Penduduk Miskin Mendekati 30 Juta
Jum'at, 19 Maret 2021 - 06:09 WIB
JUMLAH penduduk miskin di Indonesia kini tercatat sebanyak 27,55 juta orang. Angka tersebut setara dengan 10,19% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. Penyebab utama meningkatnya jumlah penduduk miskin adalah dampak langsung dari pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak Maret tahun lalu. Pandemi yang sudah berjalan setahun berpengaruh pada perubahan perilaku, aktivitas, dan pendapatan masyarakat.
Tengok saja, tingkat pengangguran terbuka (TPT) meningkat menjadi 7,07% pada Agustus tahun lalu. Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebanyak 29,12 juta orang berusia kerja terdampak pandemi. Rinciannya, terdapat sebanyak 2,56 juta orang jadi pengangguran, lalu sekitar 0,76 juta masyarakat menjadi bukan angkatan kerja. Selanjutnya, 1,77 juta orang sementara tidak bekerja. Dan, 24,03 juta orang bekerja dengan pengurangan jam kerja.
Adapun penduduk miskin paling banyak terdapat di Pulau Jawa sebanyak 14,75 juta orang. Sebaliknya, jumlah penduduk miskin terendah di Pulau Kalimantan sekitar 1,02 juta orang. Dan, dilihat dari sisi persentase tertinggi untuk penduduk miskin terdapat di Maluku dan Papua sebesar 20,65%. Merujuk data BPS menunjukkan tingkat kemiskinan di desa masih lebih tinggi dibandingkan di kota. Namun, sepanjang September 2019 hingga September 2020 tercatat angka kemiskinan di perkotaan jauh lebih besar dibandingkan di perdesaan. Hal itu terekam dari angka penduduk miskin di perkotaan meningkat sekitar 1,32%, sebaliknya di pedesaan tercatat hanya naik 0,60%. Jadi, dampak dari pandemi Covid-19 lebih terasa di wilayah perkotaan.
Meningkatnya angka penduduk miskin menyebabkan ketimpangan yang diukur berdasarkan rasio gini turut melebar. Tercatat, ketimpangan pengeluaran penduduk menjadi 0,385 poin per September 2020 atau lebih buruk dari situasi September 2018 di mana rasio gini tercatat 0,384 poin. Meski demikian, berdasarkan penilaian Bank Dunia (World Bank), tingkat ketimpangan tersebut masih dalam kategori rendah.
Pihak Bank Dunia mengingatkan bahwa dampak dari pandemi bukan hanya pada peningkatan jumlah angka kemiskinan tetapi masalah yang tak kalah krusial adalah persoalan pangan. Dalam laporan bertajuk “Indonesia Economic Prospects (IEP)”, pihak World Bank menyatakan pemerintah Indonesia jangan lengah terkait dengan ketahanan pangan. Pasalnya, ketersediaan pangan di Indonesia cenderung berpusat di daerah perkotaan.
Dalam laporan IEP yang dirilis akhir tahun lalu, Bank Dunia membeberkan bahwa makanan menyumbang rata-rata pengeluaran rumah tangga seluruh Indonesia mencapai sekitar 55,3%. Adapun kelompok masyarakat miskin menghabiskan sekitar 64,3% pengeluarannya untuk mendapatkan makanan. Sementara itu, masyarakat kelas menengah ke atas mengalokasikan pengeluarannya sekitar 41,9% untuk membeli makanan.
Lebih spesifik lagi, pengeluaran untuk pembelian makanan pokok seperti beras. Hasil survei Bank Dunia menunjukkan untuk 20% kelompok masyarakat paling miskin ternyata menghabiskan 12,2% pengeluarannya untuk beli beras, sedang untuk orang kaya hanya menggunakan 4,1% dari pengeluarannya. Masalah ini tidak boleh berkepanjangan sebab jelas akan berdampak lebih buruk ke depan.
Untuk mengatasi tantangan ketahanan pangan tersebut Bank Dunia merekomendasikan tiga langkah. Pertama, pendekatan ketahanan pangan diperluas sebagaimana tertuang dalam Undang Undang (UU) Pangan. Kedua, tujuan dan instrumen kebijakan disesuaikan kembali, dan cakupan kebijakan didefinisikan kembali. Ketiga, pengeluaran publik perlu dialokasikan kembali guna meraih dampak lebih besar dan produktif. Selain itu, untuk urusan daya saing, World Bank merekomendasikan beralih dari melindungi pasar domestik dengan pembatasan impor. Selanjutnya, membuka pasar ekspor yang lebih luas bagi produsen dalam negeri. Rekomendasi tersebut terlihat mulai sejalan dengan kebijakan pemerintah belakangan ini yang mulai fokus membidik pasar ekspor non tradisional atau di luar pasar China, Amerika Serikat dan Jepang.
Meningkatnya angka penduduk miskin sebagai dampak dari pandemi Covid-19 bukan hanya menimpa Indonesia. Berbagai negara di belahan bumi ini terus berkutak bagaimana menahan laju angka kemiskinan dan bagaimana membuat daya beli masyarakat semakin menguat. Angka pengangguran melaju begitu cepat seiring dengan datangnya badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang berujung pada peningkatan angka kemiskinan.
Sebelumnya, pemerintah selalu membanggakan telah sukses menekan angka kemiskinan dari level 11,25% pada Maret 2014 menurun ke level 9,2% pada September 2019. Angka tersebut memang patut dibanggakan karena tercatat sebagai angka kemiskinan terendah sepanjang sejarah Indonesia. Sayangnya, kebanggaan itu hanya bertahan tak lebih dari setahun. Kini angka kemiskinan kembali dua digit lagi. Kita berharap, angka kemiskinan bisa kembali melandai lagi seiring dengan berbagai upaya pemerintah dalam menaklukkan pandemi Covid-19.
Tengok saja, tingkat pengangguran terbuka (TPT) meningkat menjadi 7,07% pada Agustus tahun lalu. Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebanyak 29,12 juta orang berusia kerja terdampak pandemi. Rinciannya, terdapat sebanyak 2,56 juta orang jadi pengangguran, lalu sekitar 0,76 juta masyarakat menjadi bukan angkatan kerja. Selanjutnya, 1,77 juta orang sementara tidak bekerja. Dan, 24,03 juta orang bekerja dengan pengurangan jam kerja.
Adapun penduduk miskin paling banyak terdapat di Pulau Jawa sebanyak 14,75 juta orang. Sebaliknya, jumlah penduduk miskin terendah di Pulau Kalimantan sekitar 1,02 juta orang. Dan, dilihat dari sisi persentase tertinggi untuk penduduk miskin terdapat di Maluku dan Papua sebesar 20,65%. Merujuk data BPS menunjukkan tingkat kemiskinan di desa masih lebih tinggi dibandingkan di kota. Namun, sepanjang September 2019 hingga September 2020 tercatat angka kemiskinan di perkotaan jauh lebih besar dibandingkan di perdesaan. Hal itu terekam dari angka penduduk miskin di perkotaan meningkat sekitar 1,32%, sebaliknya di pedesaan tercatat hanya naik 0,60%. Jadi, dampak dari pandemi Covid-19 lebih terasa di wilayah perkotaan.
Meningkatnya angka penduduk miskin menyebabkan ketimpangan yang diukur berdasarkan rasio gini turut melebar. Tercatat, ketimpangan pengeluaran penduduk menjadi 0,385 poin per September 2020 atau lebih buruk dari situasi September 2018 di mana rasio gini tercatat 0,384 poin. Meski demikian, berdasarkan penilaian Bank Dunia (World Bank), tingkat ketimpangan tersebut masih dalam kategori rendah.
Pihak Bank Dunia mengingatkan bahwa dampak dari pandemi bukan hanya pada peningkatan jumlah angka kemiskinan tetapi masalah yang tak kalah krusial adalah persoalan pangan. Dalam laporan bertajuk “Indonesia Economic Prospects (IEP)”, pihak World Bank menyatakan pemerintah Indonesia jangan lengah terkait dengan ketahanan pangan. Pasalnya, ketersediaan pangan di Indonesia cenderung berpusat di daerah perkotaan.
Dalam laporan IEP yang dirilis akhir tahun lalu, Bank Dunia membeberkan bahwa makanan menyumbang rata-rata pengeluaran rumah tangga seluruh Indonesia mencapai sekitar 55,3%. Adapun kelompok masyarakat miskin menghabiskan sekitar 64,3% pengeluarannya untuk mendapatkan makanan. Sementara itu, masyarakat kelas menengah ke atas mengalokasikan pengeluarannya sekitar 41,9% untuk membeli makanan.
Lebih spesifik lagi, pengeluaran untuk pembelian makanan pokok seperti beras. Hasil survei Bank Dunia menunjukkan untuk 20% kelompok masyarakat paling miskin ternyata menghabiskan 12,2% pengeluarannya untuk beli beras, sedang untuk orang kaya hanya menggunakan 4,1% dari pengeluarannya. Masalah ini tidak boleh berkepanjangan sebab jelas akan berdampak lebih buruk ke depan.
Untuk mengatasi tantangan ketahanan pangan tersebut Bank Dunia merekomendasikan tiga langkah. Pertama, pendekatan ketahanan pangan diperluas sebagaimana tertuang dalam Undang Undang (UU) Pangan. Kedua, tujuan dan instrumen kebijakan disesuaikan kembali, dan cakupan kebijakan didefinisikan kembali. Ketiga, pengeluaran publik perlu dialokasikan kembali guna meraih dampak lebih besar dan produktif. Selain itu, untuk urusan daya saing, World Bank merekomendasikan beralih dari melindungi pasar domestik dengan pembatasan impor. Selanjutnya, membuka pasar ekspor yang lebih luas bagi produsen dalam negeri. Rekomendasi tersebut terlihat mulai sejalan dengan kebijakan pemerintah belakangan ini yang mulai fokus membidik pasar ekspor non tradisional atau di luar pasar China, Amerika Serikat dan Jepang.
Meningkatnya angka penduduk miskin sebagai dampak dari pandemi Covid-19 bukan hanya menimpa Indonesia. Berbagai negara di belahan bumi ini terus berkutak bagaimana menahan laju angka kemiskinan dan bagaimana membuat daya beli masyarakat semakin menguat. Angka pengangguran melaju begitu cepat seiring dengan datangnya badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang berujung pada peningkatan angka kemiskinan.
Sebelumnya, pemerintah selalu membanggakan telah sukses menekan angka kemiskinan dari level 11,25% pada Maret 2014 menurun ke level 9,2% pada September 2019. Angka tersebut memang patut dibanggakan karena tercatat sebagai angka kemiskinan terendah sepanjang sejarah Indonesia. Sayangnya, kebanggaan itu hanya bertahan tak lebih dari setahun. Kini angka kemiskinan kembali dua digit lagi. Kita berharap, angka kemiskinan bisa kembali melandai lagi seiring dengan berbagai upaya pemerintah dalam menaklukkan pandemi Covid-19.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda