LBM Eijkman Kembangkan Metode Praktis Kadar Antibodi untuk Plasma Konvalesen
Kamis, 11 Februari 2021 - 15:55 WIB
JAKARTA - Menteri Riset dan Teknologi /Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro mengatakan saat ini Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman menjadi institusi terdepan dalam pengembangan plasma konvalesen .
“Dan dalam lingkungan Kemenristek BRIN, Lembaga Eijkman menjadi institusi yang terdepan di dalam penelitian mengenai bahwa plasma konvalesen ini. Dimulai dengan pengukuran kadar antibodi dari plasma konvalesen itu sendiri,” ujar Bambang dalam Webinar Plasma Konvalesen Pada Penanganan COVID-19, Kamis (11/2/2021).
“Artinya ketika seorang donor memberikan plasmanya, maka harus dicek apakah plasma yang diberikan mempunyai kadar antibodi yang cukup untuk diberikan kepada pasien yang sedang menderita COVID-19,” jelas Bambang.
Bambang mengatakan untuk mengukur kadar antibodi gold standard Plaque Reduction Neutralization Test (PRNT). “Dan untuk mengukur kadar antibodi Lembaga Eijkman sudah melakukan yang namanya gold standard Plaque Reduction Neutralization Test (PRNT) yang bisa mengukur kira-kira kemampuan atau kadar antibodi yang ada di dalam plasma tersebut,” jelasnya.
Namun, kata Bambang dalam perkembangannya penggunaan PRNT ini akan memakan biaya yang mahal. “Nah, dalam perkembangannya tentunya menggunakan PRNT terus-menerus itu akan memakan biaya yang mahal dan juga prosedur yang lebih rumit karena memerlukan laboratorium BSL-3,” katanya.
Oleh karena itu, Bambang mengatakan saat ini LBM Eijkman sedang mengembangkan metode praktis untuk mengukur kadar antibodi yang digunakan dalam plasma konvalesen. “Nah, saat ini tim Eijkman sedang mengembangkan target metode metode yang lebih praktis untuk mengukur kadar antibodi dengan menggunakan atau dengan melakukan evaluasi terhadap reagen-reagen yang sudah ada di pasaran.”
“Sehingga kita harapkan nanti dengan pengukuran yang lebih praktis ini, maka pengukuran kadar antibodi plasma juga menjadi lebih cepat. Sehingga ketika plasma diterima dari donor kemudian dilakukan evakuasi dan akhirnya bisa diputuskan apakah plasma itu bisa diberikan kepada si pasien tersebut,” sambung Bambang.
Tentunya tegas Bambang, diharapkan metode pengembangan LBM Eijkman ini bisa memakan waktu yang bisa lebih cepat. “Sehingga, kita tentunya bisa menyelamatkan lebih banyak orang lagi. Apalagi kalau memang donornya itu memang dengan jumlah yang cukup,” tutup dia.
“Dan dalam lingkungan Kemenristek BRIN, Lembaga Eijkman menjadi institusi yang terdepan di dalam penelitian mengenai bahwa plasma konvalesen ini. Dimulai dengan pengukuran kadar antibodi dari plasma konvalesen itu sendiri,” ujar Bambang dalam Webinar Plasma Konvalesen Pada Penanganan COVID-19, Kamis (11/2/2021).
“Artinya ketika seorang donor memberikan plasmanya, maka harus dicek apakah plasma yang diberikan mempunyai kadar antibodi yang cukup untuk diberikan kepada pasien yang sedang menderita COVID-19,” jelas Bambang.
Bambang mengatakan untuk mengukur kadar antibodi gold standard Plaque Reduction Neutralization Test (PRNT). “Dan untuk mengukur kadar antibodi Lembaga Eijkman sudah melakukan yang namanya gold standard Plaque Reduction Neutralization Test (PRNT) yang bisa mengukur kira-kira kemampuan atau kadar antibodi yang ada di dalam plasma tersebut,” jelasnya.
Namun, kata Bambang dalam perkembangannya penggunaan PRNT ini akan memakan biaya yang mahal. “Nah, dalam perkembangannya tentunya menggunakan PRNT terus-menerus itu akan memakan biaya yang mahal dan juga prosedur yang lebih rumit karena memerlukan laboratorium BSL-3,” katanya.
Oleh karena itu, Bambang mengatakan saat ini LBM Eijkman sedang mengembangkan metode praktis untuk mengukur kadar antibodi yang digunakan dalam plasma konvalesen. “Nah, saat ini tim Eijkman sedang mengembangkan target metode metode yang lebih praktis untuk mengukur kadar antibodi dengan menggunakan atau dengan melakukan evaluasi terhadap reagen-reagen yang sudah ada di pasaran.”
“Sehingga kita harapkan nanti dengan pengukuran yang lebih praktis ini, maka pengukuran kadar antibodi plasma juga menjadi lebih cepat. Sehingga ketika plasma diterima dari donor kemudian dilakukan evakuasi dan akhirnya bisa diputuskan apakah plasma itu bisa diberikan kepada si pasien tersebut,” sambung Bambang.
Tentunya tegas Bambang, diharapkan metode pengembangan LBM Eijkman ini bisa memakan waktu yang bisa lebih cepat. “Sehingga, kita tentunya bisa menyelamatkan lebih banyak orang lagi. Apalagi kalau memang donornya itu memang dengan jumlah yang cukup,” tutup dia.
(kri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda