Menanti Langkah Nyata ASEAN di Myanmar
Senin, 15 Februari 2021 - 06:03 WIB
Mira Permatasari, M.Si (Han) –
Director of The Yudhoyono Institute, Pemerhati Studi Kawasan ASEAN
Penahanan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Myanmar Win Myint dan beberapa tokoh Partai Liga Demokrasi oleh militer Myanmar pada Senin, 1 Februari lalu, kembali membuat kawasan Asia Tenggara menjadi sorotan dunia. Seperti deja vu, peristiwa kudeta ini menambah kelam jejak seteru Suu Kyi dan pimpinan militer Myanmar yang berlangsung lebih dari satu dekade. Hal ini juga tentu menjadi beban tersendiri bagi Asosiasi Negara-Negara di Asia Tenggara (ASEAN) dalam mengambil sikap bagi apa yang terjadi pada salah satu negara anggotanya tersebut. Sejak bergabungnya Myanmar ke dalam ASEAN di tahun 1997, banyak pihak yang menyangsikan bahwa Myanmar akan benar-benar menjalankan nilai-nilai dan prinsip ASEAN. Tidak pelak, Myanmar kerap dijuluki sebagai ‘Angsa Hitam’ di ASEAN.
Negara-negara di dunia pun ikut bersuara atas terjadinya peristiwa kudeta tersebut. Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris dan Amerika Serikat dan perwakilan Uni Eropa yang tergabung dalam G-7 mengecam keras kudeta militer di Myanmar. Sekjen PBB menyatakan bahwa kudeta ini tidak bisa diterima dan ini bukanlah cara untuk memerintah suatu negara. Bahkan Dewan Keamanan PBB saat ini sedang merumuskan pernyataan resmi terhadap apa yang terjadi di Myanmar. Amerika Serikat bahkan mengancam akan menjatuhkan sanksi keras untuk Myanmar.
Sentralitas ASEAN kembali Diuji
Di tengah riuhnya kecaman dunia atas kudeta di Myanmar, sayangnya ASEAN sendiri tidak bulat satu suara. Thailand, Filipina dan Kamboja berpendapat bahwa kudeta di Myanmar adalah masalah dalam negeri dan tidak banyak berkomentar. Padahal jika berkaca dari sejarah masing-masing negara tersebut, sebenarnya ketiga negara bisa berbagi pandangan dan pengalaman atas perjuangan mereka untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis. Di sisi lain, Indonesia, Malaysia dan Singapura menyatakan sangat prihatin atas apa yang terjadi di Myanmar. Seluruh pihak di Myanmar diminta untuk sama-sama menahan diri dan mengedepankan dialog untuk mencari solusi. Namun sepertinya respon yang diberikan cenderung bersifat ‘wait and see’. Sedangkan Laos, Vietnam dan Brunei Darussalam bahkan belum mengeluarkan pernyataan apa pun. Di sisi lain, ASEAN sendiri berkomentar mengingatkan Myanmar akan tujuan dan prinsip yang tercantum dalam Piagam ASEAN. Khususnya terkait ketaatan akan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, good governance dan HAM.
Berbedanya sikap negara anggota ASEAN satu sama lain ini membuat sentralitas ASEAN kembali dipertanyakan. Sebenarnya, sikap ASEAN yang terkesan apatis ini cukup bisa dipahami. Dalam Piagam ASEAN dalam Pasal 2 Ayat 2 (e) dinyatakan bahwa negara-negara anggota ASEAN wajib untuk tidak campur tangan dalam urusan domestik negara-negara anggota lainnya. Belum lagi praktek prinsip ASEAN Way, khususnya prinsip ‘musyawarah untuk mufakat’ dalam mengambil sebuah keputusan atau sikap juga seringkali menambah komplikasi tersendiri bagi ASEAN. Layaknya ‘dua sisi mata koin’, di satu sisi prinsip ASEAN Way selama ini dianggap terbukti berhasil menjaga keutuhan ASEAN dan menjaga stabilitas politik dan keamanan di kawasan. Namun, di sisi lainnya, prinsip ASEAN Way juga menjadi tantangan terbesar dari ASEAN itu sendiri untuk bisa selalu relevan. Padahal, ASEAN harus selalu bisa relevan dengan konteks zaman dan tantangan yang menghadapinya. Peristiwa kudeta di Myanmar saat ini bisa jadi adalah ujian berat bagi sentralias dan kohesivitas ASEAN.
Belajar dari Praktek Masa Lalu
Winston Churchill pernah mengatakan, “Siapa yang gagal belajar dari sejarah akan dikutuk untuk mengulanginya.” Untuk itu, ASEAN perlu mencermati dan belajar dari proses-proses yang pernah terjadi di masa lalu. Persoalan kudeta di Myanmar bukanlah persoalan baru. Untuk menghadapi persoalan di Myanmar ini, diperlukan pendekatan yang khusus dan tidak biasa, karena Myanmar adalah negara yang unik dan memiliki histori tersendiri. Dibutuhkan tindakan proaktif dari negara-negara ASEAN untuk melakukan pendekatan personal kepada Myanmar. ASEAN membutuhkan salah satu dari negara anggotanya untuk memimpin misi penting ini.
