Dekonstruksi Formula Keuangan Daerah
Senin, 19 April 2021 - 06:00 WIB
Candra Fajri Ananda
Staf Ahli Menteri Keuangan RI
Dua dekade desentralisasi fiskal telah berlalu. Perpindahan sistem dari sentralisasi menuju desentralisasi yang dimulai pada awal 2001 silam telah memberikan implikasi besar bagi pengelolaan fiskal di level pemerintahan daerah. Di beberapa negara, kebijakan desentralisasi fiskal telah mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah lebih baik dan efisien melalui perpindahan beberapa kewenangan dan pengelolaan keuangan lebih besar. Di Indonesia, keberadaan desentralisasi fiskal diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah sesuai dengan karakteristik yang melekat pada masing-masing daerah.
Pada perjalanannya, implementasi desentralisasi fiskal tak lepas dari berbagai tantangan karena setiap daerah memiliki kapasitas dan kemampuan yang berbeda-beda baik dari sisi keuangan, ketersediaan infrastruktur, hingga sumber daya manusia. Perbedaan kemampuan ini menyebabkan gambaran capaian kebijakan ini berbeda antar pemerintah daerah. Selama perjalanan dua dekade era desentralisasi fiskal menunjukkan bahwa Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) meningkat secara signifikan dari Rp33.1 T di tahun 2000 menjadi Rp795.5 T di tahun 2021 seiring dengan komitmen yang tinggi pemerintah pusat pada kebijakan ini. Alokasi Transfer ke Daerah yang telah mencapai lebih dari 1/3 APBN ini diharapakan mampu mengatasi kesenjangan fiskal baik antardaerah maupun antara pusat dan daerah dengan mendukung pelaksanaan pembangunan daerah oleh entitas yang lebih dekat dan lebih memahami kebutuhan masyarakatnya, terutama pada pelayanan dasar publik seperti pendidikan dan kesehatan.
Kenaikan anggaran transfer ke daerah sejatinya tidak menjadi persoalan ketika didukung kualitas belanja daerah yang unggul. Faktanya, hingga kini efisiensi belanja daerah masih jauh dari harapan. Data menunjukkan bahwa hampir 70% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sekadar bermanfaat untuk pegawai di daerah sendiri dan belum signifikan menyentuh masyarakat. Bahkan, data dalam 10 tahun terakhir juga menunjukkan bahwa terjadi trend penurunan belanja modal dibandingkan belanja barang dan jasa.
Mengingat desentralisasi fiskal berfungsi meningkatkan efisiensi pada sektor publik sehingga berdampak pada pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dalam jangka panjang, maka salah satu outcome keberhasilan daerah dapat dilihat dari angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Secara umum, perkembangan IPM Indonesia Tahun 2010-2019 mengalami kemajuan yang positif. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa IPM Indonesia meningkat dari 66,53 pada tahun 2010 menjadi 71,92 pada tahun 2019.
Jika kita perhatikan pada masing-masing daerah, capaian ini ternyata sangat berbeda. Masih ditemukan daerah dengan capaian IPM yang masih rendah. Hal ini semakin memperkuat bahwa permasalahan utama bukan di besaran dana yang di transfer ke daerah, tetapi lebih banyak pada lemahnya kualitas belanja daerah. Hal ini disebabkan kemampuan sumber daya manusia dan kualitas perencanaan yang tidak merata antar daerah, terutama pada pengembangan dan inovasi daerah.
Perbaikan Undang-Undang dan Tata Kelola Organisasi
Melihat permasalahan dan capaian pembangunan yang terjadi saat ini, tentu UU yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah termasuk UU yang mengatur pajak dan retribusi daerah sudah selayaknya di perbaiki, mengingat tuntutan dan tantangan yang sudah berubah drastis saat ini. Pemerintah perlu mendefinisikan dan memperkuat “local taxing power” atau kemampuan untuk menarik pajak daerah sehingga pemda bisa memperkuat kemampuan penerimaan pajak daerah tanpa harus mengganggu perkembangan perekonomian. Perbaikan tersebut diperlukan pemerintah daerah untuk mobilisasi penerimaan di tingkat provinsi, kabupaten maupun kota yang selama ini belum optimal dalam mendukung peningkatan pendapatan asli daerah dan mengatasi berbagai perubahan di tingkat lokal yang saat ini terjadi dengan cepat.
