Biarkan Orang Muda Merdeka dan Bersih dari Paham Radikal
Jum'at, 02 April 2021 - 08:56 WIB
Kalau sekarang ini disinyalir tidak sedikit orang muda Indonesia yang sepaham dengan pilihan hidup ZA serta L-YSF, ini pun menjadi bukti kegagalan negara menangkal sepak terjang para penyesat yang muncul dan berbicara di hadapan banyak orang dengan label atau identitas guru agama maupun pendakwah. Sejumlah kalangan menggambarkan betapa para penyesat telah melakukan penetrasi hingga ke pelosok negeri.
Di banyak forum keagamaan, para penyesat ini gencar menjungkirbalikan akal sehat orang muda dengan pandangan dan paham radikal, membangun kebencian pada siapa saja yang berbeda, dan terus menebar rasa permusuhan, termasuk dorongan untuk memusuhi negara dan bangsanya sendiri. Dan, yang memprihatinkan adalah penetrasi para penyesat ini bukan gejala atau kecenderungan baru, melainkan fakta yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Bahkan, tak jarang sangat terbuka sehingga sering di-viral-kan oleh warga-net.
Menghadapi kecenderungan seperti itu, negara terkesan pasif atau minimalis. Respons dari Institusi agama pun amat minim. Institusi pendidikan pun terlihat tak bisa berbuat banyak untuk melindungi orang-orang muda dari paham radikal. Akibatnya memang sangat memprihatinkan. Kini, sebagian besar masyarakat hanya bisa kecewa pada sejumlah fakta yang tak terbantahkan. Sebab, sepak terjang para penyesat itu telah berbuah dan bertebaran di banyak tempat atau titik strategis. Beberapa penelitian mengungkap bahwa sejumlah kampus sudah terpapar paham radikal.
Pada 2018, Badan Intelijen Negara (BIN) juga mengungkap bahwa dari 100 rumah ibadah milik kementerian/lembaga serta BUMN, 41 rumah ibadah sudah terpapar paham radikal. Data BIN diperkuat oleh temuan GP Ansor tentang kecenderungan yang sama. Hasil investigasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2019 juga mengungkapkan bahwa sekitar dua juta pegawai BUMN berpotensi terpapar paham radikal.
Karena kecenderungan ini sudah menjadi pengetahuan umum, di ruang publik muncul pertanyaan; mengapa negara dan institusi agama tidak bertindak menghentikan aksi para penyesat? Pertanyaan ini tidak salah. Selain menjadi kewajiban negara dan institusi agama melindungi generasi muda agar terhindar dari paham radikal, negara dan institusi agama pun punya wewenang, undang-undang dan alat. Jika negara dan institusi agama tidak segera berinisiatif, para penyesat akan terus merusak akal sehat orang muda, dan di waktu mendatang akan tampil penerus ZA serta L-YSF untuk beraksi lagi di tempat lain.
Langkah sigap Detasemen Khusus-88 Anti Teror Mabes Polri menyergap para terduga teroris layak diapresiasi. Namun, hasil kerja Densus-88 merupakan respons terhadap sebuah akibat, bukan terhadap sumber masalah. Sedangkan urgensi persoalannya adalah keleluasaan para penyesat mencekoki orang muda Indonesia dengan paham radikal. Para penyesat inilah yang seharusnya menerima respons tegas dari negara dan institusi agama.
Maka, selain mendorong Densus-88 terus mengintai para terduga teroris, negara dan institusi agama hendaknya mulai merumuskan kebijakan atau langkah-langkah untuk menghentikan sepak terjang para penyesat. Mengeliminasi sepak terjang para penyesat jauh lebih strategis.
Tidak boleh lagi ada ruang dan panggung bagi para penyesat. Jangan lagi ada pihak atau kelompok oportunis yang coba memberi pembenaran ketika para penyesat merusak dan menjungkirbalikan akal sehat orang muda Indonesia. Hanya negara bersama institusi agama yang berwenang dan bisa menghakhiri sepak terjang para penyesat.
