Soal Vaksin Nusantara, Epidemiolog Tegaskan Tak Boleh Ada Intervensi
Minggu, 14 Maret 2021 - 15:33 WIB
JAKARTA - Epidemiolog dari Universitas Griffith, Brisbane, Australia, Dicky Budiman mengatakan, pemerintah jangan cepat mengklaim secara berlebihan Vaksin Nusantara karena masih diragukan secara ilmiah.
Sebelumnya, dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR RI, Rabu, 10 Maret 2021, Komisi mempertanyakan soal izin uji klinis Vaksin Nusantara yang belum dikeluarkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM).
Para anggota Dewan menilai Kepala Badan POM Penny K Lukito tidak independen karena tidak meluluskan izin vaksin yang digagas mantan Menkes Terawan Agus Putranto. Selain Terawan, Vaksin Nusantara ini digagas Universitas Diponegoro dan Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi.
Dalam rapat dengan Komisi IX, Penny mengatakan pengembangan Vaksin Nusantara tidak sesuai uji klinis sehingga izin tahap dua belum bisa keluarkan.
Dicky menilai apabila Vaksin Nusantara dipaksakan justru akan berisiko besar, baik materil maupun Kesehatan. "Jika dipaksakan, selain ini tidak visible tentu akan makan ongkos besar, berisiko besar juga," ujarnya.
Selain tidak visible, manfaat kesehatan masyarakat dari penggunaan vaksin tersebut belum tentu ada. "Ini Namanya tidak efisien dan efektif," ungkapnya.
Dia menjelaskan, penggunaan vaksin seperti Sinovac, Astrazeneca butuh resources besar, sumber daya manusia, atensi dan lainnya. "Nah jangan dihabiskan oleh satu potensi vaksin (nusantara) ini yang tidak visible," kata Dicky.
Dicky lantas menyinggung vaksin Merah Putih yang sedang dikembangkan Lembaga Biologi Molekular (LBM) Eijkman. Pengembangan vaksin Merah Putih, kata dia, jelas pertanggungjawaban ilmiahnya. "Ada potensi manfaatnya dan basis ilmiahnya jelas. Bahkan secara public health juga besar. Itu yang harus diarahkan," jelasnya.
Menurut Dicky, pengembangan Vaksin Nusantara tidak bisa dipaksakan. "Tidak boleh ada intervensi politik, karena kontraproduktif dengan vaksinasi yang ada," tuturnya.
Sebelumnya, dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR RI, Rabu, 10 Maret 2021, Komisi mempertanyakan soal izin uji klinis Vaksin Nusantara yang belum dikeluarkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM).
Para anggota Dewan menilai Kepala Badan POM Penny K Lukito tidak independen karena tidak meluluskan izin vaksin yang digagas mantan Menkes Terawan Agus Putranto. Selain Terawan, Vaksin Nusantara ini digagas Universitas Diponegoro dan Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi.
Dalam rapat dengan Komisi IX, Penny mengatakan pengembangan Vaksin Nusantara tidak sesuai uji klinis sehingga izin tahap dua belum bisa keluarkan.
Dicky menilai apabila Vaksin Nusantara dipaksakan justru akan berisiko besar, baik materil maupun Kesehatan. "Jika dipaksakan, selain ini tidak visible tentu akan makan ongkos besar, berisiko besar juga," ujarnya.
Selain tidak visible, manfaat kesehatan masyarakat dari penggunaan vaksin tersebut belum tentu ada. "Ini Namanya tidak efisien dan efektif," ungkapnya.
Dia menjelaskan, penggunaan vaksin seperti Sinovac, Astrazeneca butuh resources besar, sumber daya manusia, atensi dan lainnya. "Nah jangan dihabiskan oleh satu potensi vaksin (nusantara) ini yang tidak visible," kata Dicky.
Dicky lantas menyinggung vaksin Merah Putih yang sedang dikembangkan Lembaga Biologi Molekular (LBM) Eijkman. Pengembangan vaksin Merah Putih, kata dia, jelas pertanggungjawaban ilmiahnya. "Ada potensi manfaatnya dan basis ilmiahnya jelas. Bahkan secara public health juga besar. Itu yang harus diarahkan," jelasnya.
Menurut Dicky, pengembangan Vaksin Nusantara tidak bisa dipaksakan. "Tidak boleh ada intervensi politik, karena kontraproduktif dengan vaksinasi yang ada," tuturnya.
(maf)
Lihat Juga :
tulis komentar anda