Menghidupkan Nyawa Pendidikan Indonesia
Rabu, 17 Maret 2021 - 06:05 WIB
Contoh nyata terlihat di negeri ini bagaimana para pelaku korupsi di Indonesia ternyata sebagian besarnya adalah orang-orang yang menyandang beragam gelar bergengsi dari berbagai institusi pendidikan tinggi. Tentunya, tak ada satu pun pendidik maupun pengajar yang menginginkan anomali ini terus terjadi. Semua pengajar pastinya menginginkan anak didiknya bisa menjadi orang-orang bermanfaat yang melahirnya perubahan lebih baik.
Belajar kepada Jepang
Lantas, sebagai ikhtiar untuk menghidupkan nyawa pendidikan di Indonesia, maka Jepang bisa dijadikan salah satu rujukannya. Secara hakikat, pendidikan di Jepang itu melingkupi pada pendidikan formal di sekolah, pendidikan moral di rumah, dan pendidikan masyarakat (pendidikan seumur hidup). Semuanya saling bertalian. Kekuatan pertalian itu kemudian terinternalisasi menjadi budaya.
Jepang pun kemudian dikenal sebagai negara dengan sumber daya manusia berkualitas. Di dalamnya terimplementasi karakter etos kerja tinggi, berintegritas, disiplin, saling bekerja sama, dan kreatif dalam melahirkan inovasi. Semua karakter tersebut tentunya tidak lahir secara instan. Jepang telah menumbuhkan karakter itu sejak berabad tahun lamanya melalui filosofi pendidikannya yang dikenal monozukuri dan hitozukuri.
Dalam dunia pendidikan, filosofi monozukuri itu dapat dimaknai sebagai karya inovasi yang dihasilkan itu harus berorientasi pada kemaslahatan masyarakat. Kemaslahatan yang dilahirkan itu tak hanya tertuju pada aspek lokal tetapi mampu diterima secara global. Artinya, pendidikan yang didorong tak lagi sekadar menggenjot kemampuan kognitif, tetapi bagaimana mendorong lahirnya karya-karya berorientasi pada kualitas dan berkesinambungan (sustainability). Pada fase inilah produk-produk buatan Jepang itu kemudian mampu berdaya saing tinggi hingga ke pentas global.
Selanjutnya, ketika kemampuan berdaya saing untuk menciptakan produk yang didorong oleh filosofi monozukuri itu terus mengakar maka di saat yang sama Jepang menanamkan etika dan moral yang tercermin melalui filosofi hitozukuri. Singkatnya, filosofi hitozukuri ini digunakan untuk mendorong terciptanya pembangunan pendidikan yang berkarakter. Kejujuran, sikap untuk saling menghormati, saling bekerja sama, menjadi value yang terus diyakini sebagai modal dasar untuk membawa Jepang menjadi negara yang kuat.
Semua pencapaian sukses Jepang itu ternyata lahir melalui pendidikan yang ditanamkan sejak dari dalam rumah. Keluarga menjadi teladan. Keteladanan yang dicontohkan orang tua dan pemimpin adalah kunci untuk melahirkan keberhasilan pendidikan yang sesungguhnya.
Di masa lalu, kearifan-kearifan semacam itu sesungguhnya sudah dilahirkan melalui budaya dari setiap etnis di Indonesia. Sayangnya, kearifan budaya yang pernah dimiliki oleh bangsa ini seperti tercerabut ketika arus modernisasi datang.
Potret inilah yang sekarang menghiasi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Tanpa hendak mengecilkan kebaikan yang sudah ada, namun masih sering kita temukan bagaimana pendidikan kita pada akhirnya hanya melahirkan “robot-robot” yang kuat secara kognitif, tapi lemah secara etika dan moral.