Manakala negara dan institusi agama berhasil mengeliminasi para penyesat, orang muda Indonesia dengan sendirinya dimerdekakan untuk bertumbuh dan berkembang, serta memilih jalan hidup seturut akal sehat masing-masing. Untuk itu, negara harus berbelaskasih dan all out. Jangan biarkan orang muda Indonesia terkungkung paham radikal yang diajarkan para penyesat.
Di banyak forum keagamaan, para penyesat ini gencar menjungkirbalikan akal sehat orang muda dengan pandangan dan paham radikal, membangun kebencian pada siapa saja yang berbeda, dan terus menebar rasa permusuhan, termasuk dorongan untuk memusuhi negara dan bangsanya sendiri. Dan, yang memprihatinkan adalah penetrasi para penyesat ini bukan gejala atau kecenderungan baru, melainkan fakta yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Bahkan, tak jarang sangat terbuka sehingga sering di-viral-kan oleh warga-net.
Menghadapi kecenderungan seperti itu, negara terkesan pasif atau minimalis. Respons dari Institusi agama pun amat minim. Institusi pendidikan pun terlihat tak bisa berbuat banyak untuk melindungi orang-orang muda dari paham radikal. Akibatnya memang sangat memprihatinkan. Kini, sebagian besar masyarakat hanya bisa kecewa pada sejumlah fakta yang tak terbantahkan. Sebab, sepak terjang para penyesat itu telah berbuah dan bertebaran di banyak tempat atau titik strategis. Beberapa penelitian mengungkap bahwa sejumlah kampus sudah terpapar paham radikal.
Pada 2018, Badan Intelijen Negara (BIN) juga mengungkap bahwa dari 100 rumah ibadah milik kementerian/lembaga serta BUMN, 41 rumah ibadah sudah terpapar paham radikal. Data BIN diperkuat oleh temuan GP Ansor tentang kecenderungan yang sama. Hasil investigasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2019 juga mengungkapkan bahwa sekitar dua juta pegawai BUMN berpotensi terpapar paham radikal.
Karena kecenderungan ini sudah menjadi pengetahuan umum, di ruang publik muncul pertanyaan; mengapa negara dan institusi agama tidak bertindak menghentikan aksi para penyesat? Pertanyaan ini tidak salah. Selain menjadi kewajiban negara dan institusi agama melindungi generasi muda agar terhindar dari paham radikal, negara dan institusi agama pun punya wewenang, undang-undang dan alat. Jika negara dan institusi agama tidak segera berinisiatif, para penyesat akan terus merusak akal sehat orang muda, dan di waktu mendatang akan tampil penerus ZA serta L-YSF untuk beraksi lagi di tempat lain.
Langkah sigap Detasemen Khusus-88 Anti Teror Mabes Polri menyergap para terduga teroris layak diapresiasi. Namun, hasil kerja Densus-88 merupakan respons terhadap sebuah akibat, bukan terhadap sumber masalah. Sedangkan urgensi persoalannya adalah keleluasaan para penyesat mencekoki orang muda Indonesia dengan paham radikal. Para penyesat inilah yang seharusnya menerima respons tegas dari negara dan institusi agama.
Maka, selain mendorong Densus-88 terus mengintai para terduga teroris, negara dan institusi agama hendaknya mulai merumuskan kebijakan atau langkah-langkah untuk menghentikan sepak terjang para penyesat. Mengeliminasi sepak terjang para penyesat jauh lebih strategis.
Tidak boleh lagi ada ruang dan panggung bagi para penyesat. Jangan lagi ada pihak atau kelompok oportunis yang coba memberi pembenaran ketika para penyesat merusak dan menjungkirbalikan akal sehat orang muda Indonesia. Hanya negara bersama institusi agama yang berwenang dan bisa menghakhiri sepak terjang para penyesat.
Manakala negara dan institusi agama berhasil mengeliminasi para penyesat, orang muda Indonesia dengan sendirinya dimerdekakan untuk bertumbuh dan berkembang, serta memilih jalan hidup seturut akal sehat masing-masing. Untuk itu, negara harus berbelaskasih dan all out. Jangan biarkan orang muda Indonesia terkungkung paham radikal yang diajarkan para penyesat.
(dam)
Lihat Juga :
tulis komentar anda