Dimensi Hukum Penanganan Covid-19
Rabu, 10 Februari 2021 - 06:50 WIB
Kepentingan penanganan Covid-19 dengan merujuk pemikiran Pound sudah sangat memadai dalam dimensi kepentingan pribadi, sosial, dan negara. Persoalannya terletak bagaimana peraturan yang ada dapat menggerakkan lembaga masyarakat untuk mendorong tujuan-tujuan sosial dan perseorangan di bidang kesehatan. Jika konsep ini dilakukan, peraturan dan kebijakan Covid-19 tentu akan menjadi alat rekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering)
Persoalannya perilaku masyarakat saat ini tidak banyak berubah untuk menaati protokol kesehatan. Penggunaan masker, menjaga jarak, dan aktivitas cuci tangan tidak ditaati. Kegiatan bergerombol dan mobilitas masyarakat masih sangat tinggi. Situasi ini bermakna bahwa aturan dan kebijakan belum berjalan dengan semestinya. Aparat yang memiliki kewenangan penanganan Covid-19 belum mampu membangun kesadaran yang utuh akan makna penting protokol kesehatan.
Soerjono Soekanto berpendapat, apabila hukum tidak berjalan dengan semestinya, harus dicek faktor-faktor yang menjadi penghambatnya. Biasanya antara lain terjadi karena faktor pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan maupun golongan-golongan lain dalam masyarakat. Faktor penghambat harus diidentifikasi.
Salah satu yang biasa jadi faktor penghambat, menurut Soerjono Soekanto, ialah komunikasi hukum. Hukum yang diharapkan dapat memengaruhi perubahan perilaku masyarakat harus disebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Komunikasi hukum harus dapat dilakukan secara formal dan informal. Cara ini merupakan bagian yang dinamakan difusi, yaitu penyebaran unsur-unsur kebudayaan tertentu di dalam kehidupan masyarakat.
Pada pokoknya ketaatan hukum sangat dipengaruhi oleh dua faktor, pertama, tujuan hukum harus identik dengan tujuan/aspirasi anggota-anggota masyarakat. Makna lainnya, taatnya masyarakat pada hukum karena terdapatnya perasaan keadilan dan kebenaran dalam hukum. Kedua, adanya kekuasaan yang imperatif melekat pada hukum dengan sanksi apabila ada orang yang melanggarnya.
Berangkat dari pemikiran di atas, terbayang dalam pikiran kita bahwa ada banyak faktor hukum dan dimensi sosial politik yang memengaruhi lemahnya ketaatan hukum masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan. Sebagian besar masyarakat belum menangkap kebenaran protokol kesehatan sebagai sesuatu yang penting dan pada sisi yang lain penegakan hukum masih sangat lemah.
Tentu masih banyak faktor lain yang bisa diidentifikasi dan ditemukan akar masalahnya. Mengubah perilaku masyarakat tidak mudah, apalagi di dalamnya ada dimensi sosial keagamaan. Butuh multi-pendekatan untuk menciptakan kesadaran akan makna penting menaati kebijakan protokol kesehatan. Kegagalan penanganan Covid-19 saat ini lebih pada konteks ini: tidak fokus pada pokok masalah, bersifat sentralistik, bahasa kebijakan yang tidak membumi, dan kebijakan yang selalu berubah-ubah sehingga cenderung membingungkan masyarakat atau bahkan pemerintah sendiri.
Persoalannya perilaku masyarakat saat ini tidak banyak berubah untuk menaati protokol kesehatan. Penggunaan masker, menjaga jarak, dan aktivitas cuci tangan tidak ditaati. Kegiatan bergerombol dan mobilitas masyarakat masih sangat tinggi. Situasi ini bermakna bahwa aturan dan kebijakan belum berjalan dengan semestinya. Aparat yang memiliki kewenangan penanganan Covid-19 belum mampu membangun kesadaran yang utuh akan makna penting protokol kesehatan.
Soerjono Soekanto berpendapat, apabila hukum tidak berjalan dengan semestinya, harus dicek faktor-faktor yang menjadi penghambatnya. Biasanya antara lain terjadi karena faktor pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan maupun golongan-golongan lain dalam masyarakat. Faktor penghambat harus diidentifikasi.
Salah satu yang biasa jadi faktor penghambat, menurut Soerjono Soekanto, ialah komunikasi hukum. Hukum yang diharapkan dapat memengaruhi perubahan perilaku masyarakat harus disebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Komunikasi hukum harus dapat dilakukan secara formal dan informal. Cara ini merupakan bagian yang dinamakan difusi, yaitu penyebaran unsur-unsur kebudayaan tertentu di dalam kehidupan masyarakat.
Pada pokoknya ketaatan hukum sangat dipengaruhi oleh dua faktor, pertama, tujuan hukum harus identik dengan tujuan/aspirasi anggota-anggota masyarakat. Makna lainnya, taatnya masyarakat pada hukum karena terdapatnya perasaan keadilan dan kebenaran dalam hukum. Kedua, adanya kekuasaan yang imperatif melekat pada hukum dengan sanksi apabila ada orang yang melanggarnya.
Berangkat dari pemikiran di atas, terbayang dalam pikiran kita bahwa ada banyak faktor hukum dan dimensi sosial politik yang memengaruhi lemahnya ketaatan hukum masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan. Sebagian besar masyarakat belum menangkap kebenaran protokol kesehatan sebagai sesuatu yang penting dan pada sisi yang lain penegakan hukum masih sangat lemah.
Tentu masih banyak faktor lain yang bisa diidentifikasi dan ditemukan akar masalahnya. Mengubah perilaku masyarakat tidak mudah, apalagi di dalamnya ada dimensi sosial keagamaan. Butuh multi-pendekatan untuk menciptakan kesadaran akan makna penting menaati kebijakan protokol kesehatan. Kegagalan penanganan Covid-19 saat ini lebih pada konteks ini: tidak fokus pada pokok masalah, bersifat sentralistik, bahasa kebijakan yang tidak membumi, dan kebijakan yang selalu berubah-ubah sehingga cenderung membingungkan masyarakat atau bahkan pemerintah sendiri.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda