Reshuffle, Antara Performa Pemerintah dan Dilema Demokrasi
loading...
A
A
A
Firman Noor
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI)
Reshuffle kabinet menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh setiap presiden manakala dirasakan terdapat berbagai kelemahan serius terkait dengan performa para menteri di kabinetnya. Ini sesuatu yang wajar dan biasa dilakukan oleh pemerintahan mana pun. Terkait dengan itu, jelang akhir 2020 Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan reshuffle pertama dalam periode kedua jabatannya sebagai presiden. Seperti diketahui, ada enam orang menteri dan lima orang wakil menteri baru dalam kabinetnya kali ini.
Perbaikan Performa Pemerintah
Terdapat beberapa pertimbangan pokok mengapa reshuffle itu akhirnya dilakukan setelah publik cukup lama menunggu. Pertama, terkait dengan upaya presiden memulihkan kembali kehidupan perekonomian, baik pada saat ini maupun peningkatannya pascapandemi Covid-19. Untuk itulah dimasukkan beberapa menteri baru yang dianggap memiliki kapabilitas yang mumpuni, yang diharapkan akan membawa angin perubahan, ramah pasar, dan mampu bekerja sama dengan baik dengan menteri-manteri lainnya.
Hal berikutnya adalah presiden juga ingin memulihkan citra pemerintahannya yang telah demikian tercoreng dengan tertangkapnya dua menterinya (Edhy Prabowo dan Juliari Batubara) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam waktu berdekatan karena praktik korupsi. Terkait dengan ini, maka faktor integritas seseorang menjadi pertimbangannya.
Pertimbangan lain adalah bahwa reshuffle kali ini secara politis harus tetap menjaga, bahkan memperkuat soliditas dukungan atas koalisi yang sudah dibangun Jokowi selama ini. Untuk itu, faktor akspetabilitas secara politis juga menjadi pertimbangan. Ini tercermin pada komposisi jatah partai tetap tidak berubah dan dimasukkannya figur-figur seperti Sandiaga Uno yang mewakili kelompok lain di Gerindra di pos Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif; dan Yaqut Cholil Qoumas yang mewakili Nahdlatul Ulama (NU) di pos Kementerian Agama.
Dengan berbagai pertimbangan itu--kapabilitas, integritas dan akseptabilitas--diharapkan bahwa masuknya beberapa sosok baru itu dapat segera membantun Presiden menemukan solusi, terutama terkait situasi perekonomian kita secara lebih konkret dan holistik. Selain itu, diharapkan agar penanggulangan pandemi Covid-19, termasuk penyediaan vaksin dalam skala besar, dapat mengalami akselerasi. Dan, juga dapat menciptakan situasi kehidupan sosial-politik yang kondusif, termasuk yang terpenting mengembalikan kepercayaan masyarakat dan penciptaan stabilitas politik.
Untuk memantapkan performa pemerintah perlu dikembangkan pola komunikasi yang intens antara presiden dan para menterinya agar visi dan misi presiden benar-benar dapat dijalankan dengan baik. Di sisi lain presiden juga harus memberikan kepercayaan penuh kepada para menteri untuk dapat menjalankan konsep-konsep mereka dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang menteri.
Meski demikian, terdapat pula kritik dari beberapa kalangan mengenai beberapa sosok yang dinilai tidak cukup fit atas posisi yang nantinya diemban. Sosok Yaqut misalnya dianggap beberapa kalangan masih butuh waktu lagi untuk dapat pas berperan sebagai seorang menteri agama. Di samping itu, sikapnya yang tidak segan melakukan konfrontasi dengan pihak-pihak yang tidak disukainya juga tidak ideal, terutama mengingat masyarakat sudah cukup lelah dengan berbagai ketegangan, bahkan konflik selama ini.
Begitu juga penunjukan Budi Sadikin sebagai menteri kesehatan yang dirasa kurang pas mengingat latar belakang akademis dan kerja yang bersangkutan selama ini. Sementara tidak sedikit figur yang lebih tepat, baik dari sisi profesi maupun latar belakang pendidikan, untuk pos yang saat ini menjadi amat penting itu.
Selain itu, pos-pos kementerian lain yang juga bagi sebagian kalangan justru lebih patut diganti ternyata tidak mengalami perubahan. Meski demikian, tentu saja kita semua harus benar-benar menunggu hasil kerja para menteri baru itu untuk dapat memberikan penilaian yang objektif atas kinerja mereka.
Dilema bagi Demokrasi
Meski performa pemerintah bisa saja terdongkrak dengan kehadiran sebelas figur di pucuk pimpinan kementerian, terdapat persoalan terkait dengan substansi demokrasi kita. Sebagaimana diketahui bahwa kualitas demokrasi kita saat ini tengah mendapat sorotan tajam, terutama sekali terkait dengan penguatan oligarki dan elitisme yang cenderung mengerdilkan kelompok-kelompok (kritis) di luar pemerintahan.
