Puasa, Takwa, dan Kemajuan Bangsa
Senin, 18 Mei 2020 - 08:05 WIB
Menurut jumhur ulama, takwa adalah mengerjakan semua perintah Allah dan meninggalkan setiap larangan-Nya. Harus dicatat bahwa perintah Allah itu bukan hanya berupa salat, puasa, zakat, haji, dan ibadah mahdhah lainnya, tetapi juga terkait muamalah (kesalehan sosial) seperti mengais rezeki secara halal, konsumsi makanan yang halal lagi baik, hidup bersih, menuntut dan mengamalkan iptek, bekerja keras, jujur, ikhlas, disiplin, menyayangi sesama, toleran, merawat dan melestarikan lingkungan, dan amal saleh lainnya.
Larangan pun bukan hanya mencuri, berzina, minuman keras, judi, dan narkoba, tetapi juga malas, bohong, zalim, dengki, marah, kikir, kemaksiatan, serta etos kerja buruk lainnya. Muslim yang memiliki iman yang kokoh, terutama kepada Allah SWT dan akhirat, pasti akan bertakwa. Pasalnya, jika tidak takwa, dia akan menjadi penghuni neraka. Siksaan yang paling ringan di neraka adalah seperti “Seseorang dipakaikan sandal, lalu mendidih ubun-ubunya” (hadis).
Maka itu, wajar ketika umat Islam beriman dan bertakwa secara kaffah (menyeluruh) dan ‘itibba (menurut yang dicontohkan Rasulullah SAW) sejak zaman Rasulullah SAW, Fatukh Mekah (7 M) sampai 16 M, umat Islam menggapai masa keemasannya; menjadi maju, sejahtera, berdaulat, dan menguasai lebih dari dua pertiga dunia. Di antara ilmuwan muslim yang namanya harum dan abadi sampai sekarang adalah Ali bin Abi Thalib (sepupu Nabi SAW, ilmuwan pelopor etos ilmiah), Al-Khawarizmi (Bapak Aljabar dan Algoritma), Al-Battani (astronom penemu waktu 24 jam per hari), Ibnu Farnas (desainer pertama pesawat terbang), Ibnu Khaldun (ilmu tata negara), dan Umar Khayyam (penyair yang merintis geometri analitis).
Paradoks Kehidupan Muslim
Karena maksud Allah mewajibkan orang beriman mengerjakan ibadah puasa Ramadan agar menjadi orang bertakwa (QS Al-Baqarah: 183), maka mestinya kualitas SDM Indonesia sudah sangat unggul dan Indonesia sudah menjadi negara maju dan sejahtera. Bayangkan, andaikan 230 juta muslim Indonesia (87% total penduduk) semuanya bertakwa, niscaya Indonesia sudah mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaannya.
Pertanyaannya, mengapa sudah 74 kali muslim Indonesia berpuasa Ramadan sejak 1945, tetapi Indonesia masih sebagai negara berkembang? Pertama, menurut sebuah survei (2017) bahwa muslim Indonesia yang menjalankan salat lima waktu hanya 25% dan puasa Ramadan hanya 50%. Dari jumlah tersebut ditengarai mayoritas mereka yang berpuasa kelasnya hanya puasa awam, hanya mendapatkan lapar dan dahaga alias gagal mencapai derajat takwa.
Kedua, pahala (reward) utama untuk mukmin yang takwa adalah surga di akhirat yang sifatnya jangka sangat panjang dan gaib. Sementara fakta kehidupan pada era kapitalisme sekarang justru mereka yang jauh dari Allah, bahkan bermaksiat kepada Allah, yang hidupnya sukses. Sebagian besar mereka menduduki jabatan tertinggi atau tinggi di negaranya, kaya raya bahkan superkaya, dan popularitasnya menjulang tinggi sehingga banyak muslim awam dan sekuler yang tergoda mengikuti pola hidup mereka.
Ketiga, boleh jadi karena kondisi kehidupan masyarakat yang tidak kondusif bagi kita untuk bertakwa. Tempat hiburan dan media massa, khususnya medsos dan elektronik, semakin masif dipenuhi berita, gambar, dan video yang merangsang nafsu berahi, perilaku konsumtif, tindak kriminal, dan kemaksiatan. Sistem politik yang menganut demokrasi liberal (bertentangan dengan Pancasila) sarat dengan politik uang, pencitraan, dan hipokrasi sehingga sampai sekarang sedikit sekali atau mungkin belum ada pemimpin dan elite politik kita yang capable (berkapasitas) sekaligus berintegritas dan negarawan.
