Prahara Partai Demokrat
Selasa, 09 Maret 2021 - 15:36 WIB
Moeldoko yang terpilih menjadi ketua umum versi KLB ramai menjadi perbincangan warganet. Tentu saja pro dan kontra bermunculan menyikapi keputusannya menerima pencalonannya sebagai ketua umum Partai Demokrat. Satu hal yang bisa dibaca dari kesediaanya dicalonkan, disamping sinyalemen kekuasaan politik ke depan, tentu saja adalah tantangan dan prejudice politik yang telah diterimanya pascapertemuan dengan beberapa tokoh Partai Demokrat yang dikatannya sekadar “ngopi” tersebut,
Moeldoko pernah menyatakan agar ia jangan ‘ditekan”. Saat ia menyatakan jangan ditekan, menunjukkan betapa ia justru bisa membalikkan tuduhan itu menjadi kenyataan. Akhirnya kenyataan itu menjadi tragedi di Partai Demokrat . Menjadi komedi bagi penikmat politik pertunjukan mereka. Atau menjadi komedi juga bagi para peserta KLB yang merasa sukses menjalankan rencananya.
Kubu AHY maupun Moeldoko harus sama-sama bergerilya untuk membuktikan kepada publik, mana kepemimpinan yang akan diakui oleh negara. Prahara ini telah merugikan Partai Demokrat secara umum, khususnya kader-kader partai. Masyarakat juga melihatnya dari berbagai sisi, baik sisi kepentingan politik maupun dari sisi etika komunikasi politik orang orang yang terlibat dalam prahara ini.
Di antara berbagai sisi yang bisa diamati dengan mata telanjang, muncul pertanyaan besar tentang prahara di Partai Demokrat , apakah secara “deontologis” etika komunikasi politik, nilai dari suatu tindakan tidak dilihat dari tercapainya tujuan, namun dari niat baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan tersebut. Pertanyaannya, bisakah kehadiran Moeldoko yang merasuk ke Partai Demokrat memiliki niat baik itu?
Karena itu dalam perspektif etika komunikasi politik dikenal juga istilah etika “teologis” bahwa, meskipun manusia memiliki niat baik dalam bertindak, tetap saja harus diiringi dengan tujuan akhir yang baik juga. Sebagai aset bangsa, semoga Partai Demokrat bisa menyelesaikan prahara dengan cara yang elegan dan terhormat.
Moeldoko pernah menyatakan agar ia jangan ‘ditekan”. Saat ia menyatakan jangan ditekan, menunjukkan betapa ia justru bisa membalikkan tuduhan itu menjadi kenyataan. Akhirnya kenyataan itu menjadi tragedi di Partai Demokrat . Menjadi komedi bagi penikmat politik pertunjukan mereka. Atau menjadi komedi juga bagi para peserta KLB yang merasa sukses menjalankan rencananya.
Kubu AHY maupun Moeldoko harus sama-sama bergerilya untuk membuktikan kepada publik, mana kepemimpinan yang akan diakui oleh negara. Prahara ini telah merugikan Partai Demokrat secara umum, khususnya kader-kader partai. Masyarakat juga melihatnya dari berbagai sisi, baik sisi kepentingan politik maupun dari sisi etika komunikasi politik orang orang yang terlibat dalam prahara ini.
Di antara berbagai sisi yang bisa diamati dengan mata telanjang, muncul pertanyaan besar tentang prahara di Partai Demokrat , apakah secara “deontologis” etika komunikasi politik, nilai dari suatu tindakan tidak dilihat dari tercapainya tujuan, namun dari niat baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan tersebut. Pertanyaannya, bisakah kehadiran Moeldoko yang merasuk ke Partai Demokrat memiliki niat baik itu?
Karena itu dalam perspektif etika komunikasi politik dikenal juga istilah etika “teologis” bahwa, meskipun manusia memiliki niat baik dalam bertindak, tetap saja harus diiringi dengan tujuan akhir yang baik juga. Sebagai aset bangsa, semoga Partai Demokrat bisa menyelesaikan prahara dengan cara yang elegan dan terhormat.
(poe)
tulis komentar anda