RUU PKS Jangan Lagi Sakadar Angin Surga
Sabtu, 16 Januari 2021 - 06:11 WIB
JAKARTA -
JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kembali masuk program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Diusulkan sejak tahun 2016, pengesahan RUU PKS jangan kembali tertunda mengingat tren kekerasan seksual yang terus naik dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data data pelaporan yang masuk dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPA) Kemen PPPA, selama tahun 2020, tercatat 6.554 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan korban mencapai 6.620 korban. Sedangkan berdasarkan data Komnas Perempuan, dari 2011-2019 ada 46.698 kasus kekerasan seksual di ranah personal dan ranah publik. Maraknya kekerasan seksual ini salah satunya dipicu keterbatasan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam mengakomodasi pelanggaran kekerasan seksual. Dalam KUHP, kekerasan seksual hanya mengatur tentang kasus pemerkosaan maupun pencabulan. Padahal, di lapangan kekerasan seksual tidak hanya pada dua kasus tersebut. Banyak kekerasan seksual lain seperti pelecehan, pemaksaan, hingga persekusi yang tidak diatur di dalam KUHP.
Selain itu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga kerap menjadi kendala proses pembuktian terjadinya kasus kekerasan seksual. Sebagai contoh untuk saksi, KUHAP mensyaratkan kasus pemerkosaan harus bisa menghadirkan minimal dua saksi. Kondisi ini menyulitkan korban karena sering kali pemerkosaan dilakukan di tempat-tempat terpencil di mana hanya ada korban dan pelaku saja. Pun dengan bukti fisik, di mana korban harus melapor maksimal tujuh hari setelah diperkosa. Jika lebih dari dua hari maka bekas fisik yang ditinggalkan oleh kasus pemerkosaan dianggap sebagai luka lama dan hal ini akan bermasalah dalam proses pembuktian di pengadilan.
Ironisnya meningkatnya tren kekerasan seksual dan tidak memadainya payung hokum untuk mencegahnya tidak cukup menjadi titik tolak dari para wakil rakyat untuk mengesahkan RUU PKS. Bahkan RUU PKS ini kerap menjadi komiditas politik untuk merebut simpati pemilih. Narasi-narasi jika RUU PKS akan melegalkan LGBT, membuka ruang perilaku seks yang menyimpang, hingga tudingan jika beleid ini bertentangan dengan norma budaya bangsa kerap disuarakan partai politik penentang RUU PKS. Saking kerasnya tarik menarik kepentingan di antara fraksi-fraksi DPR, pada tahun 2020, RUU PKS dilorot dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Komisi VIII DPR sebagai pengusul menilai jika tidak mungkin RUU tersebut dibahas mengingat kerasnya pertentangan di kalangan fraksi DPR. Baru pada tahun ini, RUU PKS kembali masuk Prolegnas.
Anggota Baleg DPR RI dari F-PKB Nur Nadlifah yang sedari awal getol menyuarakan RUU PKS mengucapkan syukur karena RUU yang diperjuangkan selama bertahun-tahun ini akhirnya disahkan menjadi RUU Prolegnas Prioritas 2021. “Alhamdulillah, kami F-PKB mengusulkan RUU PKS agar menjadi RUU prioritas dalam pembahasan Prolegnas 2021,” kata Nur Nadilfah
F-PKB berharap RUU PKS mampu memberikan harapan baru bagi kaum perempuan akan jaminan dan kepastian hukum. “RUU PKS ini sebagai bagian dari upaya memberikan jaminan dan kepastian hukum agar tidak lagi terjadi kekerasan seksual, kekerasan anak dan kekerasan terhadap perempuan,” lanjut Nur Nadlifah.
Lebih lanjut, Nur Nadlifah menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang memberikan dukungan atas pengesahan RUU PKS ini. “Kami, mewakili F PKB sebagai pengusul RUU PKS menyampaikan banyak terima kasih kepada pimpinan, seluruh anggota Baleg serta seluruh pihak yang sudah memberikan dukungan RUU PKS menjadi prioritas di prolegnas,” katanya.
Ketua PP Fatayat NU Anggia Ermarini menilai pengusulan kembali RUU PKS agar masuk di Prolegnas Prioritas 2021 adalah jihad untuk memerangi kekerasan seksual di Indonesia. "Sejak 2015, PP Fatayat NU bersama Koalisi Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU PKS (JMS RUU PKS) tidak lelah menyuarakan urgensi RUU ini di tengah makin maraknya praktik kekerasan seksual di masyarakat. RUU ini jawaban kongkrit agar ada perlindungan memadai terhadap para korban yang selama ini diabaikan dan tidak mendapat tindak lanjut kepastian hukum," ujar Anggia.
JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kembali masuk program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Diusulkan sejak tahun 2016, pengesahan RUU PKS jangan kembali tertunda mengingat tren kekerasan seksual yang terus naik dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data data pelaporan yang masuk dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPA) Kemen PPPA, selama tahun 2020, tercatat 6.554 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan korban mencapai 6.620 korban. Sedangkan berdasarkan data Komnas Perempuan, dari 2011-2019 ada 46.698 kasus kekerasan seksual di ranah personal dan ranah publik. Maraknya kekerasan seksual ini salah satunya dipicu keterbatasan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam mengakomodasi pelanggaran kekerasan seksual. Dalam KUHP, kekerasan seksual hanya mengatur tentang kasus pemerkosaan maupun pencabulan. Padahal, di lapangan kekerasan seksual tidak hanya pada dua kasus tersebut. Banyak kekerasan seksual lain seperti pelecehan, pemaksaan, hingga persekusi yang tidak diatur di dalam KUHP.
Selain itu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga kerap menjadi kendala proses pembuktian terjadinya kasus kekerasan seksual. Sebagai contoh untuk saksi, KUHAP mensyaratkan kasus pemerkosaan harus bisa menghadirkan minimal dua saksi. Kondisi ini menyulitkan korban karena sering kali pemerkosaan dilakukan di tempat-tempat terpencil di mana hanya ada korban dan pelaku saja. Pun dengan bukti fisik, di mana korban harus melapor maksimal tujuh hari setelah diperkosa. Jika lebih dari dua hari maka bekas fisik yang ditinggalkan oleh kasus pemerkosaan dianggap sebagai luka lama dan hal ini akan bermasalah dalam proses pembuktian di pengadilan.
Ironisnya meningkatnya tren kekerasan seksual dan tidak memadainya payung hokum untuk mencegahnya tidak cukup menjadi titik tolak dari para wakil rakyat untuk mengesahkan RUU PKS. Bahkan RUU PKS ini kerap menjadi komiditas politik untuk merebut simpati pemilih. Narasi-narasi jika RUU PKS akan melegalkan LGBT, membuka ruang perilaku seks yang menyimpang, hingga tudingan jika beleid ini bertentangan dengan norma budaya bangsa kerap disuarakan partai politik penentang RUU PKS. Saking kerasnya tarik menarik kepentingan di antara fraksi-fraksi DPR, pada tahun 2020, RUU PKS dilorot dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Komisi VIII DPR sebagai pengusul menilai jika tidak mungkin RUU tersebut dibahas mengingat kerasnya pertentangan di kalangan fraksi DPR. Baru pada tahun ini, RUU PKS kembali masuk Prolegnas.
Anggota Baleg DPR RI dari F-PKB Nur Nadlifah yang sedari awal getol menyuarakan RUU PKS mengucapkan syukur karena RUU yang diperjuangkan selama bertahun-tahun ini akhirnya disahkan menjadi RUU Prolegnas Prioritas 2021. “Alhamdulillah, kami F-PKB mengusulkan RUU PKS agar menjadi RUU prioritas dalam pembahasan Prolegnas 2021,” kata Nur Nadilfah
F-PKB berharap RUU PKS mampu memberikan harapan baru bagi kaum perempuan akan jaminan dan kepastian hukum. “RUU PKS ini sebagai bagian dari upaya memberikan jaminan dan kepastian hukum agar tidak lagi terjadi kekerasan seksual, kekerasan anak dan kekerasan terhadap perempuan,” lanjut Nur Nadlifah.
Lebih lanjut, Nur Nadlifah menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang memberikan dukungan atas pengesahan RUU PKS ini. “Kami, mewakili F PKB sebagai pengusul RUU PKS menyampaikan banyak terima kasih kepada pimpinan, seluruh anggota Baleg serta seluruh pihak yang sudah memberikan dukungan RUU PKS menjadi prioritas di prolegnas,” katanya.
Ketua PP Fatayat NU Anggia Ermarini menilai pengusulan kembali RUU PKS agar masuk di Prolegnas Prioritas 2021 adalah jihad untuk memerangi kekerasan seksual di Indonesia. "Sejak 2015, PP Fatayat NU bersama Koalisi Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU PKS (JMS RUU PKS) tidak lelah menyuarakan urgensi RUU ini di tengah makin maraknya praktik kekerasan seksual di masyarakat. RUU ini jawaban kongkrit agar ada perlindungan memadai terhadap para korban yang selama ini diabaikan dan tidak mendapat tindak lanjut kepastian hukum," ujar Anggia.
tulis komentar anda