Prahara Partai Demokrat
Selasa, 09 Maret 2021 - 15:36 WIB
Ia seharusnya memimpin Partai Demokrat dari 2020 sampai dengan 2025. Sebelumnya ada Subur Budhisantoso (2001-2005), Hadi Utomo (2005-2010), Anas Urbaningrum (2010-2013) dan SBY (2013-2020).
Belum setahun AHY memimpin, prahara di partai yang dipimpinnya tiba-tiba meruak. AHY melakukan konferensi pers tentang kepemimpinannya yang tengah digoyang. Tak tanggung tanggung, AHY mengumumkan keterlibatan orang dekat Presiden Jokowi, yakni Moeldoko yang notabene adalah Kepala Staf Presiden. AHY bahkan harus berkirim surat ke istana , namun tidak direspons.
Pascakonferensi pers yang dilakukan AHY , tokoh-tokoh senior partai merespons dengan melakukan konperensi pers juga, dugaan pertemuan tersembunyi yang oleh Moeldoko dikatakan sekadar “ngopi bareng,” ternyata disikapi tokoh senior partai lebih dari sekedar ngopi. Mereka ingin mendukung dan mengusung Moeldoko utk menggantikan AHY. Partaipun makin beriak, beberapa tokoh senior dipecat secara tidak hormat dari partai.
Pemecatan itupun berdampak hukum. Marzuki Ali melalui kuasa hukumnya melayangkan gugatan terhadap Partai Demokrat . Di sela-sela gugatan, KLB pun berlangsung. Marzuki Ali ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pembina di KLB itu.
Hasil KLB itupun membunyikan genderang perang antara kepemimpinan di Partai Demokrat hasil Kongres Jakarta dengan hasil KLB Sumut. Tokoh dari kedua versi kepemimpinan berdebat di media sosial dan media mainstream. Ada hal lain yang bisa dibaca, bahwa ada pola relasi dalam kepemiminan yang lemah, AHY adalah figur utama dibalik kepemimpinan yang lemah itu.
Keterpilihan AHY sebagai ketua umum di Kongres V Partai Demokrat, disinyalir tidak lepas dari posisinya sebagai anak SBY. AHY dianggap mentah secara politik, tapi ia seolah “dipaksa” tanpa melalui proses meretrokasi, dibandingkan anak SBY lainnya, Ibas yang sudah lebih dulu berkiprah di politik, bahkan pernah menjadi ketua fraksi partai Demokrat di DPR.
Kepemimpinan yang lemah, yang bersandar pada relasi patron-klien, tidak mampu merangkul semua komponen partai, ditambah hilangnya kekuasaan dan kharisme ”patron” nya yakni SBY, menyebabkan AHY seperti kehilangan kepercayaan dari sebagian anggota partai. Terutama yang menganggap bahwa AHY tidak boleh serta merta mendapatkan kekuasaan karena ia adalah anak SBY, melainkan ia harus menjadi pribadi politik yang matang dan teruji lebih dulu.
Prahara yang terjadi di Partai Demokrat menunjukkan bahwa AHY tidak mampu mengelola kisruh internal yang akhirnya meruak ke eksternal, bahkan menjungkirbalikkan kekuasaannya di partai. Meski harus diuji lagi melalui serangkaian proses hukum dan politik misalnya melalui PTUN atau Kemenkumham, apakah AHY benar benar akan lengser dari kepemimpinnya.
Komedi dan Tragedi dalam Politik
Politik itu adalah komedi bila dilihat dari jauh dan adalah tragedi bila dilihat dari dekat, demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, mereka yang berkecimpung di panggung politik sulit diharapkan memegang teguh “ etika politik” pada saat syahwat politik mereka tengah bergelora.
Belum setahun AHY memimpin, prahara di partai yang dipimpinnya tiba-tiba meruak. AHY melakukan konferensi pers tentang kepemimpinannya yang tengah digoyang. Tak tanggung tanggung, AHY mengumumkan keterlibatan orang dekat Presiden Jokowi, yakni Moeldoko yang notabene adalah Kepala Staf Presiden. AHY bahkan harus berkirim surat ke istana , namun tidak direspons.
Pascakonferensi pers yang dilakukan AHY , tokoh-tokoh senior partai merespons dengan melakukan konperensi pers juga, dugaan pertemuan tersembunyi yang oleh Moeldoko dikatakan sekadar “ngopi bareng,” ternyata disikapi tokoh senior partai lebih dari sekedar ngopi. Mereka ingin mendukung dan mengusung Moeldoko utk menggantikan AHY. Partaipun makin beriak, beberapa tokoh senior dipecat secara tidak hormat dari partai.
Pemecatan itupun berdampak hukum. Marzuki Ali melalui kuasa hukumnya melayangkan gugatan terhadap Partai Demokrat . Di sela-sela gugatan, KLB pun berlangsung. Marzuki Ali ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pembina di KLB itu.
Hasil KLB itupun membunyikan genderang perang antara kepemimpinan di Partai Demokrat hasil Kongres Jakarta dengan hasil KLB Sumut. Tokoh dari kedua versi kepemimpinan berdebat di media sosial dan media mainstream. Ada hal lain yang bisa dibaca, bahwa ada pola relasi dalam kepemiminan yang lemah, AHY adalah figur utama dibalik kepemimpinan yang lemah itu.
Keterpilihan AHY sebagai ketua umum di Kongres V Partai Demokrat, disinyalir tidak lepas dari posisinya sebagai anak SBY. AHY dianggap mentah secara politik, tapi ia seolah “dipaksa” tanpa melalui proses meretrokasi, dibandingkan anak SBY lainnya, Ibas yang sudah lebih dulu berkiprah di politik, bahkan pernah menjadi ketua fraksi partai Demokrat di DPR.
Kepemimpinan yang lemah, yang bersandar pada relasi patron-klien, tidak mampu merangkul semua komponen partai, ditambah hilangnya kekuasaan dan kharisme ”patron” nya yakni SBY, menyebabkan AHY seperti kehilangan kepercayaan dari sebagian anggota partai. Terutama yang menganggap bahwa AHY tidak boleh serta merta mendapatkan kekuasaan karena ia adalah anak SBY, melainkan ia harus menjadi pribadi politik yang matang dan teruji lebih dulu.
Prahara yang terjadi di Partai Demokrat menunjukkan bahwa AHY tidak mampu mengelola kisruh internal yang akhirnya meruak ke eksternal, bahkan menjungkirbalikkan kekuasaannya di partai. Meski harus diuji lagi melalui serangkaian proses hukum dan politik misalnya melalui PTUN atau Kemenkumham, apakah AHY benar benar akan lengser dari kepemimpinnya.
Komedi dan Tragedi dalam Politik
Politik itu adalah komedi bila dilihat dari jauh dan adalah tragedi bila dilihat dari dekat, demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, mereka yang berkecimpung di panggung politik sulit diharapkan memegang teguh “ etika politik” pada saat syahwat politik mereka tengah bergelora.
Lihat Juga :
tulis komentar anda