Polemik RUU Pemilu, Perlukah Hak Politik Eks Anggota HTI dan FPI Dihapus?

Sabtu, 30 Januari 2021 - 10:02 WIB
Menurut Karyono, ormas HTI dibubarkan oleh pengadilan karena dinilai tidak menjalankan asas, ciri dan sifat ormas yang termaktub dalam Undang-undang keormasan, yaitu tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. HTI dianggap terbukti mendakwahkan doktrin negara berbasis kekhilafahan kepada para pengikutnya.

Sementara, kata dia, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) FPI juga tidak mencantumkan Pancasila sebagai azas organisasi. Meskipun FPI selalu mengklaim sebagai ormas Pancasilais.

"Tapi tindakan dan perbuatannya dinilai tidak mencerminkan nilai-nilai dan sifat ormas sebagaimana diatur dalam UU 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi UU. Belum lagi adanya dugaan keterlibatan sejumlah anggota FPI yang mendukung terorisme," ungkap mantan peneliti LSI Denny JA itu.

Dengan demikian, lanjut Karyono, Draf Rancangan Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada (RUU Pemilu) yang menghapus hak untuk dipilih bagi anggota HTI dan FPI bukan berarti diskriminasi, tapi justru menunjukkan konsistensi negara dalam menjalankan perintah konstitusi.

"Jika PKI dan seluruh underbow-nya dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan kehilangan hak politik untuk dipilih, maka negara juga harus berlaku adil," jelasnya.

Di sisi lain, masalah perbedaan terhadap draf RUU Pemilu ini menurutnya masih hal lumrah. Perbedaan pendapat juga dijamin oleh konstitusi. "Perbedaan tafsir sudah biasa. Jika tidak sepakat terhadap suatu peraturan bisa diselesaikan di pengadilan. Ini negara demokrasi yang berdasarkan hukum," tandasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin menilai, DPR dan pemerintah tentu punya alasan terkait pelarangan tersebut. Karena untuk menjaga Pancasila dan menjaga NKRI. "Karena jika tidak dilarang, mereka bisa jadi presiden, wakil presiden, gubernur, bupati, dan wali kota, juga anggota legislatif," ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Kamis 28 Januari 2021.

Ujang mengatakan, jika jabatan-jabatan strategis itu mereka kuasai, tentu hal itu berpotensi mengancam eksistensi Pancasila. Karena ideologi khilafah yang diperjuangkan HTI misalnya, bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi negara. Namun demikian, analis politik asal Universitas Al Azhar Indonesia itu menilai, memang implementasi di lapangan yang harus adil. Ujang meminta, jangan sampai pencabutan tersebut menyasar lawan-lawan politik.

"Yang bukan eks anggota HTI, tapi dituduh anggota HTI. Ini yang bahaya. Jadi mesti di-screening betul mana yang eks HTI mana yang bukan. Karena jangan sampai ketika penguasa tak suka pada tokoh tertentu. Lalu dia dituduh HTI dan tak punya hak dipilih. Harus adil dan transparan," tuturnya.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(dam)
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More