Kontribusi Abu Janda dan Lawan Sesama Buzzer: Langgengnya Permusuhan
Selasa, 02 Februari 2021 - 08:30 WIB
JAKARTA - Pegiat media sosial Permadi Arya alias Abu Janda tengah menghadapi dua perkara terkait kicauannya di twitter. Dia menyebut hanya Islam agama yang arogan dan pernyataan dugaan rasis terhadap mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai .
Pengamat politik Ubedilah Badrun menyatakan miris mendengar hiruk-pikuk tentang pendengung Abu Janda. Dia menerangkan dalam perspektif sosiologi, fenomena buzzer ini disebut simulacra politik.
“Sebuah peran untuk melakukan semacam konstruksi imajinasi publik melalui media sosial. Ia memiliki andil dari simulacra politik saat kontestasi pilpres 2019,” ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (2/2/2021).
(Baca: Diperiksa Bareskrim, Abu Janda Mengaku Dicecar 50 Pertanyaan)
Pada masa kontestasi Pilpres 2019, Abu Janda mengakui menjadi buzzer dan dibayar setiap bulan. Merujuk pada fakta itu, Ubedilah mengatakan apa yang dilakukan Abu Janda saat ini terlihat masih menggunakan logika buzzer. Padahal kontestasi pilpres sudah lama selesai.
“Ada cara berpikir yang masih melekat sebagai buzzer sehingga narasi-narasinya berpotensi terus menimbulkan kegaduhan di arena publik. Bahkan, masih terlihat memelihara semacam permusuhan dengan lawan-lawan politik buzzernya atau kelompok yang dinilai berseberangan dengan dirinya saat pilpres,” tutur aktivis 98 itu.
Pada Senin (1/2/2021), Abu Janda telah menjalani pemeriksaan untuk cuitnya yang menyebut Islam Arogan. Dia masih harus menghadapi pemeriksaan dugaan rasis terhadap Natalius Pigai.
Belakangan, Ikatan Aktivitas 98 menyatakan akan menurunkan 1.000 pengacara untuk membela Abu Janda. Ubedilah menyebut langkah itu berlebihan
(Baca: Rasis dan Nistakan Agama, Abu Janda Juga Dilaporkan ke Polres Karanganyar)
“Saya sebagai akademisi dan aktivis 98 menyesalkan langkah Ikatan Aktivis 98 itu. Sebab secara moral politik aktivis 98 tidak memberi ruang bagi siapapun yang memelihara permusuhan dengan sesama warga baik benar maupun salah. Permusuhan terhadap komponen bangsa adalah kekeliruan besar,” jelas Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu.
Ubedilah menilai apa yang dilakukan Abu Janda dan lawan-lawannya dapat berkontribusi bagi langgengnya permusuhan. “Jadi seperti bensin permusuhan sesama anak bangsa yang sewaktu-waktu bisa terbakar. Sebaiknya, aktivis 98 tidak perlu melakukan pembelaan berlebih terhadap Abu Janda,” pungkasnya.
Pengamat politik Ubedilah Badrun menyatakan miris mendengar hiruk-pikuk tentang pendengung Abu Janda. Dia menerangkan dalam perspektif sosiologi, fenomena buzzer ini disebut simulacra politik.
“Sebuah peran untuk melakukan semacam konstruksi imajinasi publik melalui media sosial. Ia memiliki andil dari simulacra politik saat kontestasi pilpres 2019,” ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (2/2/2021).
(Baca: Diperiksa Bareskrim, Abu Janda Mengaku Dicecar 50 Pertanyaan)
Pada masa kontestasi Pilpres 2019, Abu Janda mengakui menjadi buzzer dan dibayar setiap bulan. Merujuk pada fakta itu, Ubedilah mengatakan apa yang dilakukan Abu Janda saat ini terlihat masih menggunakan logika buzzer. Padahal kontestasi pilpres sudah lama selesai.
“Ada cara berpikir yang masih melekat sebagai buzzer sehingga narasi-narasinya berpotensi terus menimbulkan kegaduhan di arena publik. Bahkan, masih terlihat memelihara semacam permusuhan dengan lawan-lawan politik buzzernya atau kelompok yang dinilai berseberangan dengan dirinya saat pilpres,” tutur aktivis 98 itu.
Pada Senin (1/2/2021), Abu Janda telah menjalani pemeriksaan untuk cuitnya yang menyebut Islam Arogan. Dia masih harus menghadapi pemeriksaan dugaan rasis terhadap Natalius Pigai.
Belakangan, Ikatan Aktivitas 98 menyatakan akan menurunkan 1.000 pengacara untuk membela Abu Janda. Ubedilah menyebut langkah itu berlebihan
(Baca: Rasis dan Nistakan Agama, Abu Janda Juga Dilaporkan ke Polres Karanganyar)
“Saya sebagai akademisi dan aktivis 98 menyesalkan langkah Ikatan Aktivis 98 itu. Sebab secara moral politik aktivis 98 tidak memberi ruang bagi siapapun yang memelihara permusuhan dengan sesama warga baik benar maupun salah. Permusuhan terhadap komponen bangsa adalah kekeliruan besar,” jelas Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu.
Ubedilah menilai apa yang dilakukan Abu Janda dan lawan-lawannya dapat berkontribusi bagi langgengnya permusuhan. “Jadi seperti bensin permusuhan sesama anak bangsa yang sewaktu-waktu bisa terbakar. Sebaiknya, aktivis 98 tidak perlu melakukan pembelaan berlebih terhadap Abu Janda,” pungkasnya.
(muh)
tulis komentar anda