Pilkada Digelar 2024, PKS Khawatir Korban Jiwa Lebih Besar Dibanding Pemilu 2019
Selasa, 09 Februari 2021 - 11:52 WIB
"(Saya) Setuju dengan usulan Mas Djayadi Hanan (SMRC), bagus 2024 pemilu nasional (pilpres, DPD, dan DPR pusat). Tahun 2027, pemilu provinsi (pilgub dan DPRD Provinsi) dan 2028 pilkada kota/kabupaten," paparnya.
Lulusan Universitas Indonesia (UI) itu menyebut nanti setiap pemilihan memiliki isu dan diskursus sendiri. Demokrasi pun menjadi sehat karena dalam lima tahun ada tiga kesempatan interaksi parpol dengan publik.
Ditilik dari sisi pemilih, pilkada 2022 dan 2023 akan membuat informasi yang didapat terkait kapasitas dan kapabilitas calon kepala daerah lebih memadai. Hal itu karena tidak ada bentrok sosialisasi dan kampanye dengan pemilu nasional.
"Jika tetap memaksakan penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak di tahun 2024, berpeluang membuat preferensi calon pemilih lebih banyak menjadi transaksional dan emosional. Politik uang bisa kian masif, kontestasi tidak lagi berdasarkan gagasan program," jelasnya.
Mardani menyatakan Pilkada 2024 akan membuat fungsi representasi menurun. Pejabat yang terpilih merasa tidak mempunyai kontrak sosial dengan pemilih. "Terakhir dari sisi anggaran, tercapaikah efisiensi anggaran yang menjadi salah satu tujuan penyelenggaraan pemilu serentak? Tidak tercapai. Sebagai contoh alokasi APBN untuk Pemilu Serentak 2019 sebesar Rp25,12 triliun. Sedangkan Pemilu 2014 yang belum serentak berbiaya 24,8 triliun," pungkasnya.
Lulusan Universitas Indonesia (UI) itu menyebut nanti setiap pemilihan memiliki isu dan diskursus sendiri. Demokrasi pun menjadi sehat karena dalam lima tahun ada tiga kesempatan interaksi parpol dengan publik.
Ditilik dari sisi pemilih, pilkada 2022 dan 2023 akan membuat informasi yang didapat terkait kapasitas dan kapabilitas calon kepala daerah lebih memadai. Hal itu karena tidak ada bentrok sosialisasi dan kampanye dengan pemilu nasional.
"Jika tetap memaksakan penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak di tahun 2024, berpeluang membuat preferensi calon pemilih lebih banyak menjadi transaksional dan emosional. Politik uang bisa kian masif, kontestasi tidak lagi berdasarkan gagasan program," jelasnya.
Mardani menyatakan Pilkada 2024 akan membuat fungsi representasi menurun. Pejabat yang terpilih merasa tidak mempunyai kontrak sosial dengan pemilih. "Terakhir dari sisi anggaran, tercapaikah efisiensi anggaran yang menjadi salah satu tujuan penyelenggaraan pemilu serentak? Tidak tercapai. Sebagai contoh alokasi APBN untuk Pemilu Serentak 2019 sebesar Rp25,12 triliun. Sedangkan Pemilu 2014 yang belum serentak berbiaya 24,8 triliun," pungkasnya.
(zik)
Lihat Juga :
tulis komentar anda