Ekspansi Modal Picu 'Ocean Grabbing'
Kamis, 11 Februari 2021 - 05:05 WIB
Muhammad Qustam Sahibuddin
Peneliti PKSPL-LPPM IPB University
MARAKNYA kegiatan investasi yang dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memberikan pertanda bahwa adanya aktivitas ekspansi modal besar-besaran yang memaksa pada pembentukan ruang baru (daratan) guna memperoleh keuntungan yang besar dari potensi sumber daya yang dimiliki oleh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Di samping itu, juga dukungan dan jaminan dari pemerintah melalui Undang-Undang No 11/2020 tentang Cipta Kerja yang disahkan 5 Oktober 2020 bertujuan untuk menciptakan iklim investasi yang berkualitas dan mempermudah proses investasi di Indonesia.
Berkembangnya kegiatan investasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menandakan bahwa wilayah tersebut memiliki potensi besar untuk dikembangkan di masa depan baik untuk kegiatan wisata maupun pusat perekonomian baru.
Kegiatan investasi pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia dilakukan guna memperoleh ruang baru dalam bentuk lahan dengan jalan reklamasi, baik itu reklamasi di wilayah pantai maupun perairan dangkal. Anggalih Bayu dan Muh Kamin 2020, menyebutkan bahwa Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) telah mencatat sebanyak 41 kegiatan reklamasi yang telah dilakukan di Indonesia untuk kepentingan investasi. Sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjelaskan, terdapat 37 lokasi yang sudah direncanakan akan dikembangkan melalui kegiatan reklamasi, 17 di antaranya telah berjalan (Himawan dan Tolen, 2016).
Reklamasi sendiri menurut Peraturan Menteri Perhubungan No PM 52/2011 adalah pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir yang mengubah garis pantai dan atau kontur kedalaman perairan yang ada. Tentunya kegiatan reklamasi mengubah bentang alam yang ada serta berdampak buruk terhadap ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Di samping dampak buruk terhadap ekosistem, kegiatan reklamasi menciptakan keterbatasan akses masyarakat lokal terhadap ruang baru tersebut dan sumber daya yang ada. Dengan kata lain, ekspansi modal besar-besaran di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menunjukkan adanya fenomena ocean grabbing.
“Ocean Grabbing”
Ocean grabbing menurut Bennet et al 2015, adalah tindakan pengambilan kontrol, akses, dan penguasaan ruang perairan laut dari penggunaan sebelumnya (masyarakat lokal/adat) kepada pemegang hak yang lain (pengusaha/pemilik modal). Artinya, telah terjadi tindakan perampasan hak-hak masyarakat pesisir atas ruang dan sumber daya yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka. Dengan demikian, pemanfaatan, pengontrolan, dan serta akses sudah berpindah tangan dari masyarakat lokal/adat kepada pemilik modal/pengusaha.
Tentunya ocean grabbing merupakan bentuk penjajahan yang nyata pada saat ini, di mana masyarakat secara langsung dipaksa kehilangan akses terhadap ruang serta sumber daya yang selama ini mereka andalkan untuk kegiatan ekonomi sehari-hari. Lebih lanjut dijelaskan oleh Bennet et al 2015, ocean grabbing terjadi akibat dari proses tata kelola yang tidak tepat, melalui tindakan yang secara sengaja melemahkan, baik dari segi keamanan maupun kehidupan manusia (masyarakat), sehingga berdampak pada menurunnya kesejahteraan sosial serta kerusakan ekologi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga publik (negara) maupun kelompok kepentingan pribadi (pemodal).
Peneliti PKSPL-LPPM IPB University
MARAKNYA kegiatan investasi yang dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memberikan pertanda bahwa adanya aktivitas ekspansi modal besar-besaran yang memaksa pada pembentukan ruang baru (daratan) guna memperoleh keuntungan yang besar dari potensi sumber daya yang dimiliki oleh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Di samping itu, juga dukungan dan jaminan dari pemerintah melalui Undang-Undang No 11/2020 tentang Cipta Kerja yang disahkan 5 Oktober 2020 bertujuan untuk menciptakan iklim investasi yang berkualitas dan mempermudah proses investasi di Indonesia.
Berkembangnya kegiatan investasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menandakan bahwa wilayah tersebut memiliki potensi besar untuk dikembangkan di masa depan baik untuk kegiatan wisata maupun pusat perekonomian baru.
Kegiatan investasi pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia dilakukan guna memperoleh ruang baru dalam bentuk lahan dengan jalan reklamasi, baik itu reklamasi di wilayah pantai maupun perairan dangkal. Anggalih Bayu dan Muh Kamin 2020, menyebutkan bahwa Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) telah mencatat sebanyak 41 kegiatan reklamasi yang telah dilakukan di Indonesia untuk kepentingan investasi. Sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjelaskan, terdapat 37 lokasi yang sudah direncanakan akan dikembangkan melalui kegiatan reklamasi, 17 di antaranya telah berjalan (Himawan dan Tolen, 2016).
Reklamasi sendiri menurut Peraturan Menteri Perhubungan No PM 52/2011 adalah pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir yang mengubah garis pantai dan atau kontur kedalaman perairan yang ada. Tentunya kegiatan reklamasi mengubah bentang alam yang ada serta berdampak buruk terhadap ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Di samping dampak buruk terhadap ekosistem, kegiatan reklamasi menciptakan keterbatasan akses masyarakat lokal terhadap ruang baru tersebut dan sumber daya yang ada. Dengan kata lain, ekspansi modal besar-besaran di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menunjukkan adanya fenomena ocean grabbing.
“Ocean Grabbing”
Ocean grabbing menurut Bennet et al 2015, adalah tindakan pengambilan kontrol, akses, dan penguasaan ruang perairan laut dari penggunaan sebelumnya (masyarakat lokal/adat) kepada pemegang hak yang lain (pengusaha/pemilik modal). Artinya, telah terjadi tindakan perampasan hak-hak masyarakat pesisir atas ruang dan sumber daya yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka. Dengan demikian, pemanfaatan, pengontrolan, dan serta akses sudah berpindah tangan dari masyarakat lokal/adat kepada pemilik modal/pengusaha.
Tentunya ocean grabbing merupakan bentuk penjajahan yang nyata pada saat ini, di mana masyarakat secara langsung dipaksa kehilangan akses terhadap ruang serta sumber daya yang selama ini mereka andalkan untuk kegiatan ekonomi sehari-hari. Lebih lanjut dijelaskan oleh Bennet et al 2015, ocean grabbing terjadi akibat dari proses tata kelola yang tidak tepat, melalui tindakan yang secara sengaja melemahkan, baik dari segi keamanan maupun kehidupan manusia (masyarakat), sehingga berdampak pada menurunnya kesejahteraan sosial serta kerusakan ekologi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga publik (negara) maupun kelompok kepentingan pribadi (pemodal).
tulis komentar anda