Yang lebih menyesakkan dada, dunia pendidikan kita pun sudah terinfeksi virus sogok-menyogok, perjokian, menyontek, guru dan dosen tidak dihormati murid dan mahasiswanya, malas belajar, budaya instan, dan dekadensi moral lainnya. Budaya membaca, etos riset, dan moralitas kebajikan jauh dari standar kemajuan dunia pendidikan Barat, apalagi dibandingkan budaya ilmiah dan moralitas pada masa keemasan Islam.
Momentum Puasa Ramadan
Larangan pun bukan hanya mencuri, berzina, minuman keras, judi, dan narkoba, tetapi juga malas, bohong, zalim, dengki, marah, kikir, kemaksiatan, serta etos kerja buruk lainnya. Muslim yang memiliki iman yang kokoh, terutama kepada Allah SWT dan akhirat, pasti akan bertakwa. Pasalnya, jika tidak takwa, dia akan menjadi penghuni neraka. Siksaan yang paling ringan di neraka adalah seperti “Seseorang dipakaikan sandal, lalu mendidih ubun-ubunya” (hadis).
Maka itu, wajar ketika umat Islam beriman dan bertakwa secara kaffah (menyeluruh) dan ‘itibba (menurut yang dicontohkan Rasulullah SAW) sejak zaman Rasulullah SAW, Fatukh Mekah (7 M) sampai 16 M, umat Islam menggapai masa keemasannya; menjadi maju, sejahtera, berdaulat, dan menguasai lebih dari dua pertiga dunia. Di antara ilmuwan muslim yang namanya harum dan abadi sampai sekarang adalah Ali bin Abi Thalib (sepupu Nabi SAW, ilmuwan pelopor etos ilmiah), Al-Khawarizmi (Bapak Aljabar dan Algoritma), Al-Battani (astronom penemu waktu 24 jam per hari), Ibnu Farnas (desainer pertama pesawat terbang), Ibnu Khaldun (ilmu tata negara), dan Umar Khayyam (penyair yang merintis geometri analitis).
Paradoks Kehidupan Muslim
Karena maksud Allah mewajibkan orang beriman mengerjakan ibadah puasa Ramadan agar menjadi orang bertakwa (QS Al-Baqarah: 183), maka mestinya kualitas SDM Indonesia sudah sangat unggul dan Indonesia sudah menjadi negara maju dan sejahtera. Bayangkan, andaikan 230 juta muslim Indonesia (87% total penduduk) semuanya bertakwa, niscaya Indonesia sudah mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaannya.
Pertanyaannya, mengapa sudah 74 kali muslim Indonesia berpuasa Ramadan sejak 1945, tetapi Indonesia masih sebagai negara berkembang? Pertama, menurut sebuah survei (2017) bahwa muslim Indonesia yang menjalankan salat lima waktu hanya 25% dan puasa Ramadan hanya 50%. Dari jumlah tersebut ditengarai mayoritas mereka yang berpuasa kelasnya hanya puasa awam, hanya mendapatkan lapar dan dahaga alias gagal mencapai derajat takwa.
Kedua, pahala (reward) utama untuk mukmin yang takwa adalah surga di akhirat yang sifatnya jangka sangat panjang dan gaib. Sementara fakta kehidupan pada era kapitalisme sekarang justru mereka yang jauh dari Allah, bahkan bermaksiat kepada Allah, yang hidupnya sukses. Sebagian besar mereka menduduki jabatan tertinggi atau tinggi di negaranya, kaya raya bahkan superkaya, dan popularitasnya menjulang tinggi sehingga banyak muslim awam dan sekuler yang tergoda mengikuti pola hidup mereka.
Ketiga, boleh jadi karena kondisi kehidupan masyarakat yang tidak kondusif bagi kita untuk bertakwa. Tempat hiburan dan media massa, khususnya medsos dan elektronik, semakin masif dipenuhi berita, gambar, dan video yang merangsang nafsu berahi, perilaku konsumtif, tindak kriminal, dan kemaksiatan. Sistem politik yang menganut demokrasi liberal (bertentangan dengan Pancasila) sarat dengan politik uang, pencitraan, dan hipokrasi sehingga sampai sekarang sedikit sekali atau mungkin belum ada pemimpin dan elite politik kita yang capable (berkapasitas) sekaligus berintegritas dan negarawan.
Yang lebih menyesakkan dada, dunia pendidikan kita pun sudah terinfeksi virus sogok-menyogok, perjokian, menyontek, guru dan dosen tidak dihormati murid dan mahasiswanya, malas belajar, budaya instan, dan dekadensi moral lainnya. Budaya membaca, etos riset, dan moralitas kebajikan jauh dari standar kemajuan dunia pendidikan Barat, apalagi dibandingkan budaya ilmiah dan moralitas pada masa keemasan Islam.
Momentum Puasa Ramadan
tulis komentar anda