Kisah Pilu Korban Terorisme, Cacat Fisik Hingga Kehilangan Orang Tercinta
Kamis, 01 April 2021 - 14:54 WIB
JAKARTA - Duka dan trauma yang mendalam dialami para korban atas kejahatan terorisme. Cacat fisik, dipandang sebelah mata di lingkungan sosial, bahkan harus kehilangan orang tercinta, menjadi pilu yang tak mudah dihadapi mereka yang selamat dari kejahatan terorisme (penyintas).
Iwan Setiawan, salah satu penyintas menyebut peristwa itu menjadi titik kehancuran bagi hidupnya. Dia yang biasa menggunakan penglihatannya dengan sempurna namun berubah ketika menjadi salah satu korban dari kejahatan bom pada 2004 silam. "Dampak dari kejadian bom itu saya kehilangan mata kanan saya, saya jadi cacat permanen alias mata kanan tidak bisa melihat," katanya dalam sebuah video yang diunggah oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kamis (1/4/2021).
Tak hanya pengelihatannya saja, Iwan juga harus merelakan pekerjaan yang dia emban sebelumnya. Termasuk harus kehilangan istri tercinta. Semuanya itu menjadi luka terdalam yang Iwan rasakan. Rasa kehilangan orang tercinta bukan saja hanya dirasakan Iwan semata, tapi juga dirasakan Sarah Darien Salsabila.
Ya, Sarah harus kehilangan sang ibunda semasa dia masih kecil kala itu. "Suka kayak cemburu kalau lihat orang-orang lain tuh bisa suka ketemu sama mamahnya, masih bisa ngobrol. Tapi di umur Sarah yang masih kecil, Sarah harus menerima kehilangan, tanpa mamah," ucap Sarah sambil meneteskan air mata saat mengenang sang ibunda.
Bukan hanya Iwan dan Sarah, Febby Firmansyah Isran yang saat itu menjadi salah satu korban pada kejadian bom 2004 juga membagikan kisah pilunya. Dia merasa dipandang sebelah mata oleh lingkungan sosial setelah harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit karena luka bakar yang dialaminya. "Pernah saya masuk lift, orang itu keluar saat saya masuk. Dalam hati saya apa ini, saya udah korban tapi orang menganggap saya suatu hal yang aneh," ujar Febby.
Tak sampai disitu, Febby juga harus mendapat perlakuan berbeda saat hendak melamar pekerjaan. Mengingat, perusahaan yang sebelumnya menampung dia sudah tidak lagi beroperasi. Saat itu, perusahaan-perusahaan sudah melabeli Febby tak masuk kualifikasi calon karyawan setelah melihat kondisi tubuhnya. "Kenapa, saya bilang? Kan belum dites, belum ngobrol, belum apa. Oh iya, dari secara fisik bapak dianggap cacat. Sampai saat ini, sudah 3 kali saya melamar dan datang dianggap saya cacat," tutur dia.
Kendati begitu, dia merasa apa yang menimpa dirinya itu sebagai anugerah sekaligus teguran dari Tuhan untuk dirinya menjadi sosok yang lebih baik ke depannya. Menurutnya, hal itu salah satu motivasi yang membuat dirinya tetap bangkit dalam menjalani kehidupan.
"Di situlah titik balik saya, oke berarti kalau Tuhan merasa saya ini tidak berguna, saya akan mati saat itu. Saya dikasih kesempatan hidup kali kedua. Ditambah lagi motivasi saya bahwa apa yang saya harapkan masih tetap terjadi yaitu yang paling saya rasakan adalah ketika itu saya mau nikah dan calon istri saya, akhirnya tetap mau menikah dengan saya," pungkasnya.
Iwan Setiawan, salah satu penyintas menyebut peristwa itu menjadi titik kehancuran bagi hidupnya. Dia yang biasa menggunakan penglihatannya dengan sempurna namun berubah ketika menjadi salah satu korban dari kejahatan bom pada 2004 silam. "Dampak dari kejadian bom itu saya kehilangan mata kanan saya, saya jadi cacat permanen alias mata kanan tidak bisa melihat," katanya dalam sebuah video yang diunggah oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kamis (1/4/2021).
Tak hanya pengelihatannya saja, Iwan juga harus merelakan pekerjaan yang dia emban sebelumnya. Termasuk harus kehilangan istri tercinta. Semuanya itu menjadi luka terdalam yang Iwan rasakan. Rasa kehilangan orang tercinta bukan saja hanya dirasakan Iwan semata, tapi juga dirasakan Sarah Darien Salsabila.
Ya, Sarah harus kehilangan sang ibunda semasa dia masih kecil kala itu. "Suka kayak cemburu kalau lihat orang-orang lain tuh bisa suka ketemu sama mamahnya, masih bisa ngobrol. Tapi di umur Sarah yang masih kecil, Sarah harus menerima kehilangan, tanpa mamah," ucap Sarah sambil meneteskan air mata saat mengenang sang ibunda.
Bukan hanya Iwan dan Sarah, Febby Firmansyah Isran yang saat itu menjadi salah satu korban pada kejadian bom 2004 juga membagikan kisah pilunya. Dia merasa dipandang sebelah mata oleh lingkungan sosial setelah harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit karena luka bakar yang dialaminya. "Pernah saya masuk lift, orang itu keluar saat saya masuk. Dalam hati saya apa ini, saya udah korban tapi orang menganggap saya suatu hal yang aneh," ujar Febby.
Tak sampai disitu, Febby juga harus mendapat perlakuan berbeda saat hendak melamar pekerjaan. Mengingat, perusahaan yang sebelumnya menampung dia sudah tidak lagi beroperasi. Saat itu, perusahaan-perusahaan sudah melabeli Febby tak masuk kualifikasi calon karyawan setelah melihat kondisi tubuhnya. "Kenapa, saya bilang? Kan belum dites, belum ngobrol, belum apa. Oh iya, dari secara fisik bapak dianggap cacat. Sampai saat ini, sudah 3 kali saya melamar dan datang dianggap saya cacat," tutur dia.
Kendati begitu, dia merasa apa yang menimpa dirinya itu sebagai anugerah sekaligus teguran dari Tuhan untuk dirinya menjadi sosok yang lebih baik ke depannya. Menurutnya, hal itu salah satu motivasi yang membuat dirinya tetap bangkit dalam menjalani kehidupan.
"Di situlah titik balik saya, oke berarti kalau Tuhan merasa saya ini tidak berguna, saya akan mati saat itu. Saya dikasih kesempatan hidup kali kedua. Ditambah lagi motivasi saya bahwa apa yang saya harapkan masih tetap terjadi yaitu yang paling saya rasakan adalah ketika itu saya mau nikah dan calon istri saya, akhirnya tetap mau menikah dengan saya," pungkasnya.
(cip)
tulis komentar anda