Ekspansi Modal Picu 'Ocean Grabbing'
Kamis, 11 Februari 2021 - 05:05 WIB
Dalam konteks ocean grabbing akibat ekspansi modal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bermuara pada maraknya kegiatan reklamasi yang dilakukan, mengindikasikan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sangat rentan sekali dijadikan objek eksploitasi untuk memperoleh keuntungan tanpa memedulikan kepentingan masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan. Kebijakan pemerintah yang selalu mendukung dan memfasilitasi para pemilik modal untuk melakukan ekspansi modal guna memperoleh lahan baru merupakan pemicu utama dari terjadinya ocean grabbing di Indonesia.
Belum lama ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan berupa UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja yang menurut penulis merupakan bagian dari dukungan pemerintah terhadap para pemilik modal untuk mempermudah melakukan eksploitasi besar-besaran di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ada beberapa catatan terkait UU Cipta Kerja yang menjadi pelicin guna memuluskan para pemilik modal yang haus akan kebutuhan lahan baru untuk melakukan reklamasi yang merupakan pemicu terjadinya ocean grabbing di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pertama, Pasal 17A ayat 1 dan 2 UU Cipta Kerja memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk menerbitkan perizinan berusaha, meskipun alokasi ruang serta rencana tata ruang dan rencana zonasi belum ada untuk kegiatan yang ditetapkan sebagai kebijakan nasional strategis. Dalam hal ini kita ketahui bahwa rencana tata ruang memiliki peran yang sangat penting agar pengelolaan ruang terlaksana dengan bijaksana sehingga keberlanjutannya dapat terjaga demi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Jadi, jika kegiatan pemanfaatan yang dilakukan tanpa mengacu pada rencana tata ruang sudah tentunya berpotensi tidak sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan, yang pada akhirnya menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem yang berdampak pada masyarakat di wilayah tersebut.
Kedua, UU Cipta Kerja telah menghapus RZWP3K tingkat provinsi dan kabupaten/kota, RSWP3K, RPWP3K, RAPWP3K, dan Rencana Zonasi Rinci. Dengan dihapusnya dokumen-dokumen tersebut, maka alternatif pengganti untuk mempertahankan fungsi dari dokumen-dokumen tersebut tinggal Rencana Zonasi Wilayah Pengelolaan dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang merupakan kewenangan pemerintah pusat. Walaupun demikian, partisipasi publik yang diwajibkan dalam penyusunan RZWP3K sudah dipastikan terkendala terkait dengan jangkauan yang semakin jauh dan sulit bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam penyusunan dan perencanaan di tingkat pemerintah pusat.
Ketiga, perubahan status zona inti pada kawasan konservasi nasional dalam UU Cipta Kerja telah diubah kewenangannya menjadi kewenangan pemerintah pusat, yang sebelumnya menjadi kewenangan menteri. Artinya, UU Cipta Kerja telah memberikan wewenang seluas-luasnya kepada pemerintah pusat untuk mengubah status zona inti pada kawasan konservasi dengan alasan kebijakan nasional strategis guna kepentingan iklim usaha.
Efek Domino “Ocean Grabing”
Ada beberapa hal yang menjadi catatan penting dari ekspansi modal besar-besaran yang dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah memicu terjadinya ocean grabbing melalui proyek reklamasi untuk memperoleh lahan baru. Pertama, terkait ocean grabbing akibat dari pelaksanaan proyek reklamasi telah menunjukkan kepada kita bahwa Indonesia memiliki pengelolaan yang buruk terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal tersebut ditandai dengan keterlibatan masyarakat lokal/adat sangat minim serta perencanaan pembangunan yang tidak terencana dengan baik.
Dengan demikian, mengindikasikan bahwa kegiatan ekspansi modal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil hanya difasilitasi sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan para pemangku kepentingan yang ada (masyarakat lokal/adat). Pada akhirnya kita ketahui bahwa pelaksanaan reklamasi yang memicu timbulnya ocean grabbing dilaksanakan secara terselubung dan dipermulus dengan pemberian dukungan melalui UU Cipta Kerja yang terlihat jelas di mana terkait pengaturan ruang hanya diperuntukkan memfasilitasi para pemilik modal untuk melakukan ekspansi modal.
Kedua, terusir dan terampasnya hak hidup serta identitas masyarakat lokal/adat dari ruang dan sumber daya laut yang telah diprivatisasi oleh pemilik modal. Hal tersebut tentu berdampak terhadap mata pencaharian dan kondisi sosial kehidupan masyarakat lokal/adat, seperti jumlah tangkapan yang semakin menurun, hilangnya daerah tangkapan (fishing ground), penurunan pendapatan, meningkatnya biaya operasional akibat semakin jauhnya daerah penangkapan, serta hilangnya identitas dan budaya masyarakat karena ketidakmampuan mereka untuk bertahan.
Ketiga, kerusakan lingkungan yang masif terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dikarenakan terganggunya keseimbangan ekosistem yang merupakan dampak dari perubahan bentang alam yang terjadi. Seperti kerusakan ekosistem pesisir (mangrove, padang lamun, dan terumbu karang), sedimentasi yang semakin parah, perubahan pola arus, menurunnya salinitas, dan terjadinya kekeruhan air akibat pengerukan serta penimbunan menggunakan pasir laut. Hal tersebut jelas-jelas telah merusak ekosistem pesisir yang berakibat sangat fatal bagi kehidupan biota yang ada. Kondisi tersebut secara akal sehat jelas tidak menguntungkan sama sekali, baik untuk masyarakat maupun lingkungan.
