Kepentingan Ekonomi di Balik Perjanjian Damai Timur Tengah
Selasa, 23 Maret 2021 - 06:25 WIB
Saiful Maarif
ASN Kemenag-Penggiat Birokrat Menulis
BEBERAPA desain pengembangan ekonomi atau visi masa depan negara Timur Tengah telah dideklarasikan, misal Oman Vision 2040, UAE Vision 2021, Bahrain Economic Vision 2030, dan Saudi Vision 2030. Meskipun berbeda latar dan cakupannya, benang merah pengembangan masing-masing wilayah atau koridor ekonomi tersebut adalah untuk mengembangkan area ekonomi baru. Menariknya, Israel seperti menggoda dan membayangi beragam visi masa depan negara-negara Arab tersebut dengan konsep pengembangan transportasi darat dan laut mereka, di samping tawaran kemajuan teknologi dan sains.
Lebih dari itu, Saudi, UEA, Bahrain, dan Oman juga menekankan pentingnya keterhubungan transportasi dalam pengembangan kawasan-kawasan ekonomi sebagaimana tertuang dalam masing-masing visi masa depan mereka. Hal ini seperti mengembuskan satu hal bahwa jauh sebelum ditandatanganinya kesepakatan damai dengan Israel pada 2020, negara-negara Arab tersebut telah “menyiapkan” cetak biru konsep kolaborasi ekonomi, dengan Israel sebagai mitra penting di dalamnya.
Visi masa depan berbagai negara Arab tersebut terlihat memiliki kedekatan dengan konsep pengembangan serupa oleh Israel. Menteri Intelijen dan Transportasi Israel Yesrael Katz menyatakan kepada harianHaaretzpada 2017 bahwa Israel berkeinginan untuk mengajukan proposal jalur kereta yang menghubungkan Israel dan Arab Saudi.
Jika ditarik garis lurus, jalur kereta yang digagas Katz seperti keinginan untuk membangkitkan jalur kereta yang pernah dibangun Dinasti Utsmaniyah pada 1908. Israel menjadi bagian dari jalur kereta yang dulunya membentang 1.300 km dari Damaskus hingga Madinah itu, dengan ketersambungan Pelabuhan Haifa yang menghadap langsung ke laut Mediterania melalui jalur Lembah Jazreel di Yordania.
Niat Israel jelas sangat ambisius. Banyak pihak bahkan menuding hal tersebut lebih berupa berita yang sengaja diembuskan pihak Benyamin Netanyahu untuk menutupi dugaan korupsi dalam pemerintahannya. Namun, dengan ditandatanganinya perjanjian damai antara Israel dan negara-negara Arab kini, mimpi Katz terasa tidak terlalu jauh untuk menuju kerja sama lintas negara.
Kecenderungan ini menegaskan tiga hal mendasar.Pertama, runtuhnya Pan-Arabisme. Pan-Arabisme adalah gerakan untuk “penyatuan” bangsa-bangsa Arab, dari Samudra Atlantik sampai ke Laut Arab. Pan-Arabisme terhubung erat dengan budaya nasionalisme yang menegaskan bahwa bangsa Arab merupakan satu kesatuan dalam sebuah paham kebangsaan. Dalam konteks konflik Palestina-Israel sebagai perwujudan permusuhan Arab-Yahudi, Pan-Arabisme telah runtuh begitu kesepakatan damai dengan Israel ditandatangani Mesir (1979) dan Yordania (1994). “Abraham Accord” yang ditandatangani pada September 2020 memastikan keruntuhan tersebut menjadi lebih nyata dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko sebagai pelakunya.
Kedua, motif kerja sama ekonomi dan teknologi. Saat ini Israel adalah negara di Timur Tengah dengan segala keunggulannya di bidang sains, teknologi, militer, dan pendidikan. Dengan dukungan penuh Amerika Serikat, Israel mengembangkan kemampuan di berbagai bidang tersebut pada saat negara-negara Timur Tengah berkutat dengan konflik internal, friksi antarnegara tetangga, dan berbagai perang berkepanjangan.
