Kinerja Satgas Anti Mafia Tanah Dinilai Tidak Maksimal
Senin, 22 Februari 2021 - 11:21 WIB
JAKARTA - Persoalan pertanahan menjadi perbincangan luas saat ini. Peran dan fungsi Satuan Tugas (Satgas) Anti Mafia Tanah yang dibentuk pada 2017 dinilai tidak maksimal.
"Selama ini satgas kurang terlihat kineranya dalam memberantas mafia tanah. Justru, masyarakat takut melaporkan kasusnya karena dianggap hanya akan menghabiskan finansial," ujar Ketua Koordinator Aliansi Masyarakat Pencari Keadilan (Ampek) Naldy Nazar Haroen, Minggu 21 Februari 2021.
Naldy melanjutkan, kasus mafia tanah sebenarnya sudah terjadi sejak lama."Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) harus benar-benar selektif mengeluarkan sertifikat tanah," tuturnya.
Menurut Naldy, pengadilan adalah lembaga terakhir orang yang ingin mencari keadilan. Seharusnya, hakim di pengadilan mempertimbangkan fakta-fakta hukum dalam memutus perkara, baik pidana dan perdata.
"Yang terjadi selama ini, masyarakat tidak punya biaya untuk berperkara sampai di pengadilan. Mafia tanah punya finansial yang berlipat," tutur Naldy.
Naldy berpendapat, pengalaman yang dialami para pengacra masih adanya langkah pengadilan yang tidak tepat. Sebagai contoh, menurut Naldy, ada putusan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) yang sudah inkracht namun putusan tersebut tidak dijalankan oleh pengadilan.
"Ini yang harus diluruskan sehingga para hakim benar-benar memutus perkara secara adil. Pengadilan juga harus menjalankan putusan PK MA karena sudah inkracht," tuturnya.
Dia meminta Badan Pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Bawas MA) proaktif memeriksa putusan hakim di pengadilan. "Bawas MA harus bekerja secara maksimal. Sehingga, jika ada oknum hakim nakal yang memutus perkara tidak relevan bisa terdeteksi," ucapnya.
Menurut dia, salah satu contoh modus para mafia tanah dalam melancarkan aksinya. Biasanya, lanjut Naldy, mafia tanah tersebut membeli tanah kepada masyarakat dengan cara diberikan down payment (DP).
"Setelah masyarakat diberikan DP para mafia tanah langsung memperkarakan kasus itu dengan alasan tanah itu sudah menjadi miliknya. Masyarakat yang tidak punya uang biasanya tidak mau berperkara karena mereka sadar akan menghabiskan biaya," ungkap Naldy.
Oleh karena itu, lanjut dia, harus ada good government dari aparatur negara dalam memberantas mafia tanah.
"Kapolri sudah menginstruksikan agar mafia tanah disikat. Bagaimana dengan kejaksaan dan pengadilan? Karena muara dari pada sebuah perkara adalah di pengadilan. Seharusnya para hakim dalam memutus perkara harus secara adil. Karena hakim merupakan wakil Tuhan di dunia. Mereka harus komitmen juga memberantas mafia tanah," tuturnya.
"Selama ini satgas kurang terlihat kineranya dalam memberantas mafia tanah. Justru, masyarakat takut melaporkan kasusnya karena dianggap hanya akan menghabiskan finansial," ujar Ketua Koordinator Aliansi Masyarakat Pencari Keadilan (Ampek) Naldy Nazar Haroen, Minggu 21 Februari 2021.
Naldy melanjutkan, kasus mafia tanah sebenarnya sudah terjadi sejak lama."Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) harus benar-benar selektif mengeluarkan sertifikat tanah," tuturnya.
Menurut Naldy, pengadilan adalah lembaga terakhir orang yang ingin mencari keadilan. Seharusnya, hakim di pengadilan mempertimbangkan fakta-fakta hukum dalam memutus perkara, baik pidana dan perdata.
"Yang terjadi selama ini, masyarakat tidak punya biaya untuk berperkara sampai di pengadilan. Mafia tanah punya finansial yang berlipat," tutur Naldy.
Naldy berpendapat, pengalaman yang dialami para pengacra masih adanya langkah pengadilan yang tidak tepat. Sebagai contoh, menurut Naldy, ada putusan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) yang sudah inkracht namun putusan tersebut tidak dijalankan oleh pengadilan.
"Ini yang harus diluruskan sehingga para hakim benar-benar memutus perkara secara adil. Pengadilan juga harus menjalankan putusan PK MA karena sudah inkracht," tuturnya.
Dia meminta Badan Pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Bawas MA) proaktif memeriksa putusan hakim di pengadilan. "Bawas MA harus bekerja secara maksimal. Sehingga, jika ada oknum hakim nakal yang memutus perkara tidak relevan bisa terdeteksi," ucapnya.
Menurut dia, salah satu contoh modus para mafia tanah dalam melancarkan aksinya. Biasanya, lanjut Naldy, mafia tanah tersebut membeli tanah kepada masyarakat dengan cara diberikan down payment (DP).
"Setelah masyarakat diberikan DP para mafia tanah langsung memperkarakan kasus itu dengan alasan tanah itu sudah menjadi miliknya. Masyarakat yang tidak punya uang biasanya tidak mau berperkara karena mereka sadar akan menghabiskan biaya," ungkap Naldy.
Oleh karena itu, lanjut dia, harus ada good government dari aparatur negara dalam memberantas mafia tanah.
"Kapolri sudah menginstruksikan agar mafia tanah disikat. Bagaimana dengan kejaksaan dan pengadilan? Karena muara dari pada sebuah perkara adalah di pengadilan. Seharusnya para hakim dalam memutus perkara harus secara adil. Karena hakim merupakan wakil Tuhan di dunia. Mereka harus komitmen juga memberantas mafia tanah," tuturnya.
(dam)
tulis komentar anda