Kepentingan Ekonomi di Balik Perjanjian Damai Timur Tengah
Selasa, 23 Maret 2021 - 06:25 WIB
Jelas, kontradiksi demikian menjadikan negara-negara Arab tertinggal dibanding Israel. Hal demikian juga membuat mereka mau tak mau menimbang ulang derajat hubungan diplomasi, ekonomi, dan teknologi dengan Israel. Direncanakan, Gulf Information and Security Expo and Conference (GISEC), sebuah gelaranexpokeamanan siber negara-negara Teluk akan digelar di Doha pada Mei 2021. Acara ini menandai keikutsertaan perusahaan-perusahaan sekuriti siber Israel untuk pertama kalinya memasarkan diri ke publik Timur Tengah secara terbuka.
Pada bidang lainnya, kemampuan rekayasa teknologi Israel juga menjadi pertimbangan pilihan damai negara-negara Timur Tengah. Kemampuan rekayasa teknologi mengubah udara menjadi air milik Israel, misalnya, jelas menggoda negara-negara Arab yang diperkirakan menghadapi krisis air bersih tidak lama lagi.
Ketiga, motif pengembangan ekonomi kawasan. Israel berambisi menjadi pusat kelautan di Timur Tengah. Dalam konteks ini, konsepRed Sea – Mediterranian High-Speed Railwaypada 2012 sangat relevan diingat. Dalam rancangan ini, Israel berniat menahbiskan diri menjadi penghubung utama kepentingan perdagangan danhubpipa minyak dari laut Mediterania dan Laut Merah ke wilayah Eropa dan sekitarnya.
Hubungan harmonis Israel dengan beberapa negara Arab juga memungkinkan mereka menjadihubantarpipa minyak dari negara-negara Teluk dan Arab Saudi ke Eropa. Israel memiliki peluang ini lewat Europe Asia Pipeline Company Ltd (EACP) yang membentang dari Eliat hingga Ashkalon.
Niat Israel untuk menjadi pemain penting dalamhubdarat dan laut tersebut secara internal didukung oleh lokasi geografis Israel yang unik, konteks politik dan tatanan sosial yang relatif stabil, dan dukungan sains dan teknologi yang demikian maju.
Kendati demikian, langkah ambisius Israel akan menghadapi jalan terjal dan keras dari beberapa negara sekitar yang tidak sejalan. Suriah, Yaman, Lebanon, Iran, dan Libya memperlihatkan sikap yang sama sekali berlawanan dengan Israel hingga saat ini dan entah sampai kapan. Sikap berlawanan ini masih mewujud pada beragam langkah mengangkat senjata yang tak kunjung padam.
Di pihak Israel, pilihan untuk melancarkan serangan militer secara terang-terangan ke Palestina, Suriah, dan Lebanon juga menjadi langgam tetap. Sikap konfrontatif dan memancing perang ke Iran juga kerap dilancarkan mereka. Dalam situasi demikian, keinginan Israel, dan negara-negara Arab yang sudah bersepakat damai dengannya untuk mewujudkan sabuk dan jalan ekonomi kawasan jelas tidak mudah diwujudkan.
Di sisi lain, berbagai kecenderungan faktor di atas menunjukkan tiadanya kejelasan nasib dan peran bangsa Palestina di dalamnya. Padahal, Palestina berada di garis terdepan dalam konteks hubungan bangsa Arab dan Israel. Nyatanya, banyak negara Arab sepenuhnya memalingkan muka terhadap nasib yang dialami warga Palestina dengan lebih menekankan pentingnya urusan ekonomi. Pada titik ini, damai yang sesungguhnya bagi bangsa Palestina menjadi urusan belakangan.
Akhirnya, beragam bentuk visi ekonomi masa depan negara-negara Arab dan Israel perlu menimbang ulang faktor keamanan dan perdamaian secara lebih komprehensif.
Pada bidang lainnya, kemampuan rekayasa teknologi Israel juga menjadi pertimbangan pilihan damai negara-negara Timur Tengah. Kemampuan rekayasa teknologi mengubah udara menjadi air milik Israel, misalnya, jelas menggoda negara-negara Arab yang diperkirakan menghadapi krisis air bersih tidak lama lagi.
Ketiga, motif pengembangan ekonomi kawasan. Israel berambisi menjadi pusat kelautan di Timur Tengah. Dalam konteks ini, konsepRed Sea – Mediterranian High-Speed Railwaypada 2012 sangat relevan diingat. Dalam rancangan ini, Israel berniat menahbiskan diri menjadi penghubung utama kepentingan perdagangan danhubpipa minyak dari laut Mediterania dan Laut Merah ke wilayah Eropa dan sekitarnya.
Hubungan harmonis Israel dengan beberapa negara Arab juga memungkinkan mereka menjadihubantarpipa minyak dari negara-negara Teluk dan Arab Saudi ke Eropa. Israel memiliki peluang ini lewat Europe Asia Pipeline Company Ltd (EACP) yang membentang dari Eliat hingga Ashkalon.
Niat Israel untuk menjadi pemain penting dalamhubdarat dan laut tersebut secara internal didukung oleh lokasi geografis Israel yang unik, konteks politik dan tatanan sosial yang relatif stabil, dan dukungan sains dan teknologi yang demikian maju.
Kendati demikian, langkah ambisius Israel akan menghadapi jalan terjal dan keras dari beberapa negara sekitar yang tidak sejalan. Suriah, Yaman, Lebanon, Iran, dan Libya memperlihatkan sikap yang sama sekali berlawanan dengan Israel hingga saat ini dan entah sampai kapan. Sikap berlawanan ini masih mewujud pada beragam langkah mengangkat senjata yang tak kunjung padam.
Di pihak Israel, pilihan untuk melancarkan serangan militer secara terang-terangan ke Palestina, Suriah, dan Lebanon juga menjadi langgam tetap. Sikap konfrontatif dan memancing perang ke Iran juga kerap dilancarkan mereka. Dalam situasi demikian, keinginan Israel, dan negara-negara Arab yang sudah bersepakat damai dengannya untuk mewujudkan sabuk dan jalan ekonomi kawasan jelas tidak mudah diwujudkan.
Di sisi lain, berbagai kecenderungan faktor di atas menunjukkan tiadanya kejelasan nasib dan peran bangsa Palestina di dalamnya. Padahal, Palestina berada di garis terdepan dalam konteks hubungan bangsa Arab dan Israel. Nyatanya, banyak negara Arab sepenuhnya memalingkan muka terhadap nasib yang dialami warga Palestina dengan lebih menekankan pentingnya urusan ekonomi. Pada titik ini, damai yang sesungguhnya bagi bangsa Palestina menjadi urusan belakangan.
Akhirnya, beragam bentuk visi ekonomi masa depan negara-negara Arab dan Israel perlu menimbang ulang faktor keamanan dan perdamaian secara lebih komprehensif.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda