Di Tengah Kisruh Demokrat, SBY Bicara soal Kebenaran dan Keadilan
Kamis, 18 Maret 2021 - 14:24 WIB
Kuyakini, inilah tuntunan yang kedua.
Aku makin khusyuk dalam kontemplasi yang kulakukan. Malam semakin larut. Seolah bumi berhenti berputar. Desiran angin dan pepohonan di depan rumahkupun tak lagi kudengar. Aku bersyukur, karena semua pertanyaan bathin yang kusimpan dalam hati sanubariku... satu-satu telah mendapatkan jawabannya.
"Era kini, adalah era politik pasca kebenaran. Artinya, politik tanpa disertai kebenaran. Banyak fitnah, pembunuhan karakter, berita bohong serta muslihat dan tipu daya. Banyak yang berduka dan menjadi korban. Terkadang uang dan kekuasaan menyatu, menjelma menjadi kekuatan maha dahsyat yang bisa melindas dan menggilas siapa saja. Menghalalkan segala cara bukanlah sebuah aib dan pertanda matinya etika. Di tengah suasana seperti itu, engkau dan para pemimpin partai yang saat ini tengah mencari keadilan, mesti berbangga karena kalian tak tergoda untuk mudah berburuk sangka. Menuduh sembarangan. Sifat yang tidak suudzon, adalah sifat yang terpuji. Sebagian orang memang mengatakan bahwa jika kita hidup di zaman edan, jangan bersikap dan bertindak waras karena pasti tidak mendapatkan apa-apa. Namun, jalan seperti itu bukan yang kau pilih. Akibatnya, kau hadapi satu keniscayaan... partai yang kau sayangi sering terguncang dan tersandung-sandung. Itu konsekuensinya. Namun, jika itu yang kau pilih, yakinkan semuanya kuat, tabah dan tegar, baik lahir maupun bathin. Hidup tak seindah bulan purnama. Hidup memerlukan kesabaran dan pengorbanan".
Inilah tuntunan ketiga yang aku yakini.
Renunganku makin dalam. Aku tak ingat lagi, sudah berapa lama aku berada dalam dunia kalbu yang penuh keheningan itu. Alampun seakan menemani dan ikut berempati.
"Aku tahu ada keresahan yang ada dalam pikiranmu. Bagaimana jika hukum tidak berpihak kepada yang benar. Bagaimana pula jika ada jarak yang menganga antara hukum dan keadilan. Kau tidak berdosa jika mencemaskan itu, karena kau berpijak di alam nyata. Bukan dalam dunia legenda yang serba indah dan penuh pesona. Namun, yakinlah bahwa di negeri ini masih banyak yang berhati mulia. Saudara-saudaramu, di pinggir-pinggir kota dan di pelosok-pelosok desa, juga ikut berempati dan berdoa. Ikut merasakan apa yang kau rasakan. Dengan semuanya ini, percayalah bahwa para pemegang palu keadilan akan mendapatkan tuntunan Tuhan untuk senantiasa bertindak adil dan benar".
Kembali kuyakini ini adalah tuntunan yang keempat.
Ketika waktu telah bergeser perlahan menyambut datangnya fajar di dini hari, aku bagai mendapatkan isyarat bahwa hampir rampung jawaban yang kumohonkan. Jawaban terhadap istikharah yang aku lakukan. Aku biasa memadukan antara olah nalar, intuisi dan tuntunan Yang Maha Kuasa. Terlalu sombong jika manusia merasa memiliki segalanya, dan tak menyadari kelemahan dan kekurangannya.
(Baca:AD/ART Demokrat 2020 Dinilai Cacat, Pengamat: Celah Bagi Kubu KLB Menggugat)
Inilah bisikan kalbu terakhir, atau yang kelima, dalam perenunganku di malam yang syahdu itu.
Aku makin khusyuk dalam kontemplasi yang kulakukan. Malam semakin larut. Seolah bumi berhenti berputar. Desiran angin dan pepohonan di depan rumahkupun tak lagi kudengar. Aku bersyukur, karena semua pertanyaan bathin yang kusimpan dalam hati sanubariku... satu-satu telah mendapatkan jawabannya.
"Era kini, adalah era politik pasca kebenaran. Artinya, politik tanpa disertai kebenaran. Banyak fitnah, pembunuhan karakter, berita bohong serta muslihat dan tipu daya. Banyak yang berduka dan menjadi korban. Terkadang uang dan kekuasaan menyatu, menjelma menjadi kekuatan maha dahsyat yang bisa melindas dan menggilas siapa saja. Menghalalkan segala cara bukanlah sebuah aib dan pertanda matinya etika. Di tengah suasana seperti itu, engkau dan para pemimpin partai yang saat ini tengah mencari keadilan, mesti berbangga karena kalian tak tergoda untuk mudah berburuk sangka. Menuduh sembarangan. Sifat yang tidak suudzon, adalah sifat yang terpuji. Sebagian orang memang mengatakan bahwa jika kita hidup di zaman edan, jangan bersikap dan bertindak waras karena pasti tidak mendapatkan apa-apa. Namun, jalan seperti itu bukan yang kau pilih. Akibatnya, kau hadapi satu keniscayaan... partai yang kau sayangi sering terguncang dan tersandung-sandung. Itu konsekuensinya. Namun, jika itu yang kau pilih, yakinkan semuanya kuat, tabah dan tegar, baik lahir maupun bathin. Hidup tak seindah bulan purnama. Hidup memerlukan kesabaran dan pengorbanan".
Inilah tuntunan ketiga yang aku yakini.
Renunganku makin dalam. Aku tak ingat lagi, sudah berapa lama aku berada dalam dunia kalbu yang penuh keheningan itu. Alampun seakan menemani dan ikut berempati.
"Aku tahu ada keresahan yang ada dalam pikiranmu. Bagaimana jika hukum tidak berpihak kepada yang benar. Bagaimana pula jika ada jarak yang menganga antara hukum dan keadilan. Kau tidak berdosa jika mencemaskan itu, karena kau berpijak di alam nyata. Bukan dalam dunia legenda yang serba indah dan penuh pesona. Namun, yakinlah bahwa di negeri ini masih banyak yang berhati mulia. Saudara-saudaramu, di pinggir-pinggir kota dan di pelosok-pelosok desa, juga ikut berempati dan berdoa. Ikut merasakan apa yang kau rasakan. Dengan semuanya ini, percayalah bahwa para pemegang palu keadilan akan mendapatkan tuntunan Tuhan untuk senantiasa bertindak adil dan benar".
Kembali kuyakini ini adalah tuntunan yang keempat.
Ketika waktu telah bergeser perlahan menyambut datangnya fajar di dini hari, aku bagai mendapatkan isyarat bahwa hampir rampung jawaban yang kumohonkan. Jawaban terhadap istikharah yang aku lakukan. Aku biasa memadukan antara olah nalar, intuisi dan tuntunan Yang Maha Kuasa. Terlalu sombong jika manusia merasa memiliki segalanya, dan tak menyadari kelemahan dan kekurangannya.
(Baca:AD/ART Demokrat 2020 Dinilai Cacat, Pengamat: Celah Bagi Kubu KLB Menggugat)
Inilah bisikan kalbu terakhir, atau yang kelima, dalam perenunganku di malam yang syahdu itu.
tulis komentar anda