Cintai Produk Dalam Negeri, Ingat GSNKRI dan Gerakan Beli Indonesia Tahun 2015
Sabtu, 13 Maret 2021 - 12:45 WIB
Hadir dalam acara perwakilan ormas-ormas, para tokoh agama, FKUB DKI Jakarta, PP Hidayatullah, aktivis pejuang Hariman Siregar, Bursah Zarnubi, Eggi Sujana, Purnawiran TNI B Sumarno, politisi Ahmad Mubarok, dan lain-lain.
Pada akhir acara, ada tiga ajakan yang ditulis pada selembar kain dengan tulisan:
(1) Kembali pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
(2) Prioritaskan penggunaan produk anak bangsa.
(3) Tolak buruh Asing.
Bagi undangan yang setuju, dipersilakan tanda tangan di atas kain tersebut. Itulah ajakan untuk mencintai produk anak bangsa atau produk dalam negeri di tahun 2015.
Penulis harus jujur, ajakan tersebut buahnya belum sesuai harapan. Masih banyak orang menyukai barang berbau impor dan ‘branded’. Makanan pun, lidahnya sok ala Barat atau Eropa. Banyak faktor penyebabnya, mengapa sulit untuk mengajak agar rakyat Indonesia mencintai produk bangsanya sendiri.
Jargon tersebut tak akan berarti tanpa diikuti keberpihakan negara dalam wujud kebijakan dan aturan yang mengatur. Bagaimana negara berupaya meningkatkan kualitas produk dalam negeri, dan mengatur barang impor, merupakan salah satu bentuk keberpihakan yang sangat diperlukan.
Bukan sebaliknya, membuka kran impor dengan dalih barang lebih bagus daripada produk dalam negeri. Mestinya, bagaimana negara berupaya meningkatkan kemampuan dan keterampilan sumber daya manusia sebagai motor produksi, agar kualitas hasil produksi mampu bersaing, justru lebih penting.
Agar ajakan mencintai produk dalam negeri menggema dan membahana, sehingga gaungnya menyeruak di pelosok negeri dan rakyat melaksanakan, diperlukan karakter para pemimpin dan tokoh untuk memberikan suri teladan, dalam memakai produk anak bangsa. Tanpa suri teladan dalam keseharian, omong kosong kita bisa mencintai produk Indonesia. Semoga kita memberikan teladan. Insya Allah, aamiin.
Pada akhir acara, ada tiga ajakan yang ditulis pada selembar kain dengan tulisan:
(1) Kembali pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
(2) Prioritaskan penggunaan produk anak bangsa.
(3) Tolak buruh Asing.
Bagi undangan yang setuju, dipersilakan tanda tangan di atas kain tersebut. Itulah ajakan untuk mencintai produk anak bangsa atau produk dalam negeri di tahun 2015.
Penulis harus jujur, ajakan tersebut buahnya belum sesuai harapan. Masih banyak orang menyukai barang berbau impor dan ‘branded’. Makanan pun, lidahnya sok ala Barat atau Eropa. Banyak faktor penyebabnya, mengapa sulit untuk mengajak agar rakyat Indonesia mencintai produk bangsanya sendiri.
Jargon tersebut tak akan berarti tanpa diikuti keberpihakan negara dalam wujud kebijakan dan aturan yang mengatur. Bagaimana negara berupaya meningkatkan kualitas produk dalam negeri, dan mengatur barang impor, merupakan salah satu bentuk keberpihakan yang sangat diperlukan.
Bukan sebaliknya, membuka kran impor dengan dalih barang lebih bagus daripada produk dalam negeri. Mestinya, bagaimana negara berupaya meningkatkan kemampuan dan keterampilan sumber daya manusia sebagai motor produksi, agar kualitas hasil produksi mampu bersaing, justru lebih penting.
Agar ajakan mencintai produk dalam negeri menggema dan membahana, sehingga gaungnya menyeruak di pelosok negeri dan rakyat melaksanakan, diperlukan karakter para pemimpin dan tokoh untuk memberikan suri teladan, dalam memakai produk anak bangsa. Tanpa suri teladan dalam keseharian, omong kosong kita bisa mencintai produk Indonesia. Semoga kita memberikan teladan. Insya Allah, aamiin.
tulis komentar anda