Belum lama ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan berupa UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja yang menurut penulis merupakan bagian dari dukungan pemerintah terhadap para pemilik modal untuk mempermudah melakukan eksploitasi besar-besaran di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ada beberapa catatan terkait UU Cipta Kerja yang menjadi pelicin guna memuluskan para pemilik modal yang haus akan kebutuhan lahan baru untuk melakukan reklamasi yang merupakan pemicu terjadinya ocean grabbing di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pertama, Pasal 17A ayat 1 dan 2 UU Cipta Kerja memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk menerbitkan perizinan berusaha, meskipun alokasi ruang serta rencana tata ruang dan rencana zonasi belum ada untuk kegiatan yang ditetapkan sebagai kebijakan nasional strategis. Dalam hal ini kita ketahui bahwa rencana tata ruang memiliki peran yang sangat penting agar pengelolaan ruang terlaksana dengan bijaksana sehingga keberlanjutannya dapat terjaga demi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Jadi, jika kegiatan pemanfaatan yang dilakukan tanpa mengacu pada rencana tata ruang sudah tentunya berpotensi tidak sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan, yang pada akhirnya menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem yang berdampak pada masyarakat di wilayah tersebut.
Kedua, UU Cipta Kerja telah menghapus RZWP3K tingkat provinsi dan kabupaten/kota, RSWP3K, RPWP3K, RAPWP3K, dan Rencana Zonasi Rinci. Dengan dihapusnya dokumen-dokumen tersebut, maka alternatif pengganti untuk mempertahankan fungsi dari dokumen-dokumen tersebut tinggal Rencana Zonasi Wilayah Pengelolaan dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang merupakan kewenangan pemerintah pusat. Walaupun demikian, partisipasi publik yang diwajibkan dalam penyusunan RZWP3K sudah dipastikan terkendala terkait dengan jangkauan yang semakin jauh dan sulit bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam penyusunan dan perencanaan di tingkat pemerintah pusat.
Ketiga, perubahan status zona inti pada kawasan konservasi nasional dalam UU Cipta Kerja telah diubah kewenangannya menjadi kewenangan pemerintah pusat, yang sebelumnya menjadi kewenangan menteri. Artinya, UU Cipta Kerja telah memberikan wewenang seluas-luasnya kepada pemerintah pusat untuk mengubah status zona inti pada kawasan konservasi dengan alasan kebijakan nasional strategis guna kepentingan iklim usaha.
Efek Domino “Ocean Grabing”
Ada beberapa hal yang menjadi catatan penting dari ekspansi modal besar-besaran yang dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah memicu terjadinya ocean grabbing melalui proyek reklamasi untuk memperoleh lahan baru. Pertama, terkait ocean grabbing akibat dari pelaksanaan proyek reklamasi telah menunjukkan kepada kita bahwa Indonesia memiliki pengelolaan yang buruk terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal tersebut ditandai dengan keterlibatan masyarakat lokal/adat sangat minim serta perencanaan pembangunan yang tidak terencana dengan baik.
Dengan demikian, mengindikasikan bahwa kegiatan ekspansi modal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil hanya difasilitasi sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan para pemangku kepentingan yang ada (masyarakat lokal/adat). Pada akhirnya kita ketahui bahwa pelaksanaan reklamasi yang memicu timbulnya ocean grabbing dilaksanakan secara terselubung dan dipermulus dengan pemberian dukungan melalui UU Cipta Kerja yang terlihat jelas di mana terkait pengaturan ruang hanya diperuntukkan memfasilitasi para pemilik modal untuk melakukan ekspansi modal.
Kedua, terusir dan terampasnya hak hidup serta identitas masyarakat lokal/adat dari ruang dan sumber daya laut yang telah diprivatisasi oleh pemilik modal. Hal tersebut tentu berdampak terhadap mata pencaharian dan kondisi sosial kehidupan masyarakat lokal/adat, seperti jumlah tangkapan yang semakin menurun, hilangnya daerah tangkapan (fishing ground), penurunan pendapatan, meningkatnya biaya operasional akibat semakin jauhnya daerah penangkapan, serta hilangnya identitas dan budaya masyarakat karena ketidakmampuan mereka untuk bertahan.
Ketiga, kerusakan lingkungan yang masif terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dikarenakan terganggunya keseimbangan ekosistem yang merupakan dampak dari perubahan bentang alam yang terjadi. Seperti kerusakan ekosistem pesisir (mangrove, padang lamun, dan terumbu karang), sedimentasi yang semakin parah, perubahan pola arus, menurunnya salinitas, dan terjadinya kekeruhan air akibat pengerukan serta penimbunan menggunakan pasir laut. Hal tersebut jelas-jelas telah merusak ekosistem pesisir yang berakibat sangat fatal bagi kehidupan biota yang ada. Kondisi tersebut secara akal sehat jelas tidak menguntungkan sama sekali, baik untuk masyarakat maupun lingkungan.
tulis komentar anda