Indonesia Kembali Bekerja, Inilah Lima Poin Penting Riset LSI Denny JA

Sabtu, 16 Mei 2020 - 19:44 WIB
"Jika aktivitas ekonomi tak segera dibuka kembali maka pemulihan ekonomi Indonesia akan melalui jalan yang panjang dan terjal," tuturnya.

Namun, Ikrama menegaskan dibuka kembalinya aktivitas warga dan ekonomi harus dilakukan dengan bertahap (gradual), seperti yang dilakukan negara yang sudah lebih dahulu, dituntun dengan data (driven by data) dan tetap memperhatikan protokol kesehatan.

Dari riset yang dilakukan, LSI Denny JA menawarkan lima kisi-kisi untuk Indonesia kembali kerja. Pertama, dimulai dari daerah yang grafik tambahan kasus harian positifnya menurun.

Riset LSI Denny JA, yang telah dirilis sebelumnya, menunjukkan ada empat wilayah yang masuk ke dalam tipologi B (Baik), yaitu wilayah yang tambahan kasus hariannya menunjukan penurunan dari waktu-waktu meski tak drastis pasca pemberlakuan PSBB.

Keempat wilayah tersebut adalah DKI Jakarta, Kota Bogor, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bandung Barat. Namun selain itu, ada wilayah yang tidak memberlakukan PSBB, namun tren kasus hariannya menurun, yaitu Provinsi Bali.

"Artinya bahwa kelima wilayah ini, dari riset LSI Denny JA, telah memenuhi syarat untuk dibukakan kembali aktivitas warga dan ekonomi," katanya.

Kedua, yang usianya rentan terkena virus dan rentan angka kematian tetap di rumah/kerja dari rumah. Sementara usia yang tidak rentan dibolehkan bekerja kembali di luar rumah.

Data Indonesia menunjukkan angka kematian akibat virus Corona paling tinggi terdapat pada usia diatas 45 tahun. Di kelompok usia ini, hingga saat ini, angka kematiannya mencapai diatas 80 % dari total jumlah kematian akibat Covid-19.

"Artinya berdasarkan data, mereka yang usianya di bawah 45 tahun dapat kembali bekerja. Sementara mereka yang usianya di atas 45 tahun, tetap diminta untuk bekerja dari rumah (work from home)," tuturnya.

Pemerintah Indonesia melalui Satuan Gugus Tugas Nasional telah mengumumkan bahwa mereka yang usia di bawah 45 tahun boleh kembali kerja. Imbauan dan kebijakan pemerintah tersebut punya legitimasi data dan keilmuwan.

Ketiga, data juga menunjukan tingkat kematian juga tidak proporsional bagi mereka yang punya penyakit penyerta.

Data di Indonesia menunjukkan mereka yang punya penyakit sebelum terpapar virus, seperti hipertensi, sakit jantung, sakit paru, diabetes, lebih rentan terhadap kematian dibanding mereka yang tak punya riwayat penyakit tersebut.

Data dunia juga menunjukkan gejala yang sama, tingkat kematian paling tinggi pada mereka yang punya penyakit-penyakit penyerta di atas. Artinya, pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan bahwa mereka yang dibolehkan bekerja di luar rumah adalah mereka yang secara klinis tak punya penyakit penyerta yang kronis. Dan mereka yang pekerja namun punya penyakit penyerta yang kronis, bisa tetap kerja dari rumah.

Keempat, memulai gaya hidup baru di era “new normal”. Artinya warga diizinkan kembali beraktivitas namun selalu menjaga protokol kesehatan. Karena kita “hidup bersama” virus corona di tengah-tengah kita hingga vaksinnya ditemukan. Aturan social distancing tetap berlaku ketat, menggunakan masker ketika keluar rumah terutama di fasilitas dan transportasi publik, sering mencuci tangan, tak bersalaman dulu dan lainnya. Dunia usaha juga mulai membiasakan diri untuk menggunakan teknologi komunikasi untuk kepentingan bisnisnya.

Kelima, semua pihak harus berperan serta, mengambil bagian untuk menjaga agar protokol kesehatan terjaga ketika kembali beraktivitas. Tak hanya pemerintah, baik pusat maupun daerah, namun pemimpin dunia usaha, tokoh masyarakat, tokoh agama harus terlibat aktif mengedukasi dan mengawasi warga agar terjaga kesehatan bersama.

"Kembali beraktivitas dengan tetap menjaga ketat protokol kesehatan sangat penting untuk mencegah melonjaknya kasus baru dan juga mengantisipasi datangnya gelombang kedua pandemi," tuturnya.

Menurut Ikrama, China, Korea Selatan dan Jerman melaporkan terdapat klaster kasus baru pasca-dibukanya lockdown. Dunia punya pengalaman flu Spanyol tahun 1918 yang menunjukan gelombang kedua lebih membahayakan dan lebih banyak korban dibanding gelombang pertama flu tersebut.

Pengalaman tersebut menjadi warning bagi Indonesia dan dunia. Pemerintah Indonesia, baik pusat dan daerah pun harus meningkatkan kemampuan untuk memperbanyak jumlah test harian (rasio test harian Indonesia di dunia masih kecil), melacak penyebaran, menyetop, melakukan isolasi, dan mengobati pasien terpapar Corona.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More