Inilah tantangan besar yang harus ditaklukkan. Tentunya, keberhasilan untuk mengembalikan nyawa pendidikan negeri ini tidak bisa melalui lembaga pendidikan formal saja. Tapi, keteladanan dari para pemimpin dan orang tua menjadi hal mutlak yang harus diejawantahkan dalam praktik keseharian. Singkatnya, perlu adanya implementasi tone at the top, yakni keteladanan dari pucuk pimpinan.
Belajar kepada Jepang
Lantas, sebagai ikhtiar untuk menghidupkan nyawa pendidikan di Indonesia, maka Jepang bisa dijadikan salah satu rujukannya. Secara hakikat, pendidikan di Jepang itu melingkupi pada pendidikan formal di sekolah, pendidikan moral di rumah, dan pendidikan masyarakat (pendidikan seumur hidup). Semuanya saling bertalian. Kekuatan pertalian itu kemudian terinternalisasi menjadi budaya.
Jepang pun kemudian dikenal sebagai negara dengan sumber daya manusia berkualitas. Di dalamnya terimplementasi karakter etos kerja tinggi, berintegritas, disiplin, saling bekerja sama, dan kreatif dalam melahirkan inovasi. Semua karakter tersebut tentunya tidak lahir secara instan. Jepang telah menumbuhkan karakter itu sejak berabad tahun lamanya melalui filosofi pendidikannya yang dikenal monozukuri dan hitozukuri.
Dalam dunia pendidikan, filosofi monozukuri itu dapat dimaknai sebagai karya inovasi yang dihasilkan itu harus berorientasi pada kemaslahatan masyarakat. Kemaslahatan yang dilahirkan itu tak hanya tertuju pada aspek lokal tetapi mampu diterima secara global. Artinya, pendidikan yang didorong tak lagi sekadar menggenjot kemampuan kognitif, tetapi bagaimana mendorong lahirnya karya-karya berorientasi pada kualitas dan berkesinambungan (sustainability). Pada fase inilah produk-produk buatan Jepang itu kemudian mampu berdaya saing tinggi hingga ke pentas global.
Selanjutnya, ketika kemampuan berdaya saing untuk menciptakan produk yang didorong oleh filosofi monozukuri itu terus mengakar maka di saat yang sama Jepang menanamkan etika dan moral yang tercermin melalui filosofi hitozukuri. Singkatnya, filosofi hitozukuri ini digunakan untuk mendorong terciptanya pembangunan pendidikan yang berkarakter. Kejujuran, sikap untuk saling menghormati, saling bekerja sama, menjadi value yang terus diyakini sebagai modal dasar untuk membawa Jepang menjadi negara yang kuat.
Semua pencapaian sukses Jepang itu ternyata lahir melalui pendidikan yang ditanamkan sejak dari dalam rumah. Keluarga menjadi teladan. Keteladanan yang dicontohkan orang tua dan pemimpin adalah kunci untuk melahirkan keberhasilan pendidikan yang sesungguhnya.
Di masa lalu, kearifan-kearifan semacam itu sesungguhnya sudah dilahirkan melalui budaya dari setiap etnis di Indonesia. Sayangnya, kearifan budaya yang pernah dimiliki oleh bangsa ini seperti tercerabut ketika arus modernisasi datang.
Potret inilah yang sekarang menghiasi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Tanpa hendak mengecilkan kebaikan yang sudah ada, namun masih sering kita temukan bagaimana pendidikan kita pada akhirnya hanya melahirkan “robot-robot” yang kuat secara kognitif, tapi lemah secara etika dan moral.
Inilah tantangan besar yang harus ditaklukkan. Tentunya, keberhasilan untuk mengembalikan nyawa pendidikan negeri ini tidak bisa melalui lembaga pendidikan formal saja. Tapi, keteladanan dari para pemimpin dan orang tua menjadi hal mutlak yang harus diejawantahkan dalam praktik keseharian. Singkatnya, perlu adanya implementasi tone at the top, yakni keteladanan dari pucuk pimpinan.
tulis komentar anda