Prahara Partai Demokrat

Selasa, 09 Maret 2021 - 15:36 WIB
loading...
Prahara Partai Demokrat
Kubu AHY maupun Moeldoko harus sama-sama bergerilya untuk membuktikan kepada publik, mana kepemimpinan yang akan diakui oleh negara. Prahara ini telah merugikan Partai Demokrat, khususnya kader-kader partai. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Lely Arrianie
Dosen Kounikasi Politik Universitas Nasional
Presidium Asosiasi Ilmuwan Komunikasi Politik Indonesia (AIKPI)
Dan Dewan Pakar ISKI

AKHIRNYA Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat benar benar dilaksanakan. Mereka memilih Sumatera Utara sebagai tempat berkongres. Hasil KLB kemudian mengukuhkan Moeldoko sebagai ketua umum, sungguh sebuah anti klimak yang tidak diduga, bahwa KLB Partai Demokrat bisa digelar secepat itu.

Sinyalemen beberapa tokoh pendiri partai akan menggelar kongres memang begitu kuat, namun tidak terdeteksi waktunya begitu dekat dengan isu kudeta yang ramai dibicarakan. Isu kudeta yang juga dikaitkan dengan pertemuan Moeldoko dengan beberapa tokoh partai yang kemudian dipecat oleh ketua umum hasil Kongres Jakarta.

Dengan suara bergetar Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menyatakan kemarahan dan kekecewaannya, terutama terhadap ketua umum terpilih di KLB itu, Moeldoko . SBY bahkan harus mengulik kembali kisah lama Moeldoko saat SBY memberi kepercayan atas beberapa jabatan Moeldoko. Kekecewaan itu tidak mengubah posititioning sebagai ketua umum terpilih di KLB Partai Demokrat.

Kepemimpinan yang Lemah
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum dalam Kongres ke V Partai Demokrat di JCC Senayan pada 14 Maret 2020 dengan dukungan 93% suara dari DPD maupun DPC. AHY adalah pemimpin kelima di partai berlambang Mercy itu.

Ia seharusnya memimpin Partai Demokrat dari 2020 sampai dengan 2025. Sebelumnya ada Subur Budhisantoso (2001-2005), Hadi Utomo (2005-2010), Anas Urbaningrum (2010-2013) dan SBY (2013-2020).

Belum setahun AHY memimpin, prahara di partai yang dipimpinnya tiba-tiba meruak. AHY melakukan konferensi pers tentang kepemimpinannya yang tengah digoyang. Tak tanggung tanggung, AHY mengumumkan keterlibatan orang dekat Presiden Jokowi, yakni Moeldoko yang notabene adalah Kepala Staf Presiden. AHY bahkan harus berkirim surat ke istana , namun tidak direspons.

Pascakonferensi pers yang dilakukan AHY , tokoh-tokoh senior partai merespons dengan melakukan konperensi pers juga, dugaan pertemuan tersembunyi yang oleh Moeldoko dikatakan sekadar “ngopi bareng,” ternyata disikapi tokoh senior partai lebih dari sekedar ngopi. Mereka ingin mendukung dan mengusung Moeldoko utk menggantikan AHY. Partaipun makin beriak, beberapa tokoh senior dipecat secara tidak hormat dari partai.

Pemecatan itupun berdampak hukum. Marzuki Ali melalui kuasa hukumnya melayangkan gugatan terhadap Partai Demokrat . Di sela-sela gugatan, KLB pun berlangsung. Marzuki Ali ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pembina di KLB itu.

Hasil KLB itupun membunyikan genderang perang antara kepemimpinan di Partai Demokrat hasil Kongres Jakarta dengan hasil KLB Sumut. Tokoh dari kedua versi kepemimpinan berdebat di media sosial dan media mainstream. Ada hal lain yang bisa dibaca, bahwa ada pola relasi dalam kepemiminan yang lemah, AHY adalah figur utama dibalik kepemimpinan yang lemah itu.

