Perpres Pemolisian Masyarakat untuk Antisipasi Radikalisme Layak Diapresiasi
Selasa, 19 Januari 2021 - 08:01 WIB
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021. Perpres tersebut bertajuk Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Pada Terorisme.
Co-Founder Institute for Scurity and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi menilai, ada istilah baru yang diperkenalkan pada publik dalam ranah pemberantasan terorisme yaitu ekstremisme. "Saya sendiri selama bertahun-tahun telah menolak penggunaan istilah radikalisme untuk menggambarkan persoalan terorisme ini secara akademis, sesuatu yang entah kenapa selama sekian lama seolah enggan digunakan oleh para pemangku penanggulangan terorisme di Indonesia. Padahal dunia internasional dalam beberapa tahun terakhir juga telah menggunakan frasa "violent extremism" untuk menunjuk praktik-praktik terorisme," tuturnya saat dihubungi SINDOnews, Selasa (19/1/2021). (Baca : Perpres Pemolisian Masyarakat Dinilai Baik untuk Penguatan Deteksi Dini Ekstrimisme)
Selain diakomodasinya diksi ekstremisme, perpres ini menurutnya, hendak menunjukkan pendekatan yang lebih lunak, komprehensif (lintas sektor), partisipatif (masyarakat dan media masa) dan terukur (target, kinerja, capaian) dalam upaya penanggulangan terorisme. "Ini saya kira layak diapresiasi. Dugaan saya, Menko Polhukam Mahfud MD punya andil signifikan dalam diskusi menyangkut dua poin soal ekstremisme dan pendekatan komprehensif ini," ungkap dia. (Baca: Tanpa Konsep yang Jelas, Pemolisian Masyarakat Bisa Picu Konflik Horizontal)
Pertanyaannya, lanjut Fahmi, apakah UU 5/2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme akan direvisi dalam waktu dekat? Menurutnya, ini isu penting mengingat UU tersebut belum mengenal diksi ekstremisme sebagaimana dimaksud oleh Perpres. Di sisi lain, perpres tersebut membeberkan sejumlah rencana aksi.
Baca Juga: Refly Harun Anggap Radikalisme dan Terorisme Bukan Musuh Utama Republik Ini
Namun jika dilihat, ada sejumlah agenda terutama yang digelar oleh BNPT menggunakan diksi yang terkait dengan radikalisme yaitu kontraradikalisasi dan deradikalisasi. Meski sama-sama bisa menghadirkan berbagai bentuk kekerasan, ekstremisme dan radikalisme adalah dua hal yang sangat berbeda. Mestinya dua hal ini tak dicampuradukkan satu sama lain, yang berpotensi mengakibatkan tidak tercapainya itikad baik dan tujuan dari hadirnya perpres tersebut.
Menurutnya, kondisi campuraduk tersebut menjadi salah satu kelemahan Perpres, yang menunjukkan belum tercapainya kesepahaman di antara para pemangku penanggulangan terorisme, bahkan ada yang masih ngotot merujuk pada diksi radikalisme yang oleh banyak ahli disebut tak punya cukup pijakan ilmiah. Sementara, soal partisipasi masyarakat. Salah satu rencana aksinya adalah membangun sebuah sistem deteksi dini dan respon cepat masyarakat dalam hal keamanan lingkungan. Sayangnya, yang menonjol adalah soal pemolisian masyarakat dan bagaimana mendorong masyarakat agar mau dan sigap melapor jika di wilayahnya terdapat situasi dan kondisi yang mengarah pada ekstremisme berbasis kekerasan.
Dia mengatakan, jika rambu-rambunya tak disiapkan dan disosialisasikan dengan baik, ada kekhawatiran bahwa hal ini akan meningkatkan potensi konflik horisontal dan pelanggaran hak asasi manusia melalui praktik-praktik intoleransi baru, persekusi, bahkan kekerasan berbasis penistaan (blasphemy based violence) di tengah masyarakat, apalagi dengan telah diakomodirnya berbagai bentuk sistem pengamanan lingkungan swakarsa. "Pelibatan media dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme. Pelibatan ini juga harus dilakukan dengan hati-hati dan tetap bersandar pada prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan pers," ujarnya.
Dalam hal ini, pengamat terorisme ini menilai, pemerintah cukup mencontoh praktik-praktik baik relasi dan pelibatan media di sejumlah negara. Tak perlu secara ambisius mengendalikan informasi, karena itu akan kontraproduktif di tengah upaya meningkatkan kepercayaan dan dukungan publik atas kerja-kerja penegakan hukum dan demokratisasi.
Pada akhirnya, kata Fahmi, meski menunjukkan kemajuan yang layak diapresiasi dalam upaya pemberantasan terorisme, perpres tersebut masih menyisakan sejumlah persoalan dan kekhawatiran. "Harapan saya, karena rencana aksi nasional tersebut diklaim sebagai sebuah fixing document maka hal-hal yang tersisa dan menjadi catatan, bisa segera diperbaiki dan disempurnakan. Saya kira kita semua sepakat bahwa kekerasan ekstrem dan teror harus dapat dihilangkan dari tanah air kita, namun tentunya kita tak ingin melihat aksi-aksi pemberantasan yang lebih menakutkan dan eksesif ketimbang aksi terornya itu sendiri," papar pria yang juga pengamat militer ini.
Co-Founder Institute for Scurity and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi menilai, ada istilah baru yang diperkenalkan pada publik dalam ranah pemberantasan terorisme yaitu ekstremisme. "Saya sendiri selama bertahun-tahun telah menolak penggunaan istilah radikalisme untuk menggambarkan persoalan terorisme ini secara akademis, sesuatu yang entah kenapa selama sekian lama seolah enggan digunakan oleh para pemangku penanggulangan terorisme di Indonesia. Padahal dunia internasional dalam beberapa tahun terakhir juga telah menggunakan frasa "violent extremism" untuk menunjuk praktik-praktik terorisme," tuturnya saat dihubungi SINDOnews, Selasa (19/1/2021). (Baca : Perpres Pemolisian Masyarakat Dinilai Baik untuk Penguatan Deteksi Dini Ekstrimisme)
Selain diakomodasinya diksi ekstremisme, perpres ini menurutnya, hendak menunjukkan pendekatan yang lebih lunak, komprehensif (lintas sektor), partisipatif (masyarakat dan media masa) dan terukur (target, kinerja, capaian) dalam upaya penanggulangan terorisme. "Ini saya kira layak diapresiasi. Dugaan saya, Menko Polhukam Mahfud MD punya andil signifikan dalam diskusi menyangkut dua poin soal ekstremisme dan pendekatan komprehensif ini," ungkap dia. (Baca: Tanpa Konsep yang Jelas, Pemolisian Masyarakat Bisa Picu Konflik Horizontal)
Pertanyaannya, lanjut Fahmi, apakah UU 5/2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme akan direvisi dalam waktu dekat? Menurutnya, ini isu penting mengingat UU tersebut belum mengenal diksi ekstremisme sebagaimana dimaksud oleh Perpres. Di sisi lain, perpres tersebut membeberkan sejumlah rencana aksi.
Baca Juga: Refly Harun Anggap Radikalisme dan Terorisme Bukan Musuh Utama Republik Ini
Namun jika dilihat, ada sejumlah agenda terutama yang digelar oleh BNPT menggunakan diksi yang terkait dengan radikalisme yaitu kontraradikalisasi dan deradikalisasi. Meski sama-sama bisa menghadirkan berbagai bentuk kekerasan, ekstremisme dan radikalisme adalah dua hal yang sangat berbeda. Mestinya dua hal ini tak dicampuradukkan satu sama lain, yang berpotensi mengakibatkan tidak tercapainya itikad baik dan tujuan dari hadirnya perpres tersebut.
Menurutnya, kondisi campuraduk tersebut menjadi salah satu kelemahan Perpres, yang menunjukkan belum tercapainya kesepahaman di antara para pemangku penanggulangan terorisme, bahkan ada yang masih ngotot merujuk pada diksi radikalisme yang oleh banyak ahli disebut tak punya cukup pijakan ilmiah. Sementara, soal partisipasi masyarakat. Salah satu rencana aksinya adalah membangun sebuah sistem deteksi dini dan respon cepat masyarakat dalam hal keamanan lingkungan. Sayangnya, yang menonjol adalah soal pemolisian masyarakat dan bagaimana mendorong masyarakat agar mau dan sigap melapor jika di wilayahnya terdapat situasi dan kondisi yang mengarah pada ekstremisme berbasis kekerasan.
Dia mengatakan, jika rambu-rambunya tak disiapkan dan disosialisasikan dengan baik, ada kekhawatiran bahwa hal ini akan meningkatkan potensi konflik horisontal dan pelanggaran hak asasi manusia melalui praktik-praktik intoleransi baru, persekusi, bahkan kekerasan berbasis penistaan (blasphemy based violence) di tengah masyarakat, apalagi dengan telah diakomodirnya berbagai bentuk sistem pengamanan lingkungan swakarsa. "Pelibatan media dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme. Pelibatan ini juga harus dilakukan dengan hati-hati dan tetap bersandar pada prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan pers," ujarnya.
Dalam hal ini, pengamat terorisme ini menilai, pemerintah cukup mencontoh praktik-praktik baik relasi dan pelibatan media di sejumlah negara. Tak perlu secara ambisius mengendalikan informasi, karena itu akan kontraproduktif di tengah upaya meningkatkan kepercayaan dan dukungan publik atas kerja-kerja penegakan hukum dan demokratisasi.
Pada akhirnya, kata Fahmi, meski menunjukkan kemajuan yang layak diapresiasi dalam upaya pemberantasan terorisme, perpres tersebut masih menyisakan sejumlah persoalan dan kekhawatiran. "Harapan saya, karena rencana aksi nasional tersebut diklaim sebagai sebuah fixing document maka hal-hal yang tersisa dan menjadi catatan, bisa segera diperbaiki dan disempurnakan. Saya kira kita semua sepakat bahwa kekerasan ekstrem dan teror harus dapat dihilangkan dari tanah air kita, namun tentunya kita tak ingin melihat aksi-aksi pemberantasan yang lebih menakutkan dan eksesif ketimbang aksi terornya itu sendiri," papar pria yang juga pengamat militer ini.
(cip)
tulis komentar anda