala UMKM yang sulit menaklukkan pasar ekspor sebenarnya sudah terdeteksi dengan jelas dan rinci oleh pemerintah. Setidaknya, sebagaimana dipaparkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam sebuah konferensi 500K eksportir baru yang bertajuk “Memacu Ekspor UKM, awal pekan ini, terdapat lima penyebab UMKM belum maksimal dalam menggarap pasar ekspor. Pertama, menyangkut soal legalitas. Tidak sedikit pelaku UMKM belum paham seluk beluk legalitas terkait bidang usaha. Di antaranya kepemilikan nomor pokok wajib pajak (NPWP) hingga pengurusan sertifikat produk. Mantan petinggi Bank Dunia itu menyebut urusan legalitas harus disederhanakan sehingga pelaku UMKM bisa memenuhi syarat legal dalam berusaha.
Kedua, terkait akses pembiayaan. Fakta lapangan membuktikan banyak UMKM yang masih sulit mengakses pembiayaan dari lembaga keuangan atau perbankan. Karena modal yang rendah lalu diikuti tingginya suku bunga menjadi penyebab UMKM masih lari di tempat alias tidak berkembang. Ketiga, masalah pendampingan. Sri Mulyani menilai pendampingan UMKM sangat penting terkait tata kelola perusahaan dan peningkatan daya saing produk.
Keempat, masalah produksi. Minimnya standardisasi produk menjadi penghalang UMKM dalam menembus pasar internasional. Kelima, terkait masalah pemasaran, misalnya informasi yang terbatas terhadap peluang pasar, minimnya infrastruktur logistik sehingga daya saing rendah.
Terlepas dari lima kelemahan UMKM dalam menembus pasar ekspor versi Menteri Keuangan, saat ini kondisi UMKM sangat memprihatinkan setelah setahun lebih dihajar pandemi Covid-19. Celakanya, musibah datang bertumpuk selain karena dampak virus korona yang melemahkan daya beli masyarakat, UMKM juga diterpa biaya pengiriman barang (logistik) yang melambung.
Kenaikan biaya logistik, seperti dibeberkan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, melonjak sekitar 30% sampai 40%. Sistem logistik baik di dalam maupun di luar negeri semuanya mengalami gangguan. Penyedia jasa logistik banyak yang memangkas jumlah armadanya.
Lalu, benarkah pelaku UMKM berkurang karena terdampak pandemi Covid-19? Pemerintah tidak menampik kabar berkurangnya pelaku UMKM dalam setahun terakhir ini. Pemerintah mengakui, sebagaimana disampaikan Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM, Arif Rahman Hakim, jumlah pelaku UMKM berkurang namun tidak sampai sebanyak 30 juta pelaku usaha. Hal itu berdasarkan data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Hasil survei Sakernas 2019 – 2020 menunjukkan, pelaku usaha mikro informal tercatat 46,25 juta pada 2020 meningkat 1,18 juta orang atau 2,62% dibandingkan periode 2019 yang tercatat 45,07 juta orang. Peningkatan itu dipicu berkurangnya kesempatan kerja pada sektor formal. Adapun jumlah pelaku usaha mikro dan kecil formal berkurang dari 4,46 juta pada 2019 menjadi hanya sebesar 4,05 juta orang pada 2020.
Meski masih terlilit sejumlah persoalan internal, pelaku UMKM memiliki cukup banyak pintu menuju pasar ekspor. Pintu itu tak lain adalah perjanjian dagang baik bilateral maupun multilateral yang jumlahnya cukup banyak. Saat ini 23 perjanjian dagang sudah masuk dalam tahap ratifikasi, sudah disetujui, dan telah diimplementasikan.
Sejumlah pintu ekspor sudah terbuka, seperti Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) yang memungkinkan pelaku UMKM mengekspor 7.000 produk ke Negeri Kanguru tanpa dikenai tarif bea masuk. Selain itu, ada ASEAN-Hong Kong Free Trade Agreement (AHKFTA) di mana pelaku UMKM bisa mengekspor 4.900 produk ke Hong Kong tanpa bea masuk.
Pintu ekspor yang bernama perjanjian perdagangan di satu sisi sangat menarik bila pelaku UMKM dapat memanfaatkan secara maksimal. Sebaliknya, pasar Indonesia juga harus siap dibanjiri oleh produk negara mitra dagang. Artinya, pelaku UMKM harus siap di segala lini.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda