Reshuffle, Antara Performa Pemerintah dan Dilema Demokrasi
Jum'at, 08 Januari 2021 - 06:10 WIB
Meski demikian, terdapat pula kritik dari beberapa kalangan mengenai beberapa sosok yang dinilai tidak cukup fit atas posisi yang nantinya diemban. Sosok Yaqut misalnya dianggap beberapa kalangan masih butuh waktu lagi untuk dapat pas berperan sebagai seorang menteri agama. Di samping itu, sikapnya yang tidak segan melakukan konfrontasi dengan pihak-pihak yang tidak disukainya juga tidak ideal, terutama mengingat masyarakat sudah cukup lelah dengan berbagai ketegangan, bahkan konflik selama ini.
Begitu juga penunjukan Budi Sadikin sebagai menteri kesehatan yang dirasa kurang pas mengingat latar belakang akademis dan kerja yang bersangkutan selama ini. Sementara tidak sedikit figur yang lebih tepat, baik dari sisi profesi maupun latar belakang pendidikan, untuk pos yang saat ini menjadi amat penting itu.
Selain itu, pos-pos kementerian lain yang juga bagi sebagian kalangan justru lebih patut diganti ternyata tidak mengalami perubahan. Meski demikian, tentu saja kita semua harus benar-benar menunggu hasil kerja para menteri baru itu untuk dapat memberikan penilaian yang objektif atas kinerja mereka.
Dilema bagi Demokrasi
Meski performa pemerintah bisa saja terdongkrak dengan kehadiran sebelas figur di pucuk pimpinan kementerian, terdapat persoalan terkait dengan substansi demokrasi kita. Sebagaimana diketahui bahwa kualitas demokrasi kita saat ini tengah mendapat sorotan tajam, terutama sekali terkait dengan penguatan oligarki dan elitisme yang cenderung mengerdilkan kelompok-kelompok (kritis) di luar pemerintahan.
Bergabungnya mantan calon wakil presiden Sandiaga Uno atas undangan presiden membuka pintu yang semakin luas bagi terciptanya sebuah koalisi turah yang melibatkan mayoritas partai dalam pemerintahan Jokowi. Fenomena ini seperti mengulang saja apa yang terjadi pada pemerintahan Gus Dur, Megawati, maupun SBY. Sebuah “Revolusi Mental” yang dulu dibayangkan ternyata tidak terjadi.
Dengan situasi kekuasaan cenderung terpusat dan melibatkan banyak partai sebuah potensi politik kartel terbuka lebar. Esensi politik kartel adalah sebuah pemerintahan di mana nilai-nilai ideologis dalam komunitas kartel itu demikian cair--bahkan bisa bertransformasi secara pragmatis--dan setiap kalangan yang terlibat di dalamnya bergerak saling mendukung dan melindungi (Katz dan Mair, 1994). Dalam situasi seperti ini, sistem pemerintahan kita berpotensi menciptakan sebuah tatanan politik tanpa kontrol yang efektif atau terabaikan.
Selain itu, dengan bergabungnya Sandiaga, maka menguaplah salah satu elemen potensial kalangan oposisi bagi pemerintahan. Dalam situasi ketika oligarki semakin menguat, maka kondisi ini akan memperburuk keadaan. Apalagi terdapat figur menteri yang memiliki catatan keras dengan kelompok-kelompok agama yang selama ini memiliki posisi sebagai oposisi kritis bagi pemerintah.
Di satu sisi, situasi semacam ini akan membawa pada stabilitas politik dan pemerintahan. Namun, di sisi lain juga akan berpotensi melemahkan checks and balances dan eksistensi kalangan kritis. Ini sungguh merupakan dilema bagi demokrasi yang sehat. Lebih dari itu, situasi ini juga akan menjadi preseden bagi sebentuk kehidupan politik elektoral yang tidak bisa dipercaya, di mana pilpres hanya sekadar “ritual demokrasi prosedural” yang berujung sia-sia (in vain).