ASN Kemenag-Penggiat Birokrat Menulis
BEBERAPA desain pengembangan ekonomi atau visi masa depan negara Timur Tengah telah dideklarasikan, misal Oman Vision 2040, UAE Vision 2021, Bahrain Economic Vision 2030, dan Saudi Vision 2030. Meskipun berbeda latar dan cakupannya, benang merah pengembangan masing-masing wilayah atau koridor ekonomi tersebut adalah untuk mengembangkan area ekonomi baru. Menariknya, Israel seperti menggoda dan membayangi beragam visi masa depan negara-negara Arab tersebut dengan konsep pengembangan transportasi darat dan laut mereka, di samping tawaran kemajuan teknologi dan sains.
Lebih dari itu, Saudi, UEA, Bahrain, dan Oman juga menekankan pentingnya keterhubungan transportasi dalam pengembangan kawasan-kawasan ekonomi sebagaimana tertuang dalam masing-masing visi masa depan mereka. Hal ini seperti mengembuskan satu hal bahwa jauh sebelum ditandatanganinya kesepakatan damai dengan Israel pada 2020, negara-negara Arab tersebut telah “menyiapkan” cetak biru konsep kolaborasi ekonomi, dengan Israel sebagai mitra penting di dalamnya.
Visi masa depan berbagai negara Arab tersebut terlihat memiliki kedekatan dengan konsep pengembangan serupa oleh Israel. Menteri Intelijen dan Transportasi Israel Yesrael Katz menyatakan kepada harianHaaretzpada 2017 bahwa Israel berkeinginan untuk mengajukan proposal jalur kereta yang menghubungkan Israel dan Arab Saudi.
Jika ditarik garis lurus, jalur kereta yang digagas Katz seperti keinginan untuk membangkitkan jalur kereta yang pernah dibangun Dinasti Utsmaniyah pada 1908. Israel menjadi bagian dari jalur kereta yang dulunya membentang 1.300 km dari Damaskus hingga Madinah itu, dengan ketersambungan Pelabuhan Haifa yang menghadap langsung ke laut Mediterania melalui jalur Lembah Jazreel di Yordania.
Niat Israel jelas sangat ambisius. Banyak pihak bahkan menuding hal tersebut lebih berupa berita yang sengaja diembuskan pihak Benyamin Netanyahu untuk menutupi dugaan korupsi dalam pemerintahannya. Namun, dengan ditandatanganinya perjanjian damai antara Israel dan negara-negara Arab kini, mimpi Katz terasa tidak terlalu jauh untuk menuju kerja sama lintas negara.
Kecenderungan ini menegaskan tiga hal mendasar.Pertama, runtuhnya Pan-Arabisme. Pan-Arabisme adalah gerakan untuk “penyatuan” bangsa-bangsa Arab, dari Samudra Atlantik sampai ke Laut Arab. Pan-Arabisme terhubung erat dengan budaya nasionalisme yang menegaskan bahwa bangsa Arab merupakan satu kesatuan dalam sebuah paham kebangsaan. Dalam konteks konflik Palestina-Israel sebagai perwujudan permusuhan Arab-Yahudi, Pan-Arabisme telah runtuh begitu kesepakatan damai dengan Israel ditandatangani Mesir (1979) dan Yordania (1994). “Abraham Accord” yang ditandatangani pada September 2020 memastikan keruntuhan tersebut menjadi lebih nyata dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko sebagai pelakunya.
Kedua, motif kerja sama ekonomi dan teknologi. Saat ini Israel adalah negara di Timur Tengah dengan segala keunggulannya di bidang sains, teknologi, militer, dan pendidikan. Dengan dukungan penuh Amerika Serikat, Israel mengembangkan kemampuan di berbagai bidang tersebut pada saat negara-negara Timur Tengah berkutat dengan konflik internal, friksi antarnegara tetangga, dan berbagai perang berkepanjangan.
tulis komentar anda