Bergabungnya mantan calon wakil presiden Sandiaga Uno atas undangan presiden membuka pintu yang semakin luas bagi terciptanya sebuah koalisi turah yang melibatkan mayoritas partai dalam pemerintahan Jokowi. Fenomena ini seperti mengulang saja apa yang terjadi pada pemerintahan Gus Dur, Megawati, maupun SBY. Sebuah “Revolusi Mental” yang dulu dibayangkan ternyata tidak terjadi.
Dengan situasi kekuasaan cenderung terpusat dan melibatkan banyak partai sebuah potensi politik kartel terbuka lebar. Esensi politik kartel adalah sebuah pemerintahan di mana nilai-nilai ideologis dalam komunitas kartel itu demikian cair--bahkan bisa bertransformasi secara pragmatis--dan setiap kalangan yang terlibat di dalamnya bergerak saling mendukung dan melindungi (Katz dan Mair, 1994). Dalam situasi seperti ini, sistem pemerintahan kita berpotensi menciptakan sebuah tatanan politik tanpa kontrol yang efektif atau terabaikan.
Selain itu, dengan bergabungnya Sandiaga, maka menguaplah salah satu elemen potensial kalangan oposisi bagi pemerintahan. Dalam situasi ketika oligarki semakin menguat, maka kondisi ini akan memperburuk keadaan. Apalagi terdapat figur menteri yang memiliki catatan keras dengan kelompok-kelompok agama yang selama ini memiliki posisi sebagai oposisi kritis bagi pemerintah.
Di satu sisi, situasi semacam ini akan membawa pada stabilitas politik dan pemerintahan. Namun, di sisi lain juga akan berpotensi melemahkan checks and balances dan eksistensi kalangan kritis. Ini sungguh merupakan dilema bagi demokrasi yang sehat. Lebih dari itu, situasi ini juga akan menjadi preseden bagi sebentuk kehidupan politik elektoral yang tidak bisa dipercaya, di mana pilpres hanya sekadar “ritual demokrasi prosedural” yang berujung sia-sia (in vain).
Dengan berbagai situasi saat ini, berikut potensinya di masa datang, kehidupan demokrasi kita khususnya dari sisi substansi akan terus mendapat tantangan dan cenderung masih bersifat ritual. Hal ini terutama mengingat bahwa pada dasarnya berbagai upaya terkait membangun oposisi (sebagai pilar penting demokrasi) akan tetap terbengkalai dengan berbagai alasan pembenarannya.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI)
Reshuffle kabinet menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh setiap presiden manakala dirasakan terdapat berbagai kelemahan serius terkait dengan performa para menteri di kabinetnya. Ini sesuatu yang wajar dan biasa dilakukan oleh pemerintahan mana pun. Terkait dengan itu, jelang akhir 2020 Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan reshuffle pertama dalam periode kedua jabatannya sebagai presiden. Seperti diketahui, ada enam orang menteri dan lima orang wakil menteri baru dalam kabinetnya kali ini.
Perbaikan Performa Pemerintah
Terdapat beberapa pertimbangan pokok mengapa reshuffle itu akhirnya dilakukan setelah publik cukup lama menunggu. Pertama, terkait dengan upaya presiden memulihkan kembali kehidupan perekonomian, baik pada saat ini maupun peningkatannya pascapandemi Covid-19. Untuk itulah dimasukkan beberapa menteri baru yang dianggap memiliki kapabilitas yang mumpuni, yang diharapkan akan membawa angin perubahan, ramah pasar, dan mampu bekerja sama dengan baik dengan menteri-manteri lainnya.
Hal berikutnya adalah presiden juga ingin memulihkan citra pemerintahannya yang telah demikian tercoreng dengan tertangkapnya dua menterinya (Edhy Prabowo dan Juliari Batubara) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam waktu berdekatan karena praktik korupsi. Terkait dengan ini, maka faktor integritas seseorang menjadi pertimbangannya.
Pertimbangan lain adalah bahwa reshuffle kali ini secara politis harus tetap menjaga, bahkan memperkuat soliditas dukungan atas koalisi yang sudah dibangun Jokowi selama ini. Untuk itu, faktor akspetabilitas secara politis juga menjadi pertimbangan. Ini tercermin pada komposisi jatah partai tetap tidak berubah dan dimasukkannya figur-figur seperti Sandiaga Uno yang mewakili kelompok lain di Gerindra di pos Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif; dan Yaqut Cholil Qoumas yang mewakili Nahdlatul Ulama (NU) di pos Kementerian Agama.
Dengan berbagai pertimbangan itu--kapabilitas, integritas dan akseptabilitas--diharapkan bahwa masuknya beberapa sosok baru itu dapat segera membantun Presiden menemukan solusi, terutama terkait situasi perekonomian kita secara lebih konkret dan holistik. Selain itu, diharapkan agar penanggulangan pandemi Covid-19, termasuk penyediaan vaksin dalam skala besar, dapat mengalami akselerasi. Dan, juga dapat menciptakan situasi kehidupan sosial-politik yang kondusif, termasuk yang terpenting mengembalikan kepercayaan masyarakat dan penciptaan stabilitas politik.