Dengan berbagai situasi saat ini, berikut potensinya di masa datang, kehidupan demokrasi kita khususnya dari sisi substansi akan terus mendapat tantangan dan cenderung masih bersifat ritual. Hal ini terutama mengingat bahwa pada dasarnya berbagai upaya terkait membangun oposisi (sebagai pilar penting demokrasi) akan tetap terbengkalai dengan berbagai alasan pembenarannya.
Begitu juga penunjukan Budi Sadikin sebagai menteri kesehatan yang dirasa kurang pas mengingat latar belakang akademis dan kerja yang bersangkutan selama ini. Sementara tidak sedikit figur yang lebih tepat, baik dari sisi profesi maupun latar belakang pendidikan, untuk pos yang saat ini menjadi amat penting itu.
Selain itu, pos-pos kementerian lain yang juga bagi sebagian kalangan justru lebih patut diganti ternyata tidak mengalami perubahan. Meski demikian, tentu saja kita semua harus benar-benar menunggu hasil kerja para menteri baru itu untuk dapat memberikan penilaian yang objektif atas kinerja mereka.
Dilema bagi Demokrasi
Meski performa pemerintah bisa saja terdongkrak dengan kehadiran sebelas figur di pucuk pimpinan kementerian, terdapat persoalan terkait dengan substansi demokrasi kita. Sebagaimana diketahui bahwa kualitas demokrasi kita saat ini tengah mendapat sorotan tajam, terutama sekali terkait dengan penguatan oligarki dan elitisme yang cenderung mengerdilkan kelompok-kelompok (kritis) di luar pemerintahan.
Bergabungnya mantan calon wakil presiden Sandiaga Uno atas undangan presiden membuka pintu yang semakin luas bagi terciptanya sebuah koalisi turah yang melibatkan mayoritas partai dalam pemerintahan Jokowi. Fenomena ini seperti mengulang saja apa yang terjadi pada pemerintahan Gus Dur, Megawati, maupun SBY. Sebuah “Revolusi Mental” yang dulu dibayangkan ternyata tidak terjadi.
Dengan situasi kekuasaan cenderung terpusat dan melibatkan banyak partai sebuah potensi politik kartel terbuka lebar. Esensi politik kartel adalah sebuah pemerintahan di mana nilai-nilai ideologis dalam komunitas kartel itu demikian cair--bahkan bisa bertransformasi secara pragmatis--dan setiap kalangan yang terlibat di dalamnya bergerak saling mendukung dan melindungi (Katz dan Mair, 1994). Dalam situasi seperti ini, sistem pemerintahan kita berpotensi menciptakan sebuah tatanan politik tanpa kontrol yang efektif atau terabaikan.
Selain itu, dengan bergabungnya Sandiaga, maka menguaplah salah satu elemen potensial kalangan oposisi bagi pemerintahan. Dalam situasi ketika oligarki semakin menguat, maka kondisi ini akan memperburuk keadaan. Apalagi terdapat figur menteri yang memiliki catatan keras dengan kelompok-kelompok agama yang selama ini memiliki posisi sebagai oposisi kritis bagi pemerintah.
Di satu sisi, situasi semacam ini akan membawa pada stabilitas politik dan pemerintahan. Namun, di sisi lain juga akan berpotensi melemahkan checks and balances dan eksistensi kalangan kritis. Ini sungguh merupakan dilema bagi demokrasi yang sehat. Lebih dari itu, situasi ini juga akan menjadi preseden bagi sebentuk kehidupan politik elektoral yang tidak bisa dipercaya, di mana pilpres hanya sekadar “ritual demokrasi prosedural” yang berujung sia-sia (in vain).
Dengan berbagai situasi saat ini, berikut potensinya di masa datang, kehidupan demokrasi kita khususnya dari sisi substansi akan terus mendapat tantangan dan cenderung masih bersifat ritual. Hal ini terutama mengingat bahwa pada dasarnya berbagai upaya terkait membangun oposisi (sebagai pilar penting demokrasi) akan tetap terbengkalai dengan berbagai alasan pembenarannya.
tulis komentar anda