Keterpilihan AHY sebagai ketua umum di Kongres V Partai Demokrat, disinyalir tidak lepas dari posisinya sebagai anak SBY. AHY dianggap mentah secara politik, tapi ia seolah “dipaksa” tanpa melalui proses meretrokasi, dibandingkan anak SBY lainnya, Ibas yang sudah lebih dulu berkiprah di politik, bahkan pernah menjadi ketua fraksi partai Demokrat di DPR.

Kepemimpinan yang lemah, yang bersandar pada relasi patron-klien, tidak mampu merangkul semua komponen partai, ditambah hilangnya kekuasaan dan kharisme ”patron” nya yakni SBY, menyebabkan AHY seperti kehilangan kepercayaan dari sebagian anggota partai. Terutama yang menganggap bahwa AHY tidak boleh serta merta mendapatkan kekuasaan karena ia adalah anak SBY, melainkan ia harus menjadi pribadi politik yang matang dan teruji lebih dulu.

Prahara yang terjadi di Partai Demokrat menunjukkan bahwa AHY tidak mampu mengelola kisruh internal yang akhirnya meruak ke eksternal, bahkan menjungkirbalikkan kekuasaannya di partai. Meski harus diuji lagi melalui serangkaian proses hukum dan politik misalnya melalui PTUN atau Kemenkumham, apakah AHY benar benar akan lengser dari kepemimpinnya.

Komedi dan Tragedi dalam Politik
Politik itu adalah komedi bila dilihat dari jauh dan adalah tragedi bila dilihat dari dekat, demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, mereka yang berkecimpung di panggung politik sulit diharapkan memegang teguh “ etika politik” pada saat syahwat politik mereka tengah bergelora.

Moeldoko yang terpilih menjadi ketua umum versi KLB ramai menjadi perbincangan warganet. Tentu saja pro dan kontra bermunculan menyikapi keputusannya menerima pencalonannya sebagai ketua umum Partai Demokrat. Satu hal yang bisa dibaca dari kesediaanya dicalonkan, disamping sinyalemen kekuasaan politik ke depan, tentu saja adalah tantangan dan prejudice politik yang telah diterimanya pascapertemuan dengan beberapa tokoh Partai Demokrat yang dikatannya sekadar “ngopi” tersebut,

Moeldoko pernah menyatakan agar ia jangan ‘ditekan”. Saat ia menyatakan jangan ditekan, menunjukkan betapa ia justru bisa membalikkan tuduhan itu menjadi kenyataan. Akhirnya kenyataan itu menjadi tragedi di Partai Demokrat . Menjadi komedi bagi penikmat politik pertunjukan mereka. Atau menjadi komedi juga bagi para peserta KLB yang merasa sukses menjalankan rencananya.

Kubu AHY maupun Moeldoko harus sama-sama bergerilya untuk membuktikan kepada publik, mana kepemimpinan yang akan diakui oleh negara. Prahara ini telah merugikan Partai Demokrat secara umum, khususnya kader-kader partai. Masyarakat juga melihatnya dari berbagai sisi, baik sisi kepentingan politik maupun dari sisi etika komunikasi politik orang orang yang terlibat dalam prahara ini.

Di antara berbagai sisi yang bisa diamati dengan mata telanjang, muncul pertanyaan besar tentang prahara di Partai Demokrat , apakah secara “deontologis” etika komunikasi politik, nilai dari suatu tindakan tidak dilihat dari tercapainya tujuan, namun dari niat baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan tersebut. Pertanyaannya, bisakah kehadiran Moeldoko yang merasuk ke Partai Demokrat memiliki niat baik itu?

Karena itu dalam perspektif etika komunikasi politik dikenal juga istilah etika “teologis” bahwa, meskipun manusia memiliki niat baik dalam bertindak, tetap saja harus diiringi dengan tujuan akhir yang baik juga. Sebagai aset bangsa, semoga Partai Demokrat bisa menyelesaikan prahara dengan cara yang elegan dan terhormat.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1529 seconds (0.1#10.140)