Director of The Yudhoyono Institute, Pemerhati Studi Kawasan ASEAN
Penahanan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Myanmar Win Myint dan beberapa tokoh Partai Liga Demokrasi oleh militer Myanmar pada Senin, 1 Februari lalu, kembali membuat kawasan Asia Tenggara menjadi sorotan dunia. Seperti deja vu, peristiwa kudeta ini menambah kelam jejak seteru Suu Kyi dan pimpinan militer Myanmar yang berlangsung lebih dari satu dekade. Hal ini juga tentu menjadi beban tersendiri bagi Asosiasi Negara-Negara di Asia Tenggara (ASEAN) dalam mengambil sikap bagi apa yang terjadi pada salah satu negara anggotanya tersebut. Sejak bergabungnya Myanmar ke dalam ASEAN di tahun 1997, banyak pihak yang menyangsikan bahwa Myanmar akan benar-benar menjalankan nilai-nilai dan prinsip ASEAN. Tidak pelak, Myanmar kerap dijuluki sebagai ‘Angsa Hitam’ di ASEAN.
Negara-negara di dunia pun ikut bersuara atas terjadinya peristiwa kudeta tersebut. Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris dan Amerika Serikat dan perwakilan Uni Eropa yang tergabung dalam G-7 mengecam keras kudeta militer di Myanmar. Sekjen PBB menyatakan bahwa kudeta ini tidak bisa diterima dan ini bukanlah cara untuk memerintah suatu negara. Bahkan Dewan Keamanan PBB saat ini sedang merumuskan pernyataan resmi terhadap apa yang terjadi di Myanmar. Amerika Serikat bahkan mengancam akan menjatuhkan sanksi keras untuk Myanmar.
Sentralitas ASEAN kembali Diuji
Di tengah riuhnya kecaman dunia atas kudeta di Myanmar, sayangnya ASEAN sendiri tidak bulat satu suara. Thailand, Filipina dan Kamboja berpendapat bahwa kudeta di Myanmar adalah masalah dalam negeri dan tidak banyak berkomentar. Padahal jika berkaca dari sejarah masing-masing negara tersebut, sebenarnya ketiga negara bisa berbagi pandangan dan pengalaman atas perjuangan mereka untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis. Di sisi lain, Indonesia, Malaysia dan Singapura menyatakan sangat prihatin atas apa yang terjadi di Myanmar. Seluruh pihak di Myanmar diminta untuk sama-sama menahan diri dan mengedepankan dialog untuk mencari solusi. Namun sepertinya respon yang diberikan cenderung bersifat ‘wait and see’. Sedangkan Laos, Vietnam dan Brunei Darussalam bahkan belum mengeluarkan pernyataan apa pun. Di sisi lain, ASEAN sendiri berkomentar mengingatkan Myanmar akan tujuan dan prinsip yang tercantum dalam Piagam ASEAN. Khususnya terkait ketaatan akan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, good governance dan HAM.
Berbedanya sikap negara anggota ASEAN satu sama lain ini membuat sentralitas ASEAN kembali dipertanyakan. Sebenarnya, sikap ASEAN yang terkesan apatis ini cukup bisa dipahami. Dalam Piagam ASEAN dalam Pasal 2 Ayat 2 (e) dinyatakan bahwa negara-negara anggota ASEAN wajib untuk tidak campur tangan dalam urusan domestik negara-negara anggota lainnya. Belum lagi praktek prinsip ASEAN Way, khususnya prinsip ‘musyawarah untuk mufakat’ dalam mengambil sebuah keputusan atau sikap juga seringkali menambah komplikasi tersendiri bagi ASEAN. Layaknya ‘dua sisi mata koin’, di satu sisi prinsip ASEAN Way selama ini dianggap terbukti berhasil menjaga keutuhan ASEAN dan menjaga stabilitas politik dan keamanan di kawasan. Namun, di sisi lainnya, prinsip ASEAN Way juga menjadi tantangan terbesar dari ASEAN itu sendiri untuk bisa selalu relevan. Padahal, ASEAN harus selalu bisa relevan dengan konteks zaman dan tantangan yang menghadapinya. Peristiwa kudeta di Myanmar saat ini bisa jadi adalah ujian berat bagi sentralias dan kohesivitas ASEAN.
Belajar dari Praktek Masa Lalu
Winston Churchill pernah mengatakan, “Siapa yang gagal belajar dari sejarah akan dikutuk untuk mengulanginya.” Untuk itu, ASEAN perlu mencermati dan belajar dari proses-proses yang pernah terjadi di masa lalu. Persoalan kudeta di Myanmar bukanlah persoalan baru. Untuk menghadapi persoalan di Myanmar ini, diperlukan pendekatan yang khusus dan tidak biasa, karena Myanmar adalah negara yang unik dan memiliki histori tersendiri. Dibutuhkan tindakan proaktif dari negara-negara ASEAN untuk melakukan pendekatan personal kepada Myanmar. ASEAN membutuhkan salah satu dari negara anggotanya untuk memimpin misi penting ini.
tulis komentar anda