Dorong Terwujudnya Ranah Sosial yang Inklusif Gender
Kamis, 11 Maret 2021 - 19:26 WIB
JAKARTA - Tahun ini, peringatan Hari Perempuan Internasional mengusung tema kampanye choose to challenge. Tema tersebut mendorong perempuan untuk mengambil tindakan aktif pada setiap aspek dalam kehidupan. Salah satunya yakni pada penegakan kesetaraan gender dalam kehidupan sehari hari.
Selain perempuan, peran aktif dari gender lain juga sangat diperlukan mengingat masih eksisnya ketidaksetaraan gender, baik di ranah publik maupun di ranah privat. Komnas Perempuan mencatat, selama kurun 2019 hingga 2020, terdapat peningkatan jumlah kejadian kekerasan gender berbasis online (KGBO) dari 241 kasus menjadi 940 kasus.
(Baca: Hipospadias yang Diidap Aprilia Manganang Bukan Transgender, Ini Letak Perbedaannya)
Selain itu, di tahun 2020 juga terdapat peningkatan jumlah dispensasi perkawinan anak menjadi 64.221 dari 23.126 di tahun 2019. Belum lagi laporan kasus inses di tahun 2020 yang masih sebanyak 215 kasus. Kebanyakan korban dari kasus-kasus tersebut adalah perempuan. Jumlah ini tentu bukanlah jumlah kasus kekerasan pada perempuan yang sebenarnya. Kekerasan seksual ibarat fenomena gunung es.
Banyak korban tindak kekerasan yang tidak melapor, pun dengan jumlah dispensasi perkawinan anak. Jumlah tersebut tentu tidak menggambarkan jumlah perkawinan anak yang sebenarnya. Banyak perkawinan anak yang dilakukan secara tidak tercatat.
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Nisaaul Muthiah menyatakan banyaknya korban yang memilih untuk tidak melaporkan tindak kekerasan yang mereka alami disebabkan oleh berbagai faktor. Diantaranya adalah ketidaktahuan korban akan akses untuk melapor, serta ketidakpercayaan korban pada penegakan hukum tindak kekerasan seksual.
(Baca: Menpora Buka Mulut Soal Polemik Gender Aprilia Manganang)
Selain itu, fenomena di atas menunjukkan bahwa ranah sosial kita saat ini belum inklusif bagi korban kekerasan, yang mayoritas adalah perempuan. Jika kita tengok kasus pernikahan dini, salah satu penyebab pernikahan dini yakni adanya paksaan dari orang tua pada anak perempuan. Padahal hubungan antara orang tua dan anak merupakan hubungan yang berada di ranah privat. Hal tersebut menunjukkan bahwa eksklusivitas pada perempuan tidak hanya terjadi di ranah publik saja.
Untuk mewujudkan ruang sosial yang inklusif gender, khususnya inklusif untuk korban kekerasan seksual, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, papar Nisa.
“Untuk mewujudkan lingkungan yang inklusif gender dalam kehidupan sehari-hari harus dimulai dari kesadaran seseorang dari semua gender. Kampanye choose to challenge harus disuarakan oleh beragam gender, karena mewujudkan lingkungan yang inklusif dan sadar gender butuh kontribusi dari semua pihak. Seperti halnya kampanye HeForShe yang menekankan bahwa keterwujudan kesetaraan gender merupakan tanggung jawab bersama, baik perempuan, laki-laki dan gender lainnya,” tutup Nisa.
Selain perempuan, peran aktif dari gender lain juga sangat diperlukan mengingat masih eksisnya ketidaksetaraan gender, baik di ranah publik maupun di ranah privat. Komnas Perempuan mencatat, selama kurun 2019 hingga 2020, terdapat peningkatan jumlah kejadian kekerasan gender berbasis online (KGBO) dari 241 kasus menjadi 940 kasus.
(Baca: Hipospadias yang Diidap Aprilia Manganang Bukan Transgender, Ini Letak Perbedaannya)
Selain itu, di tahun 2020 juga terdapat peningkatan jumlah dispensasi perkawinan anak menjadi 64.221 dari 23.126 di tahun 2019. Belum lagi laporan kasus inses di tahun 2020 yang masih sebanyak 215 kasus. Kebanyakan korban dari kasus-kasus tersebut adalah perempuan. Jumlah ini tentu bukanlah jumlah kasus kekerasan pada perempuan yang sebenarnya. Kekerasan seksual ibarat fenomena gunung es.
Banyak korban tindak kekerasan yang tidak melapor, pun dengan jumlah dispensasi perkawinan anak. Jumlah tersebut tentu tidak menggambarkan jumlah perkawinan anak yang sebenarnya. Banyak perkawinan anak yang dilakukan secara tidak tercatat.
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Nisaaul Muthiah menyatakan banyaknya korban yang memilih untuk tidak melaporkan tindak kekerasan yang mereka alami disebabkan oleh berbagai faktor. Diantaranya adalah ketidaktahuan korban akan akses untuk melapor, serta ketidakpercayaan korban pada penegakan hukum tindak kekerasan seksual.
(Baca: Menpora Buka Mulut Soal Polemik Gender Aprilia Manganang)
Selain itu, fenomena di atas menunjukkan bahwa ranah sosial kita saat ini belum inklusif bagi korban kekerasan, yang mayoritas adalah perempuan. Jika kita tengok kasus pernikahan dini, salah satu penyebab pernikahan dini yakni adanya paksaan dari orang tua pada anak perempuan. Padahal hubungan antara orang tua dan anak merupakan hubungan yang berada di ranah privat. Hal tersebut menunjukkan bahwa eksklusivitas pada perempuan tidak hanya terjadi di ranah publik saja.
Untuk mewujudkan ruang sosial yang inklusif gender, khususnya inklusif untuk korban kekerasan seksual, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, papar Nisa.
“Untuk mewujudkan lingkungan yang inklusif gender dalam kehidupan sehari-hari harus dimulai dari kesadaran seseorang dari semua gender. Kampanye choose to challenge harus disuarakan oleh beragam gender, karena mewujudkan lingkungan yang inklusif dan sadar gender butuh kontribusi dari semua pihak. Seperti halnya kampanye HeForShe yang menekankan bahwa keterwujudan kesetaraan gender merupakan tanggung jawab bersama, baik perempuan, laki-laki dan gender lainnya,” tutup Nisa.
(muh)
tulis komentar anda