Untuk memantapkan performa pemerintah perlu dikembangkan pola komunikasi yang intens antara presiden dan para menterinya agar visi dan misi presiden benar-benar dapat dijalankan dengan baik. Di sisi lain presiden juga harus memberikan kepercayaan penuh kepada para menteri untuk dapat menjalankan konsep-konsep mereka dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang menteri.
Meski demikian, terdapat pula kritik dari beberapa kalangan mengenai beberapa sosok yang dinilai tidak cukup fit atas posisi yang nantinya diemban. Sosok Yaqut misalnya dianggap beberapa kalangan masih butuh waktu lagi untuk dapat pas berperan sebagai seorang menteri agama. Di samping itu, sikapnya yang tidak segan melakukan konfrontasi dengan pihak-pihak yang tidak disukainya juga tidak ideal, terutama mengingat masyarakat sudah cukup lelah dengan berbagai ketegangan, bahkan konflik selama ini.
Begitu juga penunjukan Budi Sadikin sebagai menteri kesehatan yang dirasa kurang pas mengingat latar belakang akademis dan kerja yang bersangkutan selama ini. Sementara tidak sedikit figur yang lebih tepat, baik dari sisi profesi maupun latar belakang pendidikan, untuk pos yang saat ini menjadi amat penting itu.
Selain itu, pos-pos kementerian lain yang juga bagi sebagian kalangan justru lebih patut diganti ternyata tidak mengalami perubahan. Meski demikian, tentu saja kita semua harus benar-benar menunggu hasil kerja para menteri baru itu untuk dapat memberikan penilaian yang objektif atas kinerja mereka.
Dilema bagi Demokrasi
Meski performa pemerintah bisa saja terdongkrak dengan kehadiran sebelas figur di pucuk pimpinan kementerian, terdapat persoalan terkait dengan substansi demokrasi kita. Sebagaimana diketahui bahwa kualitas demokrasi kita saat ini tengah mendapat sorotan tajam, terutama sekali terkait dengan penguatan oligarki dan elitisme yang cenderung mengerdilkan kelompok-kelompok (kritis) di luar pemerintahan.
Bergabungnya mantan calon wakil presiden Sandiaga Uno atas undangan presiden membuka pintu yang semakin luas bagi terciptanya sebuah koalisi turah yang melibatkan mayoritas partai dalam pemerintahan Jokowi. Fenomena ini seperti mengulang saja apa yang terjadi pada pemerintahan Gus Dur, Megawati, maupun SBY. Sebuah “Revolusi Mental” yang dulu dibayangkan ternyata tidak terjadi.
Dengan situasi kekuasaan cenderung terpusat dan melibatkan banyak partai sebuah potensi politik kartel terbuka lebar. Esensi politik kartel adalah sebuah pemerintahan di mana nilai-nilai ideologis dalam komunitas kartel itu demikian cair--bahkan bisa bertransformasi secara pragmatis--dan setiap kalangan yang terlibat di dalamnya bergerak saling mendukung dan melindungi (Katz dan Mair, 1994). Dalam situasi seperti ini, sistem pemerintahan kita berpotensi menciptakan sebuah tatanan politik tanpa kontrol yang efektif atau terabaikan.
Selain itu, dengan bergabungnya Sandiaga, maka menguaplah salah satu elemen potensial kalangan oposisi bagi pemerintahan. Dalam situasi ketika oligarki semakin menguat, maka kondisi ini akan memperburuk keadaan. Apalagi terdapat figur menteri yang memiliki catatan keras dengan kelompok-kelompok agama yang selama ini memiliki posisi sebagai oposisi kritis bagi pemerintah.
Di satu sisi, situasi semacam ini akan membawa pada stabilitas politik dan pemerintahan. Namun, di sisi lain juga akan berpotensi melemahkan checks and balances dan eksistensi kalangan kritis. Ini sungguh merupakan dilema bagi demokrasi yang sehat. Lebih dari itu, situasi ini juga akan menjadi preseden bagi sebentuk kehidupan politik elektoral yang tidak bisa dipercaya, di mana pilpres hanya sekadar “ritual demokrasi prosedural” yang berujung sia-sia (in vain).
Dengan berbagai situasi saat ini, berikut potensinya di masa datang, kehidupan demokrasi kita khususnya dari sisi substansi akan terus mendapat tantangan dan cenderung masih bersifat ritual. Hal ini terutama mengingat bahwa pada dasarnya berbagai upaya terkait membangun oposisi (sebagai pilar penting demokrasi) akan tetap terbengkalai dengan berbagai alasan pembenarannya.
(bmm)