Pakar Pendidikan: SKB 3 Menteri Soal Seragam Sekolah Tak Boleh Memaksa Siswa
Jum'at, 05 Februari 2021 - 18:48 WIB
TANGERANG - Pakar pendidikan dari UGM Budi Santoso Wignyosukarto menilai, SKB tiga menteri tentang seragam sekolah baik bagi demokrasi. Namun, tetap harus dikontrol praktiknya di sekolah-sekolah.
"Saya kira baik bagi penerapan demokrasi. Di SKB, murid, pendidik, dan tenaga pendidikan boleh memilih. Jadi masih boleh memilih, tapi tidak boleh dipaksakan," kata Budi, kepada SINDOnews, Jumat (5/2/2021).
Melalui aturan itu, masing-masing sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah memiliki pilihan apakah akan menerapkan seragam dan atribut sekolahnya dengan kekhususan agama atau tidak. "Mereka boleh pakaian seragam yang diatur oleh sekolah atau tidak. Tetapi masalahnya, yang tidak diatur oleh sekolah itu, seragamnya seperti apa, kan mestinya ada. Kalau cuma satu seragam, kan artinya tidak ada pilihan," jelasnya.
Dilanjutkan Budi, keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarimm, bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, dan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas suatu demokrasi dari atas. Sementara yang sering menjadi persoalan adalah demokrasi dari bawah ke atas yang ada pada tingkatan masyarakat. "Alur demokrasi dari atas ke bawah banyak terjadi. Tetapi di bawahnya seperti apa? Dari pada dibuli, dan ribut dengan sekolah dan temannya, supaya bergaul dengan baik mereka jadi mengikuti saja. Ini yang terjadi," paparnya.
Idealnya, proses demokrasi itu saling melengkapi dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Sehingga, tercipta satu kesadaran yang utuh tentang arti dari SKB tersebut dan chaos di lapangan pun bisa dihindarkan. "Sekarang itu, sangat tergantung dengan praktik di lapangan dan masyarakatnya juga. Karena masyarakat tidak mau terjadi konflik, toh cuma pakaian saja, tapi ada yang ngotot tidak mau," sambungnya.
Sebelum menerapkan putusan tiga menteri itu, pihak sekolah diharapkan dapat membuat kebijakan peraturan yang memberikan pilihan kepada siswa secara demokratis. Sehingga, tidak ada yang merasa terpaksa. "Harusnya sekolah sudah ada peraturannya, boleh mengikuti dan tidak, jadi tidak boleh memaksakan. Jadi memang saya melihat SKB itu, di bawah boleh menerima dan menolak. Pihak sekolah juga tidak boleh memaksa," tukasnya.
"Saya kira baik bagi penerapan demokrasi. Di SKB, murid, pendidik, dan tenaga pendidikan boleh memilih. Jadi masih boleh memilih, tapi tidak boleh dipaksakan," kata Budi, kepada SINDOnews, Jumat (5/2/2021).
Melalui aturan itu, masing-masing sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah memiliki pilihan apakah akan menerapkan seragam dan atribut sekolahnya dengan kekhususan agama atau tidak. "Mereka boleh pakaian seragam yang diatur oleh sekolah atau tidak. Tetapi masalahnya, yang tidak diatur oleh sekolah itu, seragamnya seperti apa, kan mestinya ada. Kalau cuma satu seragam, kan artinya tidak ada pilihan," jelasnya.
Dilanjutkan Budi, keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarimm, bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, dan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas suatu demokrasi dari atas. Sementara yang sering menjadi persoalan adalah demokrasi dari bawah ke atas yang ada pada tingkatan masyarakat. "Alur demokrasi dari atas ke bawah banyak terjadi. Tetapi di bawahnya seperti apa? Dari pada dibuli, dan ribut dengan sekolah dan temannya, supaya bergaul dengan baik mereka jadi mengikuti saja. Ini yang terjadi," paparnya.
Idealnya, proses demokrasi itu saling melengkapi dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Sehingga, tercipta satu kesadaran yang utuh tentang arti dari SKB tersebut dan chaos di lapangan pun bisa dihindarkan. "Sekarang itu, sangat tergantung dengan praktik di lapangan dan masyarakatnya juga. Karena masyarakat tidak mau terjadi konflik, toh cuma pakaian saja, tapi ada yang ngotot tidak mau," sambungnya.
Sebelum menerapkan putusan tiga menteri itu, pihak sekolah diharapkan dapat membuat kebijakan peraturan yang memberikan pilihan kepada siswa secara demokratis. Sehingga, tidak ada yang merasa terpaksa. "Harusnya sekolah sudah ada peraturannya, boleh mengikuti dan tidak, jadi tidak boleh memaksakan. Jadi memang saya melihat SKB itu, di bawah boleh menerima dan menolak. Pihak sekolah juga tidak boleh memaksa," tukasnya.
(cip)
tulis komentar anda