Staf Ahli Menteri Keuangan RI
Dua dekade desentralisasi fiskal telah berlalu. Perpindahan sistem dari sentralisasi menuju desentralisasi yang dimulai pada awal 2001 silam telah memberikan implikasi besar bagi pengelolaan fiskal di level pemerintahan daerah. Di beberapa negara, kebijakan desentralisasi fiskal telah mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah lebih baik dan efisien melalui perpindahan beberapa kewenangan dan pengelolaan keuangan lebih besar. Di Indonesia, keberadaan desentralisasi fiskal diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah sesuai dengan karakteristik yang melekat pada masing-masing daerah.
Pada perjalanannya, implementasi desentralisasi fiskal tak lepas dari berbagai tantangan karena setiap daerah memiliki kapasitas dan kemampuan yang berbeda-beda baik dari sisi keuangan, ketersediaan infrastruktur, hingga sumber daya manusia. Perbedaan kemampuan ini menyebabkan gambaran capaian kebijakan ini berbeda antar pemerintah daerah. Selama perjalanan dua dekade era desentralisasi fiskal menunjukkan bahwa Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) meningkat secara signifikan dari Rp33.1 T di tahun 2000 menjadi Rp795.5 T di tahun 2021 seiring dengan komitmen yang tinggi pemerintah pusat pada kebijakan ini. Alokasi Transfer ke Daerah yang telah mencapai lebih dari 1/3 APBN ini diharapakan mampu mengatasi kesenjangan fiskal baik antardaerah maupun antara pusat dan daerah dengan mendukung pelaksanaan pembangunan daerah oleh entitas yang lebih dekat dan lebih memahami kebutuhan masyarakatnya, terutama pada pelayanan dasar publik seperti pendidikan dan kesehatan.
Kenaikan anggaran transfer ke daerah sejatinya tidak menjadi persoalan ketika didukung kualitas belanja daerah yang unggul. Faktanya, hingga kini efisiensi belanja daerah masih jauh dari harapan. Data menunjukkan bahwa hampir 70% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sekadar bermanfaat untuk pegawai di daerah sendiri dan belum signifikan menyentuh masyarakat. Bahkan, data dalam 10 tahun terakhir juga menunjukkan bahwa terjadi trend penurunan belanja modal dibandingkan belanja barang dan jasa.
Mengingat desentralisasi fiskal berfungsi meningkatkan efisiensi pada sektor publik sehingga berdampak pada pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dalam jangka panjang, maka salah satu outcome keberhasilan daerah dapat dilihat dari angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Secara umum, perkembangan IPM Indonesia Tahun 2010-2019 mengalami kemajuan yang positif. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa IPM Indonesia meningkat dari 66,53 pada tahun 2010 menjadi 71,92 pada tahun 2019.
Jika kita perhatikan pada masing-masing daerah, capaian ini ternyata sangat berbeda. Masih ditemukan daerah dengan capaian IPM yang masih rendah. Hal ini semakin memperkuat bahwa permasalahan utama bukan di besaran dana yang di transfer ke daerah, tetapi lebih banyak pada lemahnya kualitas belanja daerah. Hal ini disebabkan kemampuan sumber daya manusia dan kualitas perencanaan yang tidak merata antar daerah, terutama pada pengembangan dan inovasi daerah.
Perbaikan Undang-Undang dan Tata Kelola Organisasi
Melihat permasalahan dan capaian pembangunan yang terjadi saat ini, tentu UU yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah termasuk UU yang mengatur pajak dan retribusi daerah sudah selayaknya di perbaiki, mengingat tuntutan dan tantangan yang sudah berubah drastis saat ini. Pemerintah perlu mendefinisikan dan memperkuat “local taxing power” atau kemampuan untuk menarik pajak daerah sehingga pemda bisa memperkuat kemampuan penerimaan pajak daerah tanpa harus mengganggu perkembangan perekonomian. Perbaikan tersebut diperlukan pemerintah daerah untuk mobilisasi penerimaan di tingkat provinsi, kabupaten maupun kota yang selama ini belum optimal dalam mendukung peningkatan pendapatan asli daerah dan mengatasi berbagai perubahan di tingkat lokal yang saat ini terjadi dengan cepat.
Lihat Juga :
